Bab 3

1099 Kata
Hanya suara denting sendok yang terdengar. Makan malam yang aku kira akan ramai dengan teman-temannya Bu Fera ternyata sama sekali salah. Di ruang makan bernuansa lesehan ini, hanya ada aku, Aluna, Bu Fera dan Pak Banyu. Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu yang didesain khusus. Rupanya selain ruang makan dengan kursi dan meja biasa, di teras dapur juga ada tempat bersantai yang memiliki tempat makan lesehan. Setelah kepulangan Pak Banyu tadi, Bu Fera langsung menggiring kami ke ruang makan. “Ayo yang banyak makannya, Jingga. Ini ikan salmon yang dimasak Bi Sesa itu sangat enak.” Bu Fera hendak mengambilkan potongan ikan salmon lagi ke piringku. “Saya sudah kenyang, Bu … makasih.” Aku bukan sudah kenyang sebetulnya, tapi sudah tak nyaman. Sejak kedatangan Pak Banyu, semua jadi terasa canggung apalagi sikap diam dan juteknya Pak Banyu mendominasi. Hanya Bu Fera saja yang mengajakku mengobrol sejak tadi. “Makan kamu kok dikit banget, Jingga, sebelas dua belas sama Banyu.” Dia melirik Pak Banyu. Rupanya Pak Banyu pun sudah meletakkan sendoknya di atas piring. Kini tangannya tengah meraih teko berisi air bening dan mengisi ulang gelasnya yang sudah kosong. Aku hanya nyengir kuda. Bingung mau komentar apa. Kulirik jam pada pergelangan tangan, masih sore. Baru pukul setengah delapan. Aku pun sambil menunduk dan mengotak-atik ponsel untuk mencari-cari ojek online. “Iya, Bu Fera. Alhamdulilah sudah kenyang. Selamat ulang tahun, ya, Bu Fera. Mohon maaf saya gak ngasih kado. Semoga panjang umur dan sehat selalu.” Aku mengucapkan ucapan selamat dan doa itu sekali lagi. Layar gawai masih terbuka dan kuletakkan di samping kananku saja. Sementara itu, aku menuang air dalam gelas dan meminumnya sedikit-sedikit untuk mengulur waktu. Uhuk! Uhuk! Uhuk! Kalimatku terjeda karena Pak Banyu terbatuk, tapi tak sepatah kata pun terlontar. Dia pun bangun setelah menyimpan gelas berisi air bening yang sisa setengah setelah melirik dengan tatapan seperti tak suka pada Bu Fera. “Banyu!” Panggilan dari Bu Fera membuat langkah Pak Banyu terhenti. Dia menoleh. “Apa?” Sorot matanya hanya lurus memandang ke arah Bu Fera saja. “Nanti anter Jingga pulang!” Seketika ucapan Bu Fera membuatku yang sedang salah tingkah dan sejak tadi minum air yang ada dalam gelas bening sedikit-sedikit hampir tersedak. “Ahm, gak usah, Bu! Saya naik ojol!” Aku menampik sambil menatap Bu Fera. Mencoba memasang senyuman setulus yang aku bisa, meski kuyakin gagal. “Ojol? Pasti belum dapet ‘kan? Jam segini tuh tukang ojol susah. Di sini ada pangkalan opang di perempatan depan luar cluster. Jadi ojol-ojol jarang berani masuk dan ngambil trip dekat.” Oh begitu rupanya? Pantas saja sejak tadi tak ada yang mengambil pesanan dari applikasi ojek onlineku. “Hmmm … pantas saja. Kalau gitu, biar saya dijemput teman saya saja, Bu. Gak enak kalau merepotkan Pak Banyu.” Pak Banyu pun mengangguk dan berlalu begitu saja setelah mendengarkan kalimatku. “Ah gak repot, kok, Jingga. Biar Banyu sambil ngajak Aluna jalan. Banyu itu terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri. Kasihan Aluna, Jingga.” Bu Fera bersikeras, walau Pak Banyu tampak secara tersirat pun menolak. “Una, habis makan anterin Miss Jingga pulang, ya, bareng Papa!” Tanpa persetujuanku, dia langsung saja bertanya pada Aluna. “Oke, Oma.” Aluna tampak sumringah. “Duh …,” batinku. Hanya helaan napas pelan kuhembuskan. Usai makan, aku pamit ke toilet. Padahal itu hanya alibiku saja. Aku mengambil gawai dan menghubungi Imelda. “Hallo!” Tak menunggu waktu lama, dia mengangkat telepon aku. “Mel, bisa minta tolong, gak? Jemput dong sekarang!” rengekku sambil berdiri di depan wastafel menatap pantulan diri di depan cermin. Kubetulkan kerudung segi empatku yang sedikit miring. “Lah, katanya mau naik ojol! Sekarang aku lagi nganter Mama kondangan! Besok lagi ya aku jemputnya, sorry.” “Oh ya sudah!” Pasrah kututup telepon. Lalu keluar dari kamar mandi dan mencari-cari Bu Fera untuk pamitan. Tampak dia sudah ada di teras dan berbincang dengan wajah serius dengan Pak Banyu. Hanya saja aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena ketika aku mendekat, obrolannya pun berhenti begitu saja. “Bu, saya pamit pulang!” “Biar Banyu yang nganter, Jingga. Dia juga sekalian mau keluar? Iya ‘kan, Banyu?” “Terserah Mama.” Tuh kan, dia tuh gak mau. Bu Fera ini sukanya maksa. Aku melirik Pak Banyu, wajahnya masih dingin dan ekspresinya datar seperti tadi. Sepertinya hanya titah Bu Fera saja, tak ada sedikit pun lelaki itu berniat mengantarku. “Gak usah, Pak, Bu … saya beneran sudah dijemput Imelda. Gak enak nanti kalau malah dianter, kasihan Imeldanya! Dia nunggu di depan. Permisi! Assalamu’alaikum!” Aku pun memutuskan untuk keluar dulu saja dari rumah ini dan berjalan sampai gerbang depan lalu nyari ojek pangkalan. “Wa’alaikumsalam!” Suara Bu Fera terdengar berat. Aku pun melambaikan tangan pada Aluna dan mengulas senyuman sekilas, lalu berjalan tergesa meninggalkan rumah megah dengan gerbang tinggi ini. Akhirnya lega .… Cluster ini cukup besar. Aku harus jalan kaki cukup jauh untuk tiba di gerbang keluar yang hanya satu akses ini. Semoga saja besok si Vega-ku sudah nyala sehingga aku tak lagi kerepotan seperti ini. Nasib apes kayaknya masih berlanjut, gerimis pun mulai turun dan membuat aku harus mempercepat jalanku. Tin! Tin! Tin! Suara klakson terdengar. Aku menoleh dan tampak pajero sport warna hitam metalik melaju lambat beberapa langkah berjarak dariku. Tiba-tiba kacanya diturunkan dan menyembullah kepala Aluna. “Miss! Ayo naik!” Suara Aluna terdengar. Aku mematung dan menimbang sejenak. Kulirik lelaki yang duduk di samping Aluna yang hanya fokus pada kemudi. “Naiklah! Saya antar!” Suara bariton itu seolah paham aku yang sedang ragu akan tawaran gadis kecilnya. Gerimis yang beralih menjadi hujan, membuatku tak memiliki pilihan. Aku pun segera masuk dan duduk di kursi belakang. Kukira dia mau komplen dan memintaku pindah duduk ke depan seperti pada film-film yang aku biasa tonton. Hanya saja, rupanya aku salah. Dia langsung saja melajukan mobilnya tanpa mempermasalahkanku duduk di mana. Sepanjang perjalanan, aku hanya mengobrol dengan Aluna, tak sedikitpun bercakap-cakap dengan Pak Banyu. Dia seperti bongkahan es yang baru keluar dari freezer. Dingin, kaku dan beku. Pantas saja meskipun kaya, tampan tapi masih menduda. Perjalanan yang biasanya singkat ini, terasa amat lama. Aku bernapas lega ketika sudah mendekati rumah tinggalku yang kuhuni hanya berdua dengan Ibu. “Lurus dikit lagi, Pak. Lalu belok ke kiri. Rumah yang catnya warna hijau, depannya ada pohon mangga.” Aku memberikan arahan tanpa dia minta. Biar cepat sampai dan bisa bernapas lega. Namun, pada jarak beberapa meter lagi, aku menautkan alis ketika melihat mobil berwarna silver metalik sudah terparkir di depan rumah dan juga tampak kerumunan para tetangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN