Aku membuka mata pagi ini dengan sedikit berat. Wangi aroma bawang goreng tercium. Shubuh-shubuh begini, memang biasa kalau Ibu sudah masak. Sejak kecil, Ibu selalu membiasakanku untuk bangun awal, katanya biar rejekinya gak dipatok ayam. Begitupun Ibu sendiri, dia pun setiap jam empat pagi sudah bangun. Apalagi, memang setiap pagi selalu membuat lemper isi ayam dan dititip ke warung Bu Intan. Lumayan uangnya bisa diputar untuk menyambung hidup. Hanya saja entah untuk hari ini.
Aku menggeliatkan badan dan memaksa mata untuk terbuka. Lalu berjalan sambil menguap menuju ke arah dapur untuk membasuh wajah sekaligus wudhu. Benar saja, punggung Ibu sudah terlihat berada di dapur. Bunyi wajan beradu spatula terdengar.
“Bikin nasi apa, Bu?” Aku berjalan mendekatinya.
“Nasi goreng.” Ibu menjawab singkat.
“Lemper gak bikin?” Aku celingukan nyari makanan terbungkus daun yang biasanya sudah rapi ditata dalam baskom.
“Enggak, tadi kesiangan Ibu bangunnya. Rasanya kepala masih berat juga.”
Aku hanya mengangguk, lantas mengambil wudhu dan segera kutunaikan dua rakaat kewajiban. Satu hal didikan Ibu yang ditanamkan sejak kecil padaku. Dahulukan Allah jika Allah ingin mendahulukanmu. Meski kadang, aku masih suka abai dan shalat di akhir waktu. Namun, seiring berjalan waktu aku berusaha memperbaikinya, meski jujur … untuk konsisten itu yang susah.
Matahari terbit cukup cerah hari ini, aku dan Ibu sudah duduk di meja dapur. Meja kayu berbentuk bundar yang sebagian kakinya sudah dimakan rayap ini masih kuat berdiri. Belum ganti, karena Ibu merasa belum perlu. Satu lagi yang Ibu ajarkan padaku. Belilah barang sesuai kebutuhan, bukan mengikuti keinginan.
Meski tetap saja aku bilang pada Ibu, itu alasan saja karena Ibu gak punya uang. Namun, aku pun merasakan kini jika petuahnya itu benar. Meski gajiku dari ngajar tak seberapa, tapi cukup untuk hidup kami sebulan dan tak mesti sampai harus berhutang untuk makan. Beda halnya dengan temanku yang kerja di pabrik, padahal gajinya UMR, belum lagi lembur, tapi tiap tanggal dua puluh sudah pontang-panting cari pinjaman. Benar lagi yang Ibu bilang, seberapa besar gaju kamu, seberapa banyak pun uang kamu, kalau tak pandai mengendalikannya, maka akan tetap kurang, kurang dan kurang … karena keinginan manusia itu tak terbatas.
Ah, bersyukurnya aku dilahirkan dari rahim perempuan sehebat Ibu. Ya, bagiku … dialah perempuan terhebat yang mengajariku banyak arti kehidupan.
“Assalamu’alaikum, spadaaa!”
Kami masih saling terdiam dan menikmati nasi dalam piring masing-masing ketika terdengar suara salam. Dari deru sepeda motornya aku hapal. Aku menghitung dalam hati, tepat pada hitungan ke sepuluh, terdengar derit pintu yang didorong dari luar. Aku tahu, Imelda ketika selesai memarkirkan motor pasti sibuk membetulkan kerudungnya, terus membuka tempat bedak dan merapikan riasannya.
Imelda, dia sahabatku, mengajar di SD yang sama, hanya bedanya dia sudah PNS dan aku belum. Dia pun memiliki orang tua yang utuh dan memiliki toko sembako yang besar di dekat perempatan sana. Mengajar baginya hanya mengisi waktu dan memang cita-citanya untuk selalu tampil di muka. Imelda paling gak suka kegelapan dan sangat suka keramaian. Dia suka jika menjadi perhatian. Tampilannya selalu cantik dan percaya diri ditambah memang ditunjang oleh keuangan yang memadai.
“Wah, enak, nih! Kebetulan belum sarapan.”
Tak berapa lama, satu tepukan dia hadiahkan pada bahuku, lalu tanpa permisi menarik kursi dan menjatuhkan bobotnya di sampingku.
“Ambil piring!” omelku.
“Hehehehe, iya Nyonya!” Dia tergelak sumringah dan menggodaku. Lalu bangkit menuju rak piring yang terbuat dari kayu dan mengambil piring dan sendoknya.
“Nasinya di wajan, Mel! Ambil sendiri!” Suara Ibu mengarahkannya.
“Udah tahu!” ocehnya, tangannya sudah lebih dulu menyingkap tutup wajan. Karena keseringan Imelda ikut sarapan di sini, Ibu pasti membuat lebih. Tak berapa lama dia duduk bergabung denganku lalu menyeruput teh hangat milikku yang sisa setengah.
“Aku habisin, ya!”
“Kebiasaan! Bikin!” omelku lagi. Namun dia tak menggubrisnya dan langsung saja meneguk teh manis dalam gelas. Lalu melahap nasi goreng buatan Ibu.
“Aku tuh kalau lihat nasi goreng gini suka kagum sama kecap,” tukasnya mulai ngelantur.
“Kenapa harus kagumnya sama kecap?” Aku menoleh padanya. Aku kira dia mau bilang kagum sama Ibu, eh rupanya malah sama kecap. Memang Imelda ini pemikirannya suka out of the box.
“Kecap itu biar hitam, tapi manis, plusnya lagi dia tuh bisa bikin makanan enak. Coba kamu bayangin, andai bikin nasi goreng pakai oli bekas? Hitam boleh sama, tapi rasa emang gak pernah bisa berdusta,” kekehnya. Aku dan Ibu sama-sama tersenyum mendengar celotehannya.
“Terus kamu tahu gak anaknya Pak Sekdes yang baru lahir itu dinamain Kartini tuh karena dia cewek, kalau cowok?” tanyanya lagi.
“Kartono,” jawabku standard. Biasanya kan gitu. Eh, Imelda malah tergelak.
“Salah … kalau cowok, jadinya aneh … masa cowok-cowok dinamain Kartini.”
Begitulah Imelda, selalu saja ada cerita barunya setiap hari. Setidaknya, kehadirannya membuat kebahagiaan tersendiri untukku dan Ibu di rumah ini. Dia pun mulai bercerita, apa saja. Seperti biasa, dialah yang membuat meja makan kami selalu ramai. Katanya kalau di rumah, tak pernah ada kebersamaan seperti ini. Pagi-pagi semua sudah sibuk mengurusi kepentingannya masing-masing. Bisa dibilang kalau Imelda itu kesepian. Ayahnya pekerja keras, Ibunya juga. Abangnya satu sudah nikah dan punya anak kecil, jadi sibuk juga dengan keluarga kecilnya meski masih tinggal di rumah yang sama.
Usai makan, aku diboncengnya menggunakan motor matic warna merah miliknya. Sepeda motor yang larinya lembut, beda sekali dengan sepeda motor tuaku.
“Sudah hubungi Bang Ako-nya?” tanyanya.
“Belum.” Aku menjawab singkat.
“Kenapa?” tanyanya.
“Gak penting.” Aku menjawab lagi.
“Kalau belum buka, gimana?” Imelda kembali menelisik.
“Ya tungguin!” Aku menjawab lagi.
“Kamu itu, ya! Kenapa gak telepon saja, sih?” omelnya.
“Siapa aku, Mel? Kamu pikir, gara-gara aku nelepon, Bang Ako rela buka bengkelnya lebih pagi?” jawabku lagi.
“Ck! Ck! Ck! Kamu itu kenapa malah amensia, sih? Kamu itu kan Jingga Nirmala … malah nanya.”
Duh, susah kadang mau jelasin ke dia. Ya sudahlah … memang benar yang dia bilang. Aku ini Jingga Nirmala dan bukan siapa-siapa.
Kami tiba agak pagi, benar saja bengkelnya belum buka. Barulah setelah setengah jam nunggu, bengkelnya buka. Aku membayar sesuai nominal yang disebutkan. Syukurlah tak terlalu mahal, jadi masih bisa ke kover dengan uang cadangan. Aku dan Imelda pun berpisah. Aku juga harus nganterin gamis pesanan langganan Ibu, sedangkan Imelda katanya mau belanja bulanan. Pagi ini dia sengaja ke rumah hanya untuk nganter aku ngambil Vega di bengkel Bang Ako saja.
Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.