Nawang

1143 Kata
Angga memaksa masuk ke ruang kerja mamanya. Perempuan separuh senja itu sedang duduk di balik meja tulis besar dan menatap laptop dengan kaca mata baca bertengger di hidungnya. Mendengar pintu ruangan dibuka tergesa dan sosok putra kesayangannya berjalan mendekat, perempuan cantik itu mengangkat kepalanya. Dipandanginya anak lelaki yang mewarisi garis wajah dan keangkuhannya. Angga sosok sempurna yang pernah dia lahirkan dan akan menjadi penerusnya yang berharga. "Mama harus menjelaskan apa yang sudah terjadi. Mama menemui Kienar? Untuk apa, Ma?" Nyonya Angela melepas kacamata dan meletakkannya di atas laptop. Dia menyandarkan tubuh lalu menatap lekat putra kesayangannya. "Mama harus menemui dia untuk membuatnya mengerti sekali lagi. Dia harus tahu posisinya." Angga mengepalkan telapak tangannya. Sejak Mama menentang hubungannya dengan Kienar, Angga seperti melihat sisi lain dari perempuan yang telah membesarkannya itu. "Kienar nggak bersalah, Ma. Angga yang selalu memaksa menemui dia. Kenapa harus bawa-bawa Pak Sebastian dan mengancam segala? Angga sudah patuhi keinginan Mama menikahi Nadia. Apa itu nggak cukup?" "Enggak! Selama di otak kamu ada Kienar." Nyonya Angela berdiri dan mendekati Angga. "Istri kamu itu cantik, kaya, berpendidikan, baik. Banyak perempuan di luaran sana iri dengan segala keberuntungannya dan banyak laki-laki mengantre untuk jadi suaminya. Kamu yang ketimpa bintang jatuh itu bukannya bersyukur tapi malah bersikap acuh. Urusin istrimu, Angga! Bukan malah mengejar Kienar!" "Angga nggak mencintai Nadia." "Hhh. Apa yang kamu tahu soal cinta? Hidupmu nggak sepenuhnya bahagia gara-gara cinta. Apa kamu pikir Mama dapat kesuksesan ini karena cinta papamu? Setelah kamu menikah dan nanti punya anak, cinta nggak lagi mengambil prioritas dalam hubungan kalian. Percaya sama Mama!" "Angga nggak perlu hidup seperti Mama untuk bahagia. Sampai harus mengorbankan perasaan Papa." 'Plak!' Tamparan keras mendarat di pipi kiri Angga. Wajahnya mengeras dan rahangnya mengatup rapat. Sejak pernikahannya dengan Nadia, dua kali dia mendapat tamparan dari Mama. Hal yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. "Kamu sering melawan Mama gara-gara perempuan itu. Apa itu masih belum cukup untuk membuktikan kalau dia bukan perempuan yang baik untuk kamu?" Suara Mama melembut tapi penuh dengan tekanan. Angga semakin mengetatkan rahang. Hatinya mengeras. Jika dengan cara ini mamanya meminta dia menjauhi Kienar, dengan cara ini pula dia akan memperlakukan Nadia. "Bukan gara-gara Kienar. Tapi gara-gara ambisi Mama yang nggak pernah terpuaskan. Mama nggak sedang menghancurkan Angga, tapi juga menghancurkan keluarga ini perlahan-lahan." Angga memandang mata mamanya dengan penuh kekecewaan. Dia membalikkan tubuh dan meninggalkan mamanya yang berdiri mematung. Merenungi perkataan anaknya barusan. Apa benar dia sudah menghancurkan keluarga ini? Keluarga yang dulu dia bangun dengan penuh cinta, tapi seiring dengan berjalannya waktu, cinta itu memudar tergantikan ambisi dan emosi. Satu anak lelakinya sudah pergi, sekarang Angga sedang menuju ke arah itu. Sementara anak perempuannya, dia hampir tidak mengenalinya. Nyonya Angela terhuyung mundur hingga tubuhnya membentur sisi meja. Dia membungkukkan tubuh sedikit dan menopang keningnya dengan tangan kanan. Bahunya mulai bergerak naik turun. Sekuat apa pun dia berusaha berdiri, dia hanya perempuan. Yang butuh bahu untuk bersandar. Namun bahu yang dulu selalu setia untuknya, kini mengacuhkan dan memandang hina dirinya. _*_ "Kak." Nawang, adik perempuan Angga mendekati dan menyodorkan secangkir coklat panas. Angga yang duduk menunduk dengan kedua tangan menutupi wajah pun mendongak. Dia melihat asap coklat yang mengepul, aromanya memasuki penciuman Angga dan memberikan sedikit ketenangan. "Coklat selalu membuat mood kita lebih baik," ujar Nawang sambil tersenyum manis. Angga mengambil coklat tersebut dari tangannya dan memandang wajah ayu adiknya. Sama seperti papanya, adik bungsunya ini pun seolah dihapuskan dari hati mamanya. Lagi-lagi Angga mengetatkan rahangnya menahan geram. "Kamu ada di rumah? Kirain masih kuliah." "Lagi males, Kak," jawabnya sambil duduk di sisi Angga. Pandangannya mengarah pada rumpun asoka di halaman samping. "Jangan males, dong adik, Sayang. Kamu harus rajin kuliah biar bisa dapet kerjaan yang bagus. Atau mau kerja di perusahaan Mama?" tanya Angga menggoda. Nawang mencibir. "Males banget jadi kacungnya Mama kayak Kakak. Lagian masa depanku juga udah ditentukan Mama, kok. Buat apa repot-repot kuliah?" "Maksud kamu?" "Aku dijodohin, Kak," jawabnya sambil menundukkan kepala. "Kamu juga? Kok Mama tega banget, sih?" "Kawin politik. Demi melancarkan segala urusan birokrasi Mama. Nggak cukup cuma mertuamu, Kak. Mama butuh dekingan lebih banyak. Kata Mama pernikahan jauh lebih baik dari selembar perjanjian di atas materai." "Dan kamu setuju? Mengorbankan masa depanmu?" Nawang memandang kakaknya sedih. "Menurut Kakak, apa selama ini aku punya masa depan sendiri? Dari kecil hidupku sudah diatur. Sekolah di mana, ikut les apa, sampai aku mau jadi apa pun sudah ditentukan Mama.  Menurut Kakak, apa aku bisa mikir sendiri sekarang? Aku terbiasa di atur Mama, Kak." Angga mengusap punggung adiknya yang terlihat lelah. Hidup Nawang lebih mengenaskan dari pada dia. Sebagai kakaknya, dia bahkan tidak bisa melindungi adik perempuan satu-satunya. Menentang Mama juga percuma. Kakak tertuanya melakukan itu dan kini entah di mana. Angga belum berani menentang mamanya. Banyak hal yang dia pikirkan jika mengambil keputusan meninggalkan rumah. Mama saat ini jauh lebih berkuasa dibanding dulu. Buruknya lagi, ada Nadia yang menjadi tanggung jawabnya sekarang. Mungkin dia tidak mencintai Nadia dan menentang pernikahan ini, tapi dia juga tidak tega membuat perempuan itu menanggung aib akibat perbuatannya. Angga tidak ingin karma terjadi. Dia memilih mengacuhkan Nadia hingga perempuan itu bosan dan mundur dengan sendirinya. Sebisa mungkin dia tidak menyentuh Nadia sampai menanamkan benih di rahimnya yang membuat dia akan semakin terikat dengan istrinya. "Kamu kenal calon kamu itu?" Nawang mengangguk. "Dia lelaki yang baik. Aku sudah pernah ketemu sama dia beberapa kali. Dia nggak punya pacar atau semacamnya. Tapi dia orangnya serius dan cinta banget sama kerjaannya. Tiap kali kita ketemu, dia lebih suka ngobrol sama ponsel dari pada sama aku." "Kelihatannya rumah tanggamu nanti bakalan sulit." "Aku bakal kesepian pastinya karena sering ditinggal dan dicuekin. Tapi aku udah biasa, kan, Kak? Di sini juga aku sering kesepian." Angga meraih bahu adiknya dan memeluknya erat. "Maafin Kakak, ya. Kakak janji bakalan sering di rumah atau nemenin kamu jalan-jalan." Angga mengecup kening adiknya. "Eh, kamu nggak berusaha temenan sama Nadia?" tanyanya sambil menarik diri sedikit. "Cewek manja itu? Istri Kakak itu punya geng sosialita sendiri. Kalau Kakak nggak di rumah dia juga enggak. Asyik telponan dengan suara keras dan janjian nongkrong ke sana kemari. Kakak kasih uang saku berapa, sih. Tiap hari ada saja yang dibelinya. Boros banget!" Nawang mendekatkan bibirnya ke telinga Angga. "Tapi dia pinter ngambil hati Mama. Sebelum Mama atau  Kakak pulang, dia pasti sudah duluan pulang dan akting jadi menantu dan istri yang baik." Angga mengulum senyum dan merapatkan tubuh adiknya ke tubuhnya. "Kamu udah pinter ngadu, ya sekarang." "Aku enggak ngadu. Cuma memberi saran supaya Kakak waspada. Dia itu ular!" bisiknya sambil terkikik. Mau tak mau Angga ikut terkikik juga. Pikiran adiknya sama seperti pikirannya. Nadia memang seperti yang dia kira, bermuka dua. "Siapa yang kamu maksud ular, Nawang?" Suara tajam dan menyebalkan terdengar keras di belakang mereka. Nawang menoleh perlahan dan melihat kakak iparnya sedang berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan d**a dan menatapnya dengan pandangan memusuhi. [] ============== ©elopurs - 2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN