7. Seseorang di Masa Lalu

1720 Kata
“Nih mbak, aku bikinin jus buah naga.” Aku langsung melengos ketika melihat Nayla membawakanku satu gelas jus buah naga yang berwarna merah muda menyala. “Masih marah ya. mbak?” “Ya menurut kamu aja, gimana?” “Ya maaf. Kan bercanda aja, mbakku sayang.” “Dih! Jijayyy!” Aku hendak pergi ketika Nayla duduk di sampingku, tapi gerakanku kalah cepat karena saat ini Nayla sudah mengapit tanganku erat sekali. Ini anak kebiasaan banget. “Tapi aku bener kan, mbak?” tanyanya sambil meringis. “Apanya?” “Mbak Shila kemarin nangis gara-gara patah hati, terus yang bikin patah hati itu mas-mas yang kemarin ngaterin Mbak Shila. Iya, kan?” “SOK TAU!” “Emang bukan? Terus siapa, dong?” Aku hanya bisa diam ketika mendapat pertanyaan itu. Nayla benar, namun aku terlalu malu untuk mengakui itu. Rasanya ‘nggak banget’ curhat masalah percintaan ke adik sendiri yang bahkan umurnya saja terpaut cukup jauh dariku. “Pokoknya apapun dan siapapun yang bikin mbak sedih, mbak jangan sampai kaya kemarin lagi. Laki-laki di dunia ini nggak cuma satu loh, mbak? Dan aku yakin banget, yang mau sama Mbak Shila itu banyak.” Lagi dan lagi, Nayla meringis di ujung kalimatnya. Aku tahu, Nayla hanya ingin menghiburku, tapi anak ini kadang bercandanya keterlaluan. Jadi jangan heran kalau kadang aku suka males dengerin dia ngomong. “Makasih loh ya,” balasku sambil memutar bola mata malas. “Dih, Mbak Shila mah! Aku serius loh, barusan. Dah, lah! Kalau Mbak Shila masih mau diemin aku, mending aku pergi aja. Mbak Shila malesin!” “Lah? Yang lagi marah kan mbak, Nay! Kenapa jadi kamu yang sewot terus main pergi?” “Bodo!” “Dasar bocil nggak guna!” makiku geram. Setelah Nayla menghilang dibalik pintu, aku langsung menghempaskan badanku di sandaran sofa lalu menatap ke atas, menerawang ke langit-langit rumah. Saat ini di rumah hanya ada aku dan Nayla. Ayah dan ibuku sudah dua hari ini menginap di rumah saudara yang ada di Boyolali karena di sana ada hajatan. Oh iya, hari ini aku beneran ngambil libur seperti yang disarankan Pak Dimas. Rasanya, aku masih terlalu kacau untuk berangkat kerja. Sepertinya, andai aku paksakan berangkat sekalipun, aku pasti nggak ada bedanya dengan kemarin. Aku hanya akan terlihat seperti mayat hidup. Ragaku ada, tapi jiwaku entah sudah dimana. Ngomong-ngomong Pak Dimas, jujur saja, kemarin aku agak sedikit bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba saja terasa aneh. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan, yang jelas, aku sangat merasakan keanehan itu. Pak Dimas memang baik, tapi sepertinya dia bukan orang random yang tiba-tiba akan menraktiku ayam geprek cabai sepuluh hanya karena dia lapar dan menyuruhku untuk menemaninya makan. Belum lagi, dia sama sekali tidak keberatan dengan panggilan ngawur Nayla yang memanggilnya kaka ipar. Apa sikapnya kemarin ada maksud tertentu? Atau aku saja yang terlalu banyak berpikir? Di satu sisi, aku seperti mendapat secercah harapan meski presentasinya sangat kecil mengingat dia sudah memiliki calon, tapi di sisi lain aku merasa dia begitu karena sekedar ingin menghiburku saja. Tidak lebih. “Arghhhh!” Aku menggeram frustasi sambil meremas rambutku sampai benar-benar berantakan. Aku sering dengar dari teman kalau patah hati itu sangat menyakitkan, tapi aku tidak tahu kalau ternyata bisa semenyakitkan ini. Tahu bakal gini, harusnya aku tidak pernah membiarkan perasaan ini tumbuh tanpa tahu resiko terburuk. Benar-benar sangat merepotkan! *** Keesokan hari... “Mbak Shila, disuruh ke ruangan Pak Dimas sekarang. Oh iya, sama bawa fotokopi laporan penjualan yang cabang Kota Tegal,” ucap Riri ketika dia baru saja keluar dari ruangan Pak Dimas. “Oke, Ri. Makasih.” Aku langsung mencomot laporan yang memang sudah aku siapkan dan langsung bergegas masuk ke ruangan Pak Dimas. Sebelum masuk, aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. ‘Kamu bisa Shil, jangan cengeng. Harus professional.’ Aku masuk setelah mengetuk pintu dua kali. Begitu sampai dalam, ternyata Pak Dimas tidak ada. Oh, mungkin dia sedang berada di kamar mandi. Sembari menunggu Pak Dimas keluar dari kamar mandi, sesekali aku mengedarkan pandangan. Pandanganku menyapu seluruh isi ruangan, lalu tersenyum. Meski ruangan Pak Dimas ini tidak terlalu besar, tapi di dalamnya cukup banyak perabotan dan semua perabotan itu tersusun dengan rapi. Banyak yang bilang kalau Pak Dimas ini orangnya terkenal serba bersih. Dia bahkan meminta ada kamar mandi khusus untuk ruangannya. Mungkin dia tidak nyaman ketika harus berbagi kamar mandi dengan para karyawannya. Tiba-tiba saja, pandanganku berhenti ketika melihat ada sebuah buku catatan yang lebih menyerupai buku diary tergeletak di atas meja Pak Dimas. Buku itu berwarna putih yang sudut-sudutnya ada gambar kuda unicorn berwarna pink muda. Bentar, Pak Dimas juga punya buku itu? Maksudku, dulu aku juga punya buku kaya gitu jaman aku masih SMA. Dulu banyak sekali anak perempuan yang punya buku diary seperti itu. Pokonya hits banget sampai aku rasa hampir seluruh siswa perempuan angkatanku memiliki benda itu. Tapi sayang, milikku hilang dan sampai sekarang aku masih tidak sadar buku itu hilang di mana. “Sudah datang, Shil?” Aku langsung menoleh ketika mendengar suara Pak Dimas. Aku berdehem untuk menetralkan jantungku yang tiba-tiba berdetak sangat cepat begitu melihat Pak Dimas keluar dari kamar mandi dengan keadaan lengan kemeja putihnya digulung sampai siku, juga wajahnya sedikit basah. “Su-sudah pak.” “Nunggu lama ya?” “Baru dua menitan kok, pak.” “Oke.” Pak Dimas mengambil jasnya yang di gantung lalu segera memakainya kembali. Setelah selesai, dia buru-buru duduk di kursi kebesarannya. “Pak,” panggilku begitu Pak Dimas sudah duduk di kursinya. “Iya?” “Saya boleh tanya sesuatu?” “Tanya apa?” “Bapak juga punya buku kaya gitu?” tanyaku sambil menunjuk buku diary yang tadi aku maksud. “Ah, ini milik calon tunangan saya.” Aku hampir saja tersedak ludah ketika mendengar Pak Dimas dengan santainya menyebut ‘calon tunangan’. Segitu ingin pamernya, kah? ‘Kuat Shil, kuat.’ “Calon bapak apa seumuran saya? Soalnya setahu saya buku itu dulu hits banget jaman saya masih SMA.” “Dia dua tahun dibawah saya. Hampir tiga tahun sih, soalnya saya lahir pertengahan tahun dia akhir tahun.” Kan, benar? Aku dan Pak Dimas juga beda sekitar dua sampai tiga tahunan aja. Dulu aku kelas satu, Pak Dimas kelas tiga. Sayang sekali, dia bahkan tak mengingatku sedikitpun. “Dia dua puluh lima tahun, desember tahun lalu,” lanjut Pak Dimas kemudian. What? Calonnya juga lahir di bulan Desember sepertiku? Hah! Kebetulan macam apa ini! “Wah, berarti benar pak, saya juga berumur dua puluh lima akhir tahun kemarin. Saya kenal banget sama buku itu soalnya dulu saya juga punya.” “Persis seperti ini?” “Persis. Saking hitsnya, kayaknya hampir satu angkatan punya semua buku kaya gitu. Sebenarnya ada tiga warna. Hijau muda, pink, sama ungu. Nah, saya punya yang warna pink.” “Oh gitu. Bagus dong, nanti lain kali saya kenalkan dia sama kamu. Siapa tahu cocok. Apalagi kalian satu angkatan, jadi besar kemungkinan obrolan kalian bakal nyambung. Dia juga suka sekali kenalan sama orang baru.” ‘Nggak usah pak, makasih!’ “Hehe, iya pak.”Aku tersenyum sambil mengangguk untuk sekedar basa-basi. Lagi dan lagi, yang keluar dari mulutku sering tak sejalan dengan apa yang sebenarnya ingin aku ucapkan. Kenalan? Yang benar saja? Yang ada bukannya aku senang malah berasa ada yang lagi nebar garam di atas luka yang masih menganga. Oh iya, ngomong-ngomong meski aku sudah hampir dua bulan kerja dengan Pak Dimas, aku baru lihat calonnya sekali, itupun waktu aku tak sengaja melihat dia bersama Pak Dimas di parkiran. Iya, waktu itu, tepat setelah pengumuman aku diterima. Waktu itu aku tidak bisa melihat jelas wajahnya karena jarak kami yang agak jauh. Tapi yang pasti, calonnya Pak Dimas cukup tinggi dan rambutnya panjang sepunggung. “Oke, sekarang kita mulai saja. Saya mau bahas laporan yang berasal dari cabang Tegal. Kamu bawa fotokopiannya?” “Ini, pak. Di lembar terakhir juga saya kasih catatan kecil tentang kejanggalan yang saya temui.” “Pelakunya sama kaya yang di Semarang, Shil. Saya sudah cek. Angkanya, komanya, semuanya sama.” “Beneran pak? Berarti kemungkinan besar pelakunya juga Pak Ragil?” Pak Dimas mengangguk. “Iya, bahkan tanggal di bagian tanda tangan tidak diubah sama sekali. Sama-sama tanggal dua puluh tujuh. Padahal jelas yang di Tegal kan jadwal laporannya awal bulan, bukan akhir bulan seperti yang di Semarang.” “Ya ampun, Pak Ragil ini. Nipu sih nipu, tapi kok ya segitu nggak telitinya sampai tanggal saja nggak sempat diubah. Bodohnya kuadrat.” Pak Dimas tertawa mendengar itu. “Mana sempat, keburu ketahuan.” Kali ini aku yang tertawa. Detik berikutnya, aku dan Pak Dimas mulai membicarakan hal lain yang tak kalah pentingnya dengan mencari pelaku penggelapan uang. Namun, belum ada sepuluh menit aku dan Pak Dimas berdiskusi, tiba-tiba saja pintu ruangan Pak Dimas dibuka begitu saja tanpa diketuk terlebih dahulu. “Mas Adim, kujutan—“ Seketika aku dan Pak Dimas menoleh hampir bersamaan. Saat ini, di ambang pintu ada seorang perempuan berambut panjang sepunggung, sedang tersenyum lebar. Namun, ketika perempuan itu melihatku, tiba-tiba gantian matanya yang melebar. Sebentar, itu bukannya--- “ILA?!” “QILA?!” Seruku dan perempuan itu hampir bersamaan. Iya, benar, perempuan itu adalah Aqila, teman satu kelasku dulu waktu SMA. Dia kenapa bisa ada di sini? “Kalian saling kenal?” Tanya Pak Dimas dengan ekspresi agak bingung. “Kenal” – “Tidak terlalu.” Aku melongo mendengar jawaban Qila. ‘Tidak terlalu?’ padahal jawaban dari pertanyaan Pak Dimas cukup dijawab dengan iya atau tidak. Benar-benar anak ini tidak berubah sama sekali. Apa dia masih begitu membenciku? Bahkan sampai sekarang? “Jadi, kenal atau enggak?” “Maksudku, aku tahu dia. Sekedar tahu saja.” Aku semakin melongo dengan jawaban Qila. Jelas-jelas dia barusan manggil aku dengan sebutan ‘ILA’, yang mana itu adalah panggilan teman sekelasku ketika aku kelas satu SMA. Aku di panggil Ila karena saran dari ketua kelas untuk menghormati wali kelasku yang cadel huruf S. Kalau dia hanya sekedar tahu aku, harusnya barusan dia manggil aku dengan sebutan Shila seperti orang lain pada umumnya. Juga, dia harusnya tidak sekaget itu ketika melihatku. Belum selesai aku kaget dan heran kedatangan Qila yang tiba-tiba, detik berikutnya aku dibuat semakin kaget dengan ucapan Pak Dimas. “Dia Qila, Shil. Calon tunagan yang tadi saya maksud.” Hah? Gi-gimana? Calon tu-tunangan? Si Gila --- ralat, si Qila ini?! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN