Bab 5

1066 Kata
Deg! Jadi, benar? Kedatangan mereka karena A Andi lagi? Belum habi rasa kagetku, terdengar suara Wak Tika yang muncul dari belakang. “Benar yang Ibu kamu bilang Jingga. Lagian orang gak punya kayak kamu itu jangan ngarepin cowok tajir kayak keluarga Bara. Harus tahu diri. Harus ngaca dan ngukur diri. Kamu itu tak ada apa-apanya buat mereka. Buktinya sekarang, bener ‘kan? Kamu di-PHP doang terus dibuang! Kata orang, kalau sudah gitu, pamali nanti. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua dan gak ada yang mau lagi. Jadi terima saja Andi, dia sudah cinta mati sama kamu dari dulu.” Aku memijat pelipis, rasanya sebulan ini saja hidupku sudah terasa berat. Rasa sakit hatiku karena dikhianati keluarga Bara belum juga sirna. Belum lagi gunjingan yang aku tahu ramai di belakang. Ya, namanya hidup di pinggiran kota, aib seperti ini masih umum menjadi konsumsi para ibu yang berbincang setiap pagi di penjual sayuran. “Aku gak mikirin dulu masalah pernikahan, Uwak. Lagian aku dan A Andi ini masih sepupuan. Kenapa harus jodohin kami sih, Wak? Lagian, ngapain juga Uwak mau mungut mantu orang gak punya kayak aku? Oleh keluarga Bara saja, kata Uwak, aku dibuang ‘kan?” Aku melirik ke arah perempuan berbadan tambun yang kini berdiri di ambang pintu kamar Ibu. Masalahku saja masih runyam, bukannya ngasih solusi malah nambahin beban pikiran. “Kamu jangan sewot gitu dong, Jingga. Uwak bicara betul ‘kan? Keluarga Bara itu kaya raya, Bapaknya saja pegawai di BUMN. Lah kamu, ngajar di SD juga masih honorer ‘kan? Gajinya saja gak seberapa? Jauh panggang dari pada api kamu sama keluarga mereka.” Aku menarik napas panjang. Mencoba meredam rasa perih yang makin menjadi, lalu perlahan aku mengangkat wajah dan menatap tajam wajah Wak Tika. “Wak, aku kira Uwak sudah berubah. Kalau mau hanya ngehina-hina aku dan Ibu, sebaiknya Uwak pulang saja!” Suaraku bergetar, menahan agar tak mengeluarkan kata-k********r. Bagaimanapun aku ini seorang pendidik, meskipun di rumah, citra sekolah akan tetap terbawa-bawa, tak peduli gajiku berapa, tak peduli statusku apa, tapi tanggung jawabku pada nama baik tetap sama. Aku adalah seorang guru. Wak Tika tampak murka, matanya melotot tajam, bibirnya tertarik ke atas dan tersenyum merendahkan, “Secara gak langsung kamu ngusir Uwak, Jingga?” “Aku gak bilang gitu, Uwak yang bilang sendiri.” Aku menjawab singkat. “Ma, kok malah ribut sama Jingga, sih? Aku gimana?” A Andi muncul dan tampak menatap kesal pada Wak Tika. “Sudah Mama bilang, kamu itu gak cocok sama Jingga. Dia itu bukan cuma miskin, tapi belagu juga. Ngapain sih, masih ngotot banget mau nikahin dia?” omel Wak Tika menatap kesal pada A Andi. “Mama kok gitu, sih? Bukannya sudah janji mau lamarkan Jingga buat aku, Ma?” A Andi tampak kesal. Wak Tika terlihat memijat pelipis lalu melengos pergi begitu saja. “Jingga, niat Aa tulus sama kamu. Datang jauh-jauh dari Purwakarta karena gak mau keduluin lagi seperti dulu si Bara. Aa beneran suka sama kamu, Jingga.” Aku kembali mengatur napas, kulirik wajah Ibu yang tampak keruh juga. “Sudah malam, A. Pulanglah … Aku masih belum mikirin lagi masalah pernikahan. Sakit hatiku saja belum sembuh, A. Lagian kita ini saudara … kita ini sepupuan, A. Sebaiknya gak usah terlibat urusan percintaan.” Aku bicara dengan menekan segala kegusaran. “Sepupu itu boleh nikah, Jingga … Aa sudah tanya sama Pak Ustadz. Mau, ya! Kita nikah dan hidup bahagia setelah ini.” Wajahnya memelas dan langkahnya mendekat. Tanpa permisi dia hendak meraih tanganku, tapi aku menepisnya. “A, maaf … aku gak bisa. Aku gak bisa nikah sama A Andi. Aku anggap Aa itu kakakku sendiri, mana bisa seperti ini. Lagipula, aku tak lagi mau mikirin pernikahan dalam waktu dekat. Aku masih trauma.” Aku bicara dengan tegas tapi hati-hati. Takut sebetulnya melihat wajahnya yang memang tampak serius sekali dan takut juga dia nekat dan ngapa-ngapain aku setelah ini. Bagaimanapun, aku hanya tinggal berdua bersama Ibu. “Andi ayo kita pulang!” Terdengar suara cempreng Wak Tika dari ruang tengah. “Jingga, please!” Dia masih memasang wajah memelas dan menatapku. “Ya Tuhaaan …,” batinku menjerit. Kuusap wajah dengan gusar. “Andi!” Teriakan Wak Tika terdengar lagi. “Jingga, jika kamu belum siap sekarang, gak apa. Aa pulang dulu, ya. Satu minggu lagi Aa ke sini buat minta jawaban kamu. Kalau perlu, Aa langsung bawa penghulu. Aa pulang dulu, bye!” Aku menghela napas kasar setelah makhluk itu pergi, lalu mendudukkan diri di tepi ranjang di mana Ibu terbaring lemah dan tampak juga lelah. Kutangkup wajah dan kucoba tenangkan pikiran. Perlahan terdengar deru mobil yang menjauh. Syukurlah akhirnya mereka pergi. “Jingga … sepertinya percuma mendepat Uwak kamu. Dia itu keras kepala. Apa kita jual saja tanah dan rumah ini? Hasil penjualannya nanti mungkin bisa buat cari rumah yang lebih kecil? Ibu gak rela lihat kamu tertekan seperti itu.” Aku menoleh padanya, lalu memaksakan diri untuk tersenyum. “Ibu istirahat saja dulu, jangan banyak pikiran. Sayang kalau kita jual, rumah kita tepi jalan sekarang. Semoga ada jalan.” Aku menggenggam tangannya mencoba menguatkan, meski hati sendiri sama-sama rapuhnya. Dia hanya mengangguk, aku pun lekas beranjak dan menuju kamarku setelah memastikan semua kunci dan jendela terkunci dari dalam. Ngeri kalau tiba-tiba A Andi datang dan mengusikku malam-malam seperti dulu lagi. Hanya saja, rasa takut dan resah membuat aku tak bisa memejamkan mata. Aku bangun dan memeriksa semua jendela dan pintu sekali lagi, lalu jemariku beralih ke layar gawai. Aku mencoba berselancar meski tanpa tujuan. Aku hanya sedang menghibur sendiri pikiranku yang kacau. [Belum tidur?] Sebuah pesan tiba-tiba masuk dari sebuah akun baru yang berteman belum lama denganku. Akun tanpa foto profil. Aku mengabaikan, kemarin aku sedang patah hati begitu dalam ketika pernikahan Bara dan perempuan pilihan keluarganya dilangsungkan, meskipun untuk resepsinya katanya masih akan diadakan satu bulan lagi, tapi mereka sudah sah dan resmi menjadi sepasang suami istri. Aku menjadi begitu kacau bahkan main konfirmasi saja akun tanpa nama yang tak kutahu itu siapa setelah aku blokir semua akun yang terhubung dengannya---Bara. [Bisakah kita berteman?] Dia kembali mengirimiku pesan. Apakah benar semua energi negatif kini sedang terkumpul dalam diriku. Bagaimana semua masalah dan ketidak jelasan ini datang bersamaan. Kehilangan Bara membuat hati dan moodku benar-benar berantakan. Bertemu pula dengan Pak Banyu yang mengesalkan, pulang disuguhi keluarga Wak Hendi yang tak kalah menyebalkan dan kini? Siapa lagi? Akun tanpa nama yang tiba-tiba mengajak berteman?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN