“Gimana, Rin, lu udah lihat pohon cabe yang mana?” Bang Opung bertanya karena tidak tahu letak tanaman cabai yang dimaksud oleh Ririn tadi. Ide dari Rahmat untuk meminta maaf secara langsung di tanaman cabai tersebut memang merupakan pilihan terbaik untuk dilakukan saat ini.
“Bentar, Bang. Ini sepertinya maju lagi.” Ririn mencoba mengingat-ingat karena memang di tempat itu mereka serasa hanya berputar saja.
Tidak lama kemudian benar saja wanita itu langsung berseru, “Bang stop! Ini cabenya! Beneran yang ini. Gua inget pas metik ada ini, nih!” Ririn merasa senang bisa menemukan tanaman itu lagi.
“Nah, ayo buruan minta maaf. Gua juga bakal minta maaf karena ngerasa udah keliru memimpin rombongan tapi sampai lu lu pada melanggar peraturan di sini.” Bang Opung merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi sehingga anggotanya ada yang melanggar peraturan dan membuat penghuni gunung tersebut marah.
“Maafin gua, ya. Gua yang metik cabe,” ucap Ririn sambil gemetar ketakutan karena takut penghuni tanaman itu muncul seketika. Apalagi kondisi saat ini sudah menjelang malam.
“Maafin gua juga, Mbah atau siapa penunggu tanaman cabe. Gua ikut makan cabe ini.” Rahmat langsung ikutan meminta maaf karena memang takut ada hal buruk terjadi hanya karena mengambil cabai tanpa izin.
“Gua juga minta maaf udah makan cabe. Maafin pacar gua yang ambil cabe. Please ....” Kodel ikut minta maaf dan bisa-bisanya masih memintakan maaf kembali untuk Ririn. Jelas saja hal itu membuat Putri merasa semakin cemburu.
“Maafin gua makan cabe juga,” kata Putri lirih.
“Maafin gua makan cabe dan dokumentasi dengan ponsel baru ini karena gua pengen nunjukin Nyak dan Baba gimana rasanya naik gunung.” Dalwi masih saja bahas ponsel baru, tidak bisa serius.
Bang Opung menarik nafas dan menggelengkan kepala karena melihat kelakuan para anggotanya. “Maafin kita orang, wahai penunggu pohon cabe. Kami meminta maaf dengan setulus hati dan meminta agar ditunjukkan jalan untuk bisa melanjutkan perjalanan naik gunung dengan mudah. Kami berjanji tidak akan memetik cabe atau tanaman lain yang berada di sini karena hal ini menjadi pengalaman berarti untuk kami.” Bang Opung meminta maaf secara serius dan berdoa dalam hati untuk bisa mendapatkan jalan keluar menuju ke pos dua.
Setelah merasa mantap dan yakin, mereka berenam pun melanjutkan perjalanan. Memulai perjalanan dengan doa di dalam hati masing-masing agar bisa keluar dari wilayah itu dan melanjutkan ke arah pos kedua. Ternyata ide dari Rahmat itu benar-benar jitu karena setelah meminta maaf dengan setulus hati dan juga Bang Opung berdoa terus-menerus di dalam hati akhirnya mereka mendapatkan jalan yang berbeda.
“Alhamdulillah ... Jalannya udah beda! Udah mulai saat ini lu lu pada jangan nyepelein sama pantangan yang ada di gunung ini. Kalau ada apa-apa langsung bilang aja daripada kejadian muter-muter kayak gangsingan tadi itu.” Bang Opung merasa bersyukur bisa lepas dari wilayah itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke pos kedua. Untung saja ketahuan hal apa yang dilanggar sehingga bisa meminta maaf dan melanjutkan perjalanan. Bayangkan saja kalau tidak tahu apa yang dilanggar, entah apa yang terjadi nanti kepada mereka berenam.
“Syukur alhamdulilah ya Allah. Untung lu pinter, Rahmat! Kalau lu nggak kasih ide, bisa timit kita pada di sini,” celetuk Dalwi sembarangan saja bicara.
“Ngawur, lu! Lu aje yang timit, gua ogah!!” Rahmat langsung kesal dengan Dalwi yang bawa-bawa kematian dalam bicara. Berada di gunung seperti ini jelas saja membuat mereka takut karena tidak ada yang tahu apa yang terjadi nanti.
“Hust! Nggak usah banyak bercanda gitu. Ayo lanjut lagi!” Bang Opung menginstruksi secara langsung kepada anggotanya untuk bergegas melanjutkan perjalanan karena waktu sudah mulai malam.
Mereka pun melanjutkan perjalanan sambil menggunakan senter dan juga penerangan lain yang sudah dibawa sebelumnya. Persiapan mereka sudah termasuk matang karena membawa lampu emergency dan beberapa senter. Jelas saja mereka mengutamakan penerangan karena dalam rombongan itu membawa dua wanita. Ririn dan Putri memang tidak begitu suka kegelapan. Sebelumnya kedua wanita itu sudah tidak yakin untuk mendaki gunung. Hanya karena Kodel yang super gombalannya membuat Ririn dan Putri memantapkan diri untuk ikut mendaki gunung.
Saat sudah berjalan cukup jauh tiba-tiba Ririn merasa ada hal yang aneh. Namun Ririn masih diam saja mungkin karena berkeringat dan membuat tubuhnya lengket belum mandi. Perjalanan berlanjut hingga Putri mengamati sesuatu yang aneh di celana Ririn. Karena Putri berjalan tepat di belakang Ririn tentu saja wanita itu melihat dengan jelas.
“Ririn, lu lagi dapet nggak? Kok, itu darahnya banyak di celana belakang lu. Kerasa nggak?” Putri merasa bingung kenapa bisa seorang wanita tidak merasakan kalau dirinya sedang datang bulan padahal dalam kondisi di tengah hutan seperti ini.
“Hah? Apa? Mosok, sih?” Ririn tidak langsung percaya dengan apa yang dikatakan oleh Putri lalu memegang bagian belakang celananya yang ternyata memang lengket.
“Tuh, kan? Beneran, kan?” celetuk Putri sedikit merasa kesal karena Ririn pertamanya tidak percaya begitu saja padahal sudah diberitahu.
“Lah, Sayang ... Ini tanggal berapa, sih?” Ririn bertanya kepada pacarnya dan langsung dijawab. Ternyata benar hari ini sekitar tanggal jatahnya Ririn datang bulan.
“Duh, ternyata benar jatah gua dapet. Terus gimana, nih?” Ririn jadi merasa bingung dan ingin segera ganti celana. Untung saja wanita itu juga membawa cadangan pembalut.
“Duh!” Kodel berteriak karena tidak sengaja menendang batu sampai kakinya terasa sakit.
“Bang, berhenti dulu, Bang!” seru Rahmat meminta Bang Opung untuk berhenti terlebih dahulu.
“Sayang, lu nggak apa?” tanya Ririn langsung khawatir dengan kondisi pacarnya yang baru saja tidak sengaja menendang batu dan kakinya terasa sakit meski sudah mengenakan sepatu.
“Duh, sakit, Sayang.” Kodel memang merasakan sakit sungguh-sungguh. Dia langsung duduk dan melepaskan sepatu. Ternyata ujung jari kakinya berdarah karena terantuk batu cukup keras.
“Berhenti dulu, berhenti! Nih, Kodel sakit jarinya berdarah!” seru Ririn membuat Bang Opung menggelengkan kepalanya lagi.
Heran saja dengan anggota kelompok yang terus-menerus meminta berhenti. Bang Opung merasa kalau begini terus sulit mencapai puncak gunung dalam waktu yang diperkirakan. Mereka akan kehilangan banyak momen bagus untuk mendapatkan pemandangan terbaik di puncak gunung Merbabu.
“Kenapa lagi, sih? Ckk.” Bang Opung terlihat mulai kesal dengan tingkah laku para anggota rombongannya.
“Bang, udah makin malam, nih. Gua ternyata kebelet pipis. Mau pipis di mana, ya?” Ririn mencoba menutupi Kalau dia mau ganti celana dalam dan pakai pembalut. Tentu saja wanita itu merasa malu kalau harus mengungkapkan hal itu di depan banyak pria apalagi kepada pimpinan kelompok.
“Bentar. Nih, ke bawah situ bisa. Tapi nggak tahu ada air apa nggak. Lu bawa air minum, kan?” tanya Bang Opung yang memang bingung harus bagaimana lagi dalam kondisi di tengah perjalanan mendaki gunung tetap ada saja hal yang terjadi seperti tidak bisa menahan kencing.
“Put, temeni gua, dong. Gua takut kalau sendirian.” Ririn merengek minta ditemani oleh Putri tetapi wanita itu langsung menolak karena memang takut.
“Ah, ogah, Rin. Gua takut. Nggak berani beneran.”
“Lah, terus gua ditemenin siapa? Kodel lagi sakit gini kakinya. Dia nggak bisa turun ke sana dong. Ayolah, Put. Temenin gua. Please ....” Ririn kembali meminta pertolongan Putri untuk menemani karena sepertinya tidak mungkin pria lain yang menemani Ririn turun ke bawah untuk ganti celana dan pakai pembalut.
“Nggak tau, deh. Gua nggak mau, Rin. Jangan paksa gua. Gua takut, beneran.” Putri tetap saja menolak untuk menemani Ririn karena memang sudah malam dan kondisi saat ini menakutkan.
“Terus gimana ini, Sayang?” tanya Ririn kepada Kodel.
Kodel pun punya ide untuk meminta Dalwi mengantarkan Ririn karena pria itu yang dianggap tidak aneh-aneh. “Degel, lu aja yang nemeni Ririn, ya? Gua minta tolong ama lu,” pinta Kodel dengan terpaksa karena kondisi kakinya saat ini juga sakit.
“Nah, iya. Biar Degel aja yang anter Ririn biar akur!” celetuk Rahmat mengiyakan usul Kodel.
“Lah, kok, gua? Ogah! Ogah!” Dalwi langsung menolak dengan cepat karena memang tidak begitu suka dengan sifat Ririn yang kekanak-kanakan dan juga begitu manja tetapi juga tidak mau menemani pacar orang di tengah gunung begini hanya berdua.
“Dah, lu aja, Degel. Temeni Ririn. Buruan!” perintah Bang Opung yang mau tidak mau dipatuhi oleh Dalwi meski sambil menggerutu.
Heran saja semua orang memerintah Dalwi untuk menemani Ririn. Padahal mereka semua tahu kalau Ririn dan Dalwi sudah pernah cekcok atau adu mulut. Mengapa justru pria itu yang diminta untuk menemani wanita super rempong itu?
“Ya udah, ayo!” Dalwi dengan terpaksa mengantarkan Ririn ke arah turun yang diberitahu oleh Bang Opung tadi.
“Terima kasih, ya, Degel.” Ririn jadi merasa tidak enak dengan diri sendiri karena sudah mengira pria itu menyebalkan tetapi justru mau mengantarkan untuk ganti celana.
“Ah, lu, tuh, nyusahin aja! Gua heran kenapa lu mau ikut mendaki gunung begini yang akhirnya nyusahin doang!” Dalwi sepanjang jalan mengantarkan Ririn penuh dengan kalimat-kalimat menggerutu yang terlihat jelas tidak ikhlas mengantarkan Ririn.
“Maaf, deh, maaf.” Ririn hanya bisa meminta maaf dan akhirnya mereka sampai di tempat yang ditunjukkan oleh Bang Opung.
Ternyata benar tempat itu tidak ada air sama sekali. Jadi mau tidak mau Ririn menggunakan air minumnya dengan penuh perhitungan. “Jangan ngintip lu, ya!” seru Ririn memastikan terlebih dahulu
“Ya kalik, nape gua ngintip lu di tengah hutan. Gua tinggal nyahok lu!” Dalwi makin kesal karena Ririn mengatakan hal itu.
Meski Dalwi pernah mengambil uang milik ibunya, pria itu tidak pernah berpikiran hal yang tidak-tidak kepada wanita. Pria itu justru merasa kesal karena tersinggung sudah dituduh akan mengintip. Andai saja tidak ada keperluan dengan Bang Opung, pasti Dalwi menolak mentah-mentah untuk mengantarkan wanita menyebalkan seperti Ririn.
Ririn bergegas mengganti celananya dan memakai pembalut. Ririn menghemat air minum yang tinggal sedikit, jadi wanita itu teledor dan tidak mencuci celana dalam yang sudah ada bekas darah menstruasi. “Kalau gua cuci, pasti kurang, nih, air minum gua. Dah, lah.”
Ririn sama sekali tidak memikirkan apakah hal itu berbahaya atau tidak karena langsung saja membuang celana dalam bekas yang terkena darah haid itu ke sembarang tempat. Setelah itu cuci tangan dengan air minumnya. “Dah, selesai!”
“Udah?” tanya Dalwi memastikan.
“Iya, udah. Ayo!”
Dalwi sebenarnya merasa aneh karena tidak mendengar suara wanita buang air kecil. Namun pria itu memilih untuk tidak bertanya daripada dikira yang aneh-aneh oleh Ririn. Mereka berdua pun berjalan untuk kembali ke rombongan. Ririn merasa sedikit lega sudah berganti celana dan memakai pembalut.