Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.
“Cari siapa, Mbak?” Perempuan dengan rambut panjang yang diikat asal itu melihat ke arahku. Wajahnya terlihat terawat, berbeda denganku yang hanya disapu bedak bayi.
“Nganterin gamis Bu Feni, Mbak!” Aku tunjukkan tentengan plastik berisi gamis pelanggan Ibu.
“Oh, gamis Mama, ya? Bentar.”
Dia pun menerima plastik yang kuulurkan lalu ke dalam lagi. Aku menunggu di depan. Hanya aku dan Pak Banyu. Hening, tak ada percakapan. Air mukanya tampak tenang. Dia berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku, sedangkan tangan yang lain memegang gawai. Tak sedikitpun melirik ke arahku.
Angkuh dan mahal, itu kesan yang kudapatkan dari sikapnya. Ya, memang harusnya begitu. Dia kaya, pengusaha, sedangkan aku … hanya orang biasa.
“Mbak! Ini uangnya! Makasih banyak, bajunya pas banget.” Dia mengangsurkan satu lembar seratus ribuan, padahal ongkos potong dari tiga gamis itu hanya enam puluh ribu, ditambah ongkir sepuluh ribu.
“Duh, Mbak … ada uang pas? Saya gak bawa kembalian.”
“Ambil saja sisanya, buat tipsnya, Mbak.”
“Baik, terima kasih kalau begitu. Saya permisi!”
Dia mengangguk. Aku pun pergi dengan hati sumringah. Ibu pasti senang ketika tahu mendapatkan tips, meski tak seberapa. Bukan hanya karena nominalnya, tapi karena pastinya pelanggan merasa puas sampai memberikan tips untuk pekerjaan Ibu.
Tiba di rumah, aku menghabiskan waktu untuk hobi berkebunku. Ada beberapa pohon tomat, cabai dan juga leunca yang kutanam dalam media pot dan dijejerkan di samping rumah. Hari ini aku mau menyemai benih terung, lumayan buat tambahan lalapan dan bisa menjadi penopang ketika lagi seret uang. Untuk pohon bunga, aku tak terlalu banyak menanam. Hanya satu pot anggrek bulan dan sekitar tiga pot anggrek biasa yang kugantungkan pada paku-paku yang sengaja kutancapkan di dinding.
Mungkin sudah setengah jam berlalu ketika terdengar mobil berhenti di depan rumah. Aku tak mempedulikannya karena ada Ibu di sana. Tadi kulihat, Ibu sedang menjahitkan beberapa pakaian di depan.
“Jingga! Jingga!”
“Iya, Bu!”
Aku menjawab tanpa berniat beranjak. Tanganku masih belepotan dengan tanah yang kumasukkan ke dalam beberapa polibag.
“Ada tamu!”
Aku menautkan alis. Rasanya gak ada janji dengan siapapun juga. Lekas aku ke depan, tampak lelaki yang tadi di rumah pelanggan Ibu sedang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam sakunya. Dia berdiri membelakangiku.
“Pak Banyu?”
Lelaki itu menoleh mendengar sapaanku yang mengandung kalimat tanya.
“Loh belum siap?”
Aku menautkan alis lagi, gak paham dengan pertanyaan yang tak ada ujung pangkalnya. Tatapannya seolah memindai penampilanku yang semrawut. Wajah pun berkeringat dan mungkin lusuh karena tersorot sinar matahari.
“Siap ke mana, Pak?”
“Baca pesan dari Mama!”
Bukannya menjawab, dia malah menyuruh. Aku mengutuknya dalam hati. Namun segera aku masuk ke dapur lewat pintu samping dan mencuci tangan setelah itu mencari gawaiku yang kuletakkan dalam kamar.
Eh, kok ada beberapa miscall dari nomor Bu Fera, lalu ada pesan juga.
[Bisa ngajar sebelum makan siang, gak? Siang nanti Aluna ada acara. Banyu jemput kamu sekarang, ya! Bersiaplah!]
Astagaaa! Ini Bu Fera, padahal pesannya saja belum aku baca. Eh, yang jemput malah sudah datang. Mana aku belum apa-apa juga.
[Acaranya jam berapa, ya, Bu? Cancel saja gak apa. Nanti bisa ambil jam tambahan weekend depan.]
Aku segera membalas, sengaja mencari alasan. Jujur, aku malas jika hanya berdua di dalam mobil dengan lelaki angkuh yang ada di depan.
Hanya saja, tak ada balasan. Aku segera memijit tombol panggil, pada dering ketiga barulah kudengar suara Bu Fera dari seberang sana.
“Assalamu’alaikum, Bu! Maaf … saya tadi lagi berkebun, baru baca pesannya. Kalau takut telat, direschedule saja jadwal lessnya.”
“Wa’alaikumsalam! Enggak telat kok, Jingga. Kamu datang sebelum jam makan siang, ya! Jangan lupa dandan yang cantik. Banyu sudah ada di rumah kamu katanya. Ibu tunggu!”
Tut!
Aku baru hendak menjawab lagi ketika dia malah mematikan panggilan.
Huh! Kalau gini, mau gak mau, deh!
Lekas aku menuju kamar mandi dan membasuh diri. Mandi singkat kulakukan karena sudah ditungguin Pak Banyu diluar. Usai mandi berpakaian seperti biasa. Suruh dandan yang cantik, aku hanya menggeleng kepala. Jangankan punya maskara, mbak kara dan teman-temannya, hand body lotion saja yang aku ada dan bedak bayi serta satu buah parfum.
Usai mandi, aku segera ke depan. Loh, kok ada mobilnya saja? Pak Banyunya gak ada. Ibu pun masih sibuk sendiri dengan mesin jahitnya.
“Bu, Jingga pergi dulu, ya! Assalamu’alaikum!” Aku mencium punggung tangan Ibu.
“Iya, hati-hati! Itu tamu kamu lagi di samping rumah!” tukas Ibu seraya menunjukkan ke arah kebunku.
Aku pun berjalan ke arah sana. Benar saja, Pak Banyu ada. Dia sedang berdiri menatap pohon-pohon anggrek yang kugantungkan potnya pada paku.
“Pak, saya sudah siap! Biar pulangnya gak merepotkan! Saya naik sepeda motor saja, ya!” tukasku sopan. Bagaimanapun, tiap bulan dari dialah aku mendapatkan uang tambahan.
“Berangkat bareng saya!” tukasnya datar. Lalu melengos pergi begitu saja.
Baiklah … Tuan Maha Benar!
Namun hanya sebatas dalam hati. Aku pun mengekorinya dan masuk ke dalam mobil pajero hitam miliknya. Aku melirik ke arah Ibu dan melambaikan tangan, sedikit sedih ketika melihat binar matanya melihatku masuk ke dalam mobil bagus milik Pak Banyu. Seperti biasa, aku duduk di belakang. Gak enak rasanya mau duduk bersisian.
Tiba di kediamannya, aku langsung menemui Aluna yang ternyata sudah menungguku di Gazebo.
“Good morning, Una! Sorry I’m late!” Aku menyapa Aluna dan minta maaf karena datang terlambat. Waktu belum menunjukkan pukul sepuluh ketika aku tiba di rumahnya.
“Morning, Miss! Ok, Miss. No problem!” Aluna tersenyum memamerkan gigi depannya.
“Wah ompongnya sudah nambah?” Aku menatap dua gigi depannya yang tanggal.
“Iya, Miss. Makanya siang nanti Oma mau ngadain acara karena gigi Una sudah ompong lagi.” Dia menjawab dengan bersemangat.
“Oh kalau orang kaya gitu, ya? Gigi ompong saja bikin acara. Aneh,” batinku sambil memaksakan tersenyum meski rasanya alasan itu terlalu mengada-ada.
“Ok, kalau gitu kita mulai saja belajarnya, ya! Takutnya nanti Una terlambat!” Aku segera mengalihkan pembahasan dari membahas hal yang terlalu ganjil menurutku.
Aku pun langsung mengajaknya belajar. Untuk materi yang aku sampaikan lebih banyak melatih conversation karena goalnya adalah anak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan kurikulum di sekolah, untuk less privat ini memang goalnya ke arah sana.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang ketika Bu Fera menghampiri kami.
“Una, ayo kita pergi, Sayang! Ajak Miss Jingga sekalian!”
“Oh sudah mau pergi, ya, Bu! Ya sudah saya berkemas kalau gitu!” Aku tersenyum pada perempuan dengan wajah teduh yang sudah berdiri tak jauh dariku.
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.
Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?