Anak Lelaki yang Disembunyikan

1337 Kata
"Siapa yang kamu maksud dengan ular, Nawang? Kamu lagi ngomongin saya, ya?"  Nawang berdiri dan menghadap kakak iparnya tanpa rasa takut. Perempuan di hadapannya boleh bertingkah seperti tuan putri di rumah ini, tapi ini adalah rumahnya. Tempat dia lahir dan dibesarkan. Dia lebih dulu tinggal di sini. Nadia tidak bisa menggertak dirinya di rumah ini. "Saya bebas ngomongin siapa saja di rumah ini, Kak. Ini rumah saya. Dan saya nggak harus laporan sama Kakak sedang ngomongin apa sama siapa. Permisi." Nawang berbalik dan membungkuk untuk mengecup Kakak lelakinya. "Aku ke dalam dulu, ya Kak. Jangan lupa janji Kakak untuk nemenin aku jalan," katanya sambil tersenyum sebelum beranjak pergi dan melirik sekilas pada Nadia. "Coba kamu lihat kelakuan adik kamu itu, Angga. Karena kamu nggak menghargai aku, adik kamu itu jadi ikut-ikutan bertingkah nggak sopan. Aku jadi nggak dihormati di rumah ini," katanya menggerutu. Angga berdiri dan mendekati istrinya. "Kamu mau dihormati?"  Terkejut dengan wajah suaminya yang begitu dekat dengannya membuat Nadia sedikit gagap. "I-iya. Ak-aku, kan istri kamu." "Jadi pembina upacara saja. Satu sekolah bakal ngehormatin kamu," katanya sambil berlalu cepat. Meninggalkan Nadia dengan mulut menganga, tak percaya mendengar ucapan suaminya. "Dasar suami sialan!" rutuknya. _*_ Anak lelaki itu memeluk lutut. Di dalam sini cukup hangat meski angin menderu kencang  dan berusaha menerobos masuk melalui celah sempit. Sayangnya ruangan ini sangat gelap, tanpa penerangan sedikit pun. Gadis kecil tadi melarang menyalakan lampu atau lilin, dia takut keberadaan anak lelaki itu diketahui warga panti dan dia akan kena hukuman. Setidaknya di sini kering dan ada cukup makanan dan minuman untuk mengganjal perut kosongnya. Meski gudang ini bau apak, tidak ada aroma ketakutan dan bau pesing seperti tempatnya singgah  sebelum ini.  Anak lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas tumpukan selimut tua. Hangat, meski tidak seempuk kasur di rumahnya. Dia pun merindukan aroma mawar di atas kasur besarnya. Juga butter dan s**u coklat di pagi hari. Sedang apa keluarganya sekarang? Apa mereka kehilangan dirinya? Apa mereka mencari dirinya? Semoga adiknya baik-baik saja. Anak itu cengeng bukan main. Ah, apa pagi masih lama? Berada di kesunyian ini membuatnya merasa kesepian. Mungkin lebih baik dia tidur dan memimpikan tiba di rumah. Semoga ketika nanti matanya membuka, dia benar-benar tiba di rumah. Semoga apa yang dialaminya hanya sebuah mimpi buruk yang panjang.  Anak lelaki itu memejamkan mata dan mulai menghitung biri-biri. Pada hitungan ke seratus delapan puluh satu, biri-biri menghilang. Tergantikan dengan sepasang lengan yang memeluk hangat. Mama? Apa ini pelukan Mama?  Pertanyaannya tak terjawab. Sepasang lengan itu memeluk lebih erat, hingga dia merasa sesak dan kepanasan.  Mama, Mama jangan keras-keras! Sesak. Nggak bisa napas! Anak lelaki itu memegangi lehernya dan mulai terengah mencari udara. Matanya membuka dan mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Di luar gudang angin masih menderu kencang. Dia mencoba memejamkan matanya kembali dan menghitung biri-biri lagi. Namun gagal. Sampai azan Subuh terdengar, matanya masih tetap membuka dan pikirannya awas. Pintu gudang berkeriut pelan. Angin dingin mengembus masuk. Disinari bayangan bulan yang tinggal sisa-sisa, anak lelaki melihat sosok gadis kecil melangkah masuk. "Apa tidurmu nyenyak? Aku nggak bisa tidur karena mikirin kamu semalaman. Kamu lapar? Ini aku bawa makanan dan s**u hangat." Gadis kecil meletakkan bungkusan kain kotak-kotak di dekat anak lelaki dan membukanya. Dia juga meletakkan gelas besar berisi cairan berwarna putih yang encer. "Ini, makanlah. Dan minum susunya. Kamu pasti kedinginan semalaman, minum s**u hangat akan membuat badanmu hangat." Gadis kecil itu tersenyum. Pipi gembilnya tertarik ke kedua sisi, membuat anak lelaki menjadi bahagia walau hanya memandangnya. "Terima kasih. Tapi aku ingin buang air kecil dulu dan cuci muka." Gadis kecil menepuk keningnya, dia lupa kebutuhan dasar manusia yang satu itu. Tak terpikirkan sebelumnya oleh gadis kecil. Dia pun berjingkat menuju pintu. Menoleh ke kanan dan ke kiri lalu melambai ke arah anak lelaki. "Sini, cepat ikut aku. Mumpung sepi. Tapi jangan lama-lama, ya!" ujarnya sambil berjalan mendahului anak lelaki keluar gudang. Anak lelaki bergegas mengikuti gadis kecil di belakangnya. Kedua tangan memeluk tubuhnya, di luar gudang hawa terasa dingin sekali. "Ini, pakai kamar mandi ini saja. Cepat! Aku berjaga di luar." "Kamu ngapain nungguin aku? Pergi sana jauh-jauh." Anak lelaki merasa risih ditunggui di depan kamar mandi dan menghalau gadis kecil agar menjauh. "Supaya aku bisa kasih alasan kalau ada orang datang. Sudah cepat sana masuk. Selesaikan urusanmu." Anak lelaki menggerutu dan menutup pintu kamar mandi sedikit kencang. "Jangan dibanting, nanti ada yang dengar!" bisik gadis kecil tertahan. Matanya blingsatan ke segala arah. Kamar mandi belakang hampir tidak pernah digunakan karena ada rumor hantu penunggu kamar mandi. Padahal rumor itu sengaja diembuskan gadis kecil agar dia punya suaka di mana bisa menikmati kesendiriannya tanpa gangguan siapa pun. Setelah selasai menuntaskan semua hajatnya, anak lelaki keluar kamar mandi dengan air menetes di ujung rambutnya. Berkilauan. Seperti berlian yang menggantung di ujung rambut, membuat gadis kecil terpana dan menatap wajahnya cukup lama. "Kamu kenapa ngeliatin kayak gitu. Belum pernah lihat pangeran, ya?" Bibir gadis kecil mengerucut. "Mana ada pangeran yang kere seperti kamu. Pangeran itu tinggalnya di istana, sedangkan kamu rumah aja nggak punya," katanya sambil berjalan pelan menuju gudang. "Aku punya rumah, cuma sekarang nggak bisa pulang," kata anak lelaki sambil mensejajari langkah gadis kecil. "Tapi kamu harus pulang. Panti ini hanya menerima anak-anak yang ditelantarkan orang tua dan tidak punya tempat tinggal." "Aku nggak tahu gimana caranya pulang. Aku nggak tahu ini ada di mana." "Huh, bilang saja kamu mau numpang makan dan tidur. Pangeran. Huh, pangeran gembel kali." Anak lelaki itu menghentikan langkah dan menarik tangan gadis kecil agar dia bisa memandang wajahnya. "Aku punya rumah besar seperti istana. Pakaian yang indah, mobil bagus, dan makanan enak yang banyak. Kalau nanti aku sudah menemukan rumahku, akan aku ajak kamu ke sana. Aku janji," katanya bersungguh-sungguh. Gadis kecil memandang haru padanya, entah benar atau tidak yang dikatakan anak lelaki, tapi dia terharu melihat kesungguhan anak di depannya. Gadis kecil pun mengangguk dan tersenyum manis. Senyuman yang mengalahkan hangatnya matahari pagi. "Bener, ya kamu janji," katanya sambil menunjukkan jari kelingking. "Janji jari kelingking!" Anak lelaki menautkan kelingkingnya di kelingking gadis itu. "Aku janji. Nanti akan aku jemput kamu pakai mobil bagus." Mereka berdua bertukar senyum. Udara terasa hangat meski matahari masih menyembul malu-malu. "Kamu tunggu di gudang dulu, ya. Setiap pagi ada apel pagi dari Bu Ani. Nanti setelah tugasku beres, aku akan datang lagi." Gadis kecil berlari ke bangunan utama setelah menutup rapat pintu gudang dan memastikan tidak ada orang yang melihat kelakuannya. Ketika dia melewati dapur kotor, dia mendengar suara pengasuh panti di antara dentingan penggorengan dan ketukan pisau. "Semalam aku lihat lagi. Ada cahaya dari pondok tua di tepi hutan itu." Gadis kecil merapatkan tubuhnya ke dinding kayu. Berusaha mencuri dengar lebih banyak. "Ah, kamu salah lihat. Pondok itu sudah lama nggak ditinggali. Pondok kosong yang bobrok. Siapa yang mau tinggal di hutan kayak gitu?" Gadis kecil mengenali suara ini. Bu Aan, juru masak nomor satu. "Paling gelandangan yang numpang berteduh, Bu. Sering kayak gitu," timpal suara lainnya.  "Iya, tapi masa berhari-hari. Kayak tinggal di situ saja. Setiap malam, lho aku lihat." "Bu Septi mungkin kecapekan. Ngurus anak panti memang melelahkan, Bu. Tapi pahalanya gede. Bu Septi harus banyak istirahat. Jangan keseringan begadang." "Saya bukannya begadang, Bu. Saya takut kalau yang di hutan itu orang jahat. Di sini banyak anak-anak. Jadi setiap malam saya nggak bisa tidur sejak lihat cahaya di rumah itu. Apa nggak sebaiknya kita melapor sama keamanan desa?" "Itu bukan wewenang kita, itu urusan Bu Ani. Kalau Ibu mau, cerita saja sama Bu Ani. Biar dia yang memutuskan." "Ya, sudah, nanti siangan saya lapor Bu Ani. Ini, Bu bawangnya sudah saya iris." "Sini, sini. Masih banyak yang harus kita masak. Anak-anak pasti kelaparan habis senam pagi." Gadis kecil menepuk dahinya, dia melewatkan apel pagi dan sebentar lagi akan melewatkan senam pagi. Kalau sampai ketahuan dia tidak ada di lapangan, Bu Ani akan menghukumnya lagi. Hari ini gadis kecil tidak mau dihukum. Dia tidak mau kehilangan waktu untuk bersama anak lelaki di gudang. Kedua kakinya dipaksa berlari cepat menuju lapangan dengan gedung utama. Tempat anak-anak panti sudah berkumpul dan melakukan pemanasan. [] ©elopurs - 2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN