Bab 4

1260 Kata
“Lurus dikit lagi, Pak. Lalu belok ke kiri. Rumah yang catnya warna hijau, depannya ada pohon mangga.” Aku memberikan arahan tanpa dia minta. Biar cepat sampai dan bisa bernapas lega. Namun, pada jarak beberapa meter lagi, aku menautkan alis ketika melihat mobil berwarna silver metalik sudah terparkir di depan rumah dan juga tampak kerumunan para tetangga. “Pak berhenti di sini saja!” Merasa tak enak hati dan takut jadi perhatian para tetangga yang tampak berkerumun di depan rumah, aku meminta turun dalam jarak beberapa meter lagi sebelum sampai. Hanya saja, mobil yang dia kendarai terus saja melaju. “Pak! Turun di sini saja!” Aku bicara agak kencang. Apa dia tuli sampai-sampai tak cukup satu kali aku bicara. Hanya saja, hasilnya masih sama mobil yang ditumpanginya masih melaju saja. Huft! Kini sudah terlambat, meskipun dia menoleh, mobil yang memberiku tumpangan sudah tiba di depan rumah dan beberapa pasang mata sudah melihatnya. Aku bergeming, kok kesel, ya? Kenapa dia pura-pura tuli, sih? Kini kami jadi bahan tontonan. Aku malu, pasti digosipkan yang bukan-bukan. Ini sudah malam juga, aku di antar pulang oleh orang bermobil mewah. Pasti diomongin ini mah di belakang. “Gak mau turun?” Pertanyaan macam apa yang dia lontarkan. Aku merengut, tapi ingat ada Aluna yang tengah bersamaku. Akhirnya cemberutnya ku cancel dulu. “Una, Miss sudah sampai. Jumpa lagi lain kali, ya!” “Dah Misss!” Aluna mencium punggung tanganku lalu melambaikan tangan. Sengaja tak aku gubris ucapan Pak Bantu yang sudah buat aku kesal. Biar saja, biar tahu rasanya dikacangin. Aku menghela napas kasar ketika akhirnya kubuka pintu mobil dan turun. Benar saja mata para tetangga yang sepertinya ada sekitar lima atau enam orang itu serentak menatap ke arahku. “Assalamu’alaikum!” Aku mengucap salam. “Wa’alaikumsalam!” koor salam yang menjawab serempak. “Jingga!” Seorang perempuan muncul dari dalam rumah dan tergesa menghampiriku. Sedikit terkejut ketika melihat siapa yang datang. “Uwak?” Aku menatapnya. “Iya ini Uwak.” Perempuan itu menyalamiku. Dia adalah Wak Tika---istri dari Wak Hendi---kakak dari almarhum ayah. Mereka tinggal di Purwakarta dan tak pernah sekalipun datang ke sini. Semua bermula dari penolakan Ayah yang tak mau menjodohkanku dengan A Andi---anak Wak Tika dan Wak Hendi. Waktu itu, aku masih duduk di bangku SMP, sedangkan A Andi sudah lulus SMP dan sering sekali ke sini dan katanya suka sama aku. Hanya saja, Ayah tak setuju. Selain A Hendi terkenal pemalas, dia juga songong, bahkan ketahuan Ayah beberapa kali suka ngintipin kamarku malam-malam. Ayah maki-maki A Andi dan Wak Hendi tak terima. Mereka pun pindah ke kampung halaman Wak Tika yang memang orang Purwakarta. Wak Hendi dan Wak Tika seolah memutus silaturahmi. Dia tak terima anaknya dikatakan pemalas dan kurang ajar oleh Ayah. Hanya saja, ada apa gerangan sekarang dia datang? Rupanya mobil itu milik mereka. Lalu kenapa para tetangga berkerumun juga? Masa iya hanya menyambut kedatangan Wak Tika saja? Aku tergesa masuk dan menyalami orang yang ada di dalam dan laki-laki itu sepertinya adalah A Andi---kakak sepupuku. Lupa-lupa ingat karena kami sudah lama tak bertemu. Bertemu terakhir tuh ketika A Andi nikahan, itu pun hanya sekilas karena Wak Hendi mencuekkan kami ketika ke sana. “Sehat, A? Si Tetehnya gak ikut?” Aku menyapanya. “Ini Jingga, ya? Kamu makin cantik saja. Aa sudah cerai, Jingga. Jadi sekarang kita sama-sama single lagi.” Bukannya menjawab dia malah mesem-mesem sendiri dan memandangiku. Jujur, aku tak suka pada matanya yang terkesan jelalatan. Aku hanya nyengir kuda. Apa dia tahu kalau tunanganku dibatalkan dengan Bara, ya? Hanya saja, masa iya, sih? Sudah lama juga kami putus komunikasi. Lalu aku mengangguk saja dan mencari keberadaan Ibu karena tak ada di ruang tengah. Lalu dari arah kamar muncul Wak Hendi dan ada dua orang ibu-ibu tetanggaku di sana. “Baru pulang, Jingga? Makin cantik saja kamu, pantesan si Andi gak bisa move on.” Wak Hendi menyalamiku. “Iya, Wak. Ibu mana?” Aku makin tak nyaman. Rasa-rasanya A Andi sudah pernah nikah pun, kenapa Wak Hendi bilang dia gak bisa move on? “Ibu kamu di dalam.” Dia menunjukkan dengan sudut matanya. Aku tergesa. Perasaanku sudah tak enak sejak melihat orang-orang berkerumun di depan tadi. Masa iya hanya menyambut kedatangan Wak Hendi dan Wak Tika sampai segitunya? Di dalam ada Bi Omah dan Bi Wasih dan tampak Ibu terbaring di tempat tidur dengan kepala di sangga bantal agak tinggi. “Ibu kenapa?” Aku terkejut melihat wajahnya yang sedikit pucat. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya setelah menyalami Bi Omah dan Bi Wasih. “Syukurlah kamu sudah pulang, Jingga. Ibu kamu pingsan tadi,” tukas Bi Omah. “Pingsan? Kok bisa? Rasanya pas pagi tadi pergi, Ibu baik-baik saja. Hanya pusing sedikit itu pun sudah minum obat.” Aku mendekat dan menyimpan tas pada gantungan kapstok yang ada di belakang pintu. “Bibi juga kaget, tadi itu Uwak kamu teriak-teriak minta tolong katanya Ibu kamu pingsan.” Bi Wasih menjelaskan. “Oh ya sudah, makasih ya, Bi. Mungkin Ibu kecapekan. Rasanya pesanan jahitannya banyak.” Aku mengulas senyum, meskipun dalam hati tetap ada yang membuat bingung. Ibu bukan orang lemah yang mudah pingsan. Meski sedang sakit sekalipun. “Kalau gitu, Bibi pamit pulang dulu, sudah malam!” Keduanya pamit undur diri. Aku hanya mengangguk. Tak berapa lama, lima orang tetangga yang tadi berkerumun di depanpun satu per satu berpamitan. Menyisakkan Wak Hendi sekeluarga yang terdengar mengobrol di ruang tengah. “Bu, ada apa? Kok bisa sampai pingsan?” lirihku bertanya. Kutatap penasaran wajah Ibu yang tampak sedih itu. “Uwak kamu datang ke sini untuk minta bagian waris dari tanah ini, Jingga. Tadi Ibu ribut sama Uwak Kamu.” Suara Ibu terdengar lemah. “Waris? Bukannya kata Ibu, tanah ini bagian Ayah?” Aku menatapnya tak paham. Dulu Ibu bilang, tanah seluas dua ratus meter ini yang sejak dulu ditempati oleh almarhum nenek dan kakek adalah memang bagian Ayah. Wak Hendi---kakak dari Ayah, sudah dapat bagiannya. Lalu kenapa sekarang malah diungkit lagi? “Salahnya satu, orang tua dulu gak ada hitam di atas putih waktu membaginya. Tanah ini juga masih atas nama kakek kamu, Jingga. Sekarang Uwak kamu minta kita mengeluarkan setengah harga dari tanah yang kita tempati ini, termasuk dari rumah ini kalau kita masih mau tinggal di sini.” Ibu tampak menghela napas kasar. "Rumah? Bukannya rumah ini dibangun oleh Ibu sama Ayah? Kenapa mereka minta bagian?” “Salah Ibu sama Ayah lagi, Jingga. Rumah ini dulu memang rumah kakek dan nenek kalian. Hanya saja Ibu renovasi. Jadi menurut mereka, Wak Hendi juga masih ada bagian setengahnya dari rumah ini.” “Astaghfirulloh ….” Aku ikut-ikutan lemas mendengarnya. “Hanya saja bukan hanya itu yang membuat Ibu jatuh pingsan.” Ibu kembali menghela napas kasar. “Lalu?” Aku menatapnya penasaran. “Mereka bilang, tak akan mempermasalahkan warisan ini, jika kamu mau menikah dengan Andi. Toh nanti juga akan sama-sama diwariskan buat kalian! Entah dari mana mereka tahu kalau pertunangan kamu dibatalkan sama keluarga Bara.” Deg! Jadi, benar? Kedatangan mereka karena A Andi lagi? Belum habis rasa kagetku, terdengar suara Wak Tika yang muncul dari belakang. “Benar yang Ibu kamu bilang Jingga. Lagian orang gak punya kayak kamu itu jangan ngarepin cowok tajir kayak keluarga Bara. Harus tahu diri. Harus ngaca dan ngukur diri. Kamu itu tak ada apa-apanya buat mereka. Buktinya sekarang, bener ‘kan? Kamu di-PHP doang terus dibuang! Kata orang, kalau sudah gitu, pamali nanti. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua dan gak ada yang mau lagi. Jadi terima saja Andi, dia sudah cinta mati sama kamu dari dulu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN