6. Keanehan Dimas Part 1

1560 Kata
Aku menatap lurus ke luar jendela sambil sesekali melirik diam-diam ke arah Pak Dimas yang fokus mengemudi di sampingku. Hidupku kok gini banget ya? Terlalu miris nggak sih? Disaat orang yang ingin aku lupakan mati-matian justru tiba-tiba bersikap perhatian sedemikian rupa sampai membuatku sempat berpikir tak ingin mundur. Tapi aku sadar, jika aku maju, aku hanya akan menjadi orang ketiga. Dan dimana-mana, orang ketiga hanya akan mendapat kebencian dari banyak pihak. “P-pak, rumah saya ke kenan, bukan ke kiri.” Aku langsung protes ketika sadar Pak Dimas menjalankan mobilnya justru berlawanan arah dengan rumahku. Dia memang belum tahu rumahku, tapi tadi aku sudah bilang kalau rumahku arah Warung Boto. Dan jelas, jalan yang dia ambil sekarang bukan ke arah Warung Boto, tapi justru arah yang berlawanan. “Kita makan dulu.” “Ki-kita? Makan?” tanyaku tak paham. Maksudku, kenapa-tiba-tiba jadi makan? “Saya lapar.” Tiba-tiba saja Pak Dimas sudah menghentikan mobilnya di depan rumah makan ayam geprek yang cukup terkenal di wilayah Jogja. “Mau tetap di mobil?” tanya Pak Dimas ketika melihatku hanya diam di tempat dengan ekspresi bingung. “Bapak kalau mau makan nggak papa, saya lanjut pulang naik taxi saja.” “Jadi ini, balasan untuk orang yang sudah berbaik hati mengantarkanmu pulang?” “Hah?” “Hanya menemani saya makan sebentar. Saya janji tidak lebih dari setengah jam.” “Setengah jam itu lama, pak--” “Dua puluh menit,” potongnya cepat lalu keluar mobil begitu saja, meninggalkanku yang masih bengong di tempat. Akhirnya aku buru-buru keluar ketika melihat Pak Dimas masuk rumah makan sendirian. Sebelum aku ikut masuk ke dalam, aku memakai masker yang memang selalu aku bawa di tas. Namanya juga pulang pergi kerja naik motor, masker dan kacamata adalah benda yang wajib ada di tasku. Aku pakai masker karena aku rasa wajahku saat ini terlihat sangat berantakan, mengingat tadi aku sempat menangis, meski hanya sebentar. Aku celingukan sebentar untuk mencari keberadaan Pak Dimas, dan ternyata dia sudah duduk di dekat jendela. Aku segera menghampirinya dengan perasaan campur aduk. Antara sedikit kesal, bingung, juga heran. Harusnya, kalau tadi aku menolak tumpangannya dengan lebih tegas, saat ini aku sudah sampai rumah, bukannya malah terdampar di rumah makan ayam geprek bersama laki-laki yang sudah membuatku menangis seperti orang gila. “Saya pesan menu yang sama---“ “Saya nggak bilang pengen makan, pak. Saya ke sini karena bapak minta saya menemani bapak makan.” “Dibungkus aja kalau gitu, sudah terlanjur dipesan.” Aku mencibir kesal, namun sepertinya Pak Dimas tidak sadar karena saat ini wajahku tertutup masker. Krik krik ! Untuk beberapa saat lamanya, suasana di antara kami sangat hening. Hanya terdengar back song musick yang mengalun di rumah makan itu. Sekitar lima menit kemudian, pelayan datang menghampiri kami dengan dua piring ayam geprek dan dua gelas es jeruk. “Yang ini cabe tujuh, yang ini cabe sepuluh—“ “Yang cabe sepuluh dibungkus aja mbak,” potong Pak Dimas yang langsung mendapat anggukan dari pelayan. “Bentar, yang cabe sepuluh buat saya?” Pak Dimas mengangguk. “Iya. Kamu nggak mau makan di sini, kan?” Aku melongo tak percaya. Masalahnya, cabai sepuluh itu memang sudah jadi langgananku kalau lagi beli makan di sini! “Saya makan di sini saja, mbak,” ucapku akhirnya. Petugas itu tertawa kecil sebelum akhirnya meletakkan satu piring ayam geprek -yang katanya cabai sepuluh- tepat di depanku . Begitu pelayan itu pergi, Pak Dimas mengerutkan kening dan menatapku heran. “Katanya nggak mau makan di sini?” tanyanya kemudian. “Eee, gepreknya terlalu menggiurkan kalau dimakan nanti pak,” jawabku jujur yang langsung membuat Pak Dimas tertawa pelan. Aku segera melepas maskerku lalu memasukkannya lagi ke dalam tas. “Cabai sepuluh masih kurang nggak, Shil?” Aku menggeleng kuat. “Enggak pak, saya memang sering pesan cabai sepuluh kalau makan di sini. Ngomong-ngomong, bapak tahu darimana kok bisa pesan buat saya cabai sepuluh?” “Saya hanya menebak. Kelihatannya kamu suka makanan pedas.” “Menebak? Gimana kalau misal saya sebenarnya nggak suka makanan pedas?” “Tapi kenyataannya kamu suka pedas, kan?” “Kan ini misal pak---“ Kalimatku langsung berhenti ketika Pak Dimas menempelkan jari telunjuknya di bibirnya sendiri, mengisyaratkan aku untuk diam. “Kalau kamu ngomong terus, waktu dua puluh menit tidak cukup.” Mau tidak mau, aku tersenyum ketika melihat Pak Dimas mulai menyendokkan nasi ke mulut. Terlepas dari dia asal menebak atau apapun itu, aku sangat berterimakasih padanya. Biasanya moodku sedikit naik kalau habis makan makanan pedas. Miris banget ya, jadi aku? Laki-laki yang saat ini ada di depanku adalah alasan kemarin aku menangis sampai berjam-jam, tapi dia juga alasan hari ini aku bisa tersenyum lebar hanya karena melihat dia makan dengan lahap. Oh ya ampun! *** “Rumah kamu yang mana?” tanya Pak Dimas begitu mobilnya memasuki komplek perumahan tempat tinggalku. “Biru telur yang dua lantai itu pak,” jawabku pelan. “Oke.” Akhirnya Pak Dimas menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumahku. “Terimakasih banyak pak, atas tumpangannya juga traktirannya tadi. Saya minta maaf sekali untuk hari ini. Saya janji lain kali saya akan lebih professional,” ucapku cepat sambil menunduk, lalu detik berikutnya langsung melepas sabuk pengaman dan buru-buru keluar. “Bentar, Shil.” Aku berhenti. Pak Dimas ternyata ikut keluar lalu berjalan ke arahku. “Besok kamu saya kasih libur satu hari. Silahkan tenangkan pikiranmu dulu, tidak usah memikirkan pekerjaan. Saya sedang tidak banyak kerjaan, jadi kamu bisa---“ “Ohhh, jadi ini orangnya.” Kalimat Pak Dimas terhenti ketika mendengar suara itu. Begitu aku dan Pak Dimas menoleh ke arah sumber suara, terpampanglah Nayla dengan celana bokser selutut dan kaos kedodoran, berdiri sekitar jarak tiga meter dengan tangan menenteng telur dan beberapa bahan dapur lainnya. “Kamu ngapain di situ, Nay?” tanyaku dengan mata mendelik. Pasalnya penampilan Nayla saat ini benar-benar ‘nggak banget’. “Jadi ini nih, laki-laki yang udah bikin Mbak Shila nangis semalaman kaya orang gila?” “Hah?!” Baik aku maupun Pak Dimas sama-sama melongo kaget begitu mendengar kalimat Nayla barusan. “Barusan kamu bilang apa?” tanya Pak Dimas kemudian. “Enggak pak, enggak. Kamu ngomong apa sih, Nay!” Bentar, ini Nayla asal nebak atau memang dia udah tahu? “Mbak Shila semalem nangis sampai berjam-jam gara-gara patah hati, kan? Orangnya ini ya mbak, yang bikin Mbak Shila nangis?” “Heh! Mau apa kamu nay!” Aku langsung menahan Nayla yang tampak menggulung lengan bajunya seperti siap meninju orang. “Bikin pelajaran sama orang yang udah bikin Mbak Shila nangis kaya orang gila.” “Sembarangan kamu ini! Ini atasan mbak di kantor!” “Eh bukan dia, Mbak?” Aku langsung menghembuskan napas lega begitu melihat ekspresi Nayla yang tampak kaget. Itu artinya, ini bocah satu cuma asal nebak. “Buruan minta maaf, kamu ini dateng-dateng udah kaya preman.” “Hehe, maafin saya ya mas—“ “Mas? Panggil pak, Nay!” aku langsung menyikut tangan Nayla. “Oh iya, maaf p-pak— eh tapi dia belum setua itu buat aku panggil pak loh mbak,” “Ya pokoknya—“ “Saya memang belum setua itu.” Tiba-tiba saja, Pak Dimas malah tersenyum ke arah Nayla. “Nah, keliatan kok mas!” Kini giliran aku yang melongo ketika melihat Nayla dengan santainya nyengir lebar seperti tak punya dosa sama sekali. “Kamu ini mengingatkan saya jaman dulu,” ucap Pak Dimas kemudian. “Mengingatkan apa, mas?” Dan sekarang, dengan tak tahu malunya, si Nayla berdiri di sampingku sembari menatap penuh minat Pada Pak Dimas. Emang udah nggak waras ini bocah satu. Mana manggil Pak Dimas pakai ‘mas mes mas mes’ kaya sama siapanya aja! “Mengingatkan saya ketika dulu pertama kali kenalan dengan kakak ipar saya.” “Ipar?” “Iya,” Jujur, aku agak bingung dengan jawaban Pak Dimas yang tiba-tiba menyinggung kakak iparnya. Kakak ipar itu berarti suaminya Mbak Della kan, ya? “Wah, jangan-jangan masnya juga bakal jadi kakak ipar saya?” “Uhuk!” Aku tiba-tiba tersedak ludahku sendiri ketika mendengar ucapan ngawur yang keluar dari mulut Nayla. “Sembarangan banget kalau ngomong!” Lagi-lagi aku menyikut Nayla, kali lebih kencang dari yang tadi. “Maafin adek saya ya pak, dia emang otaknya agak nggak penuh—“ “Nggak papa,” “Tuh, nggak papa. Lagian bercanda aja kali, mbak. Serius amit!” “Kakakmu kayaknya lagi banyak pikiran. Suruh dia istirahat yang cukup, biar besok kalau di kantor nggak kebanyakan ngelamun dan lalai sama kerjaan. Oke?” “Siap kakak ipar!” “HEH! NAY!” Aku mendelik lagi, kali ini sambil mencubit keras lengan Nayla sampai membuat anak itu meringis kesakitan. “Mbak, sakit ih!” “Makanya, diem!” Ini anak satu bener-bener minta dibuang ke rawa-rawa kayaknya! “Jangan terlalu kasar sama adik sendiri.” Pak Dimas menatapku, kali ini sambil menggeleng. “Mbak Shila emang sadis banget, mas. Udah dari orok.” Bentar, ini kok jadi kaya gini sih? “Nay, udah yuk kita masuk. Pak, kami masuk dulu ya? Terimakasih banyak,” Aku menunduk sebentar untuk pamit, lalu mendorong Nayla agar masuk gerbang sebelum anak itu bicara makin ngawur. “Dadah kakak ipar—“ “NAY!” Aku tertegun agak lama ketika melihat Pak Dimas justru tersenyum sambil membalas lambaian tangan Nayla. Bentar, bentar,--- ini aku nggak salah lihat? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN