BAB : 9

1526 Kata
Pada saat pak Satpam datang sambil membopong Arland, tak sengaja ia bertemu dengan Tristan yang baru saja keluar dari kamarnya. "Padahal udah di bilang jangan sampai mabuk, masih aja ngeyel ni orang,” ujar Tristan yang langsung menghampiri Arland dan membantu membawanya ke kamar. "Iya mas Tristan, mabuk berat kayaknya ini Mas Arland nya," ujar pak Satpam. "Apa tadi dia bawa mobil sendiri, Pak?" "Nggak, Mas ... barusan ada gadis yang mengantarkannya." "Gadis?" bingung Tristan. "Iya, itu loh mas ... gadis yang kemarin bareng Mas Arland ke Rumah Sakit," jelas pak satpam pada Tristan mengingatkan. 'Gadis yang bernama Kiran kemarin kah,'  batin Tristan. "Kalau begitu saya permisi dulu, Mas " pamit pak satpam pada Tristan . "Oke, makasih, Pak.”   ---000---   Pagi ini Arland masih tertidur nyeyak di ranjangnya. Rasanya seolah tak berniat untuk bangun. Jangan kan bangun, membuka mata saja sungguh malas. "Woyy ... bangun!!" Suara teriakan itu seakan menghantam pendengarannya. "Lo mau bikin gue tuli," kesal Arland yang langsung terbangun dan mendapati Tristan yang sudah nangkring dihadapannya . “Ini udah siang dan lo masih tidur. Enggak lupa, kan ... kalau kita ada meeting?” Arland yang masih dalam mode malas, tiba-tiba langsung tersentak saat mendengar perkataan Tristan. “Astaga! Gue lupa,” decaknya sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. “Pusing, kan ... siapa suruh semalam minum sampai mabuk gitu," omel Tristan. Arland tak berkomentar lagi. Ia memilih untuk beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi. "Cepetan, ya ... gue nebeng!" teriak Tristan yang keluar dari kamar Arland. Kebiasaan Arland adalah, di saat jam mepet begini, ia akan mengemudikan mobilnya dalam keadaan menggila. Sama halnya seperti saat sedang emosi dan kalut, ini juga akan terjadi. "Ehh ... lo bawa mobil yang bener dong, masih mabuk kali, ya," oceh Tristan yang berada di samping Arland. Isi perutnya berasa diaduk-aduk hingga merasa  mual. "Apaan, sih, Lo? Nggak sadar apa, kita udah mau telat." "Dan itu semua salah elo," timpal Tristan langsung. "Coba aja semalam lo nggak mabuk, kita kan nggak telat hari ini." "Tris, bisa nggak, sih, lo berhenti ngomelin gue? Berasa kayak mama gue tahu, nggak." "Lo pikir gue emak-emak,” balas Tristan. "Mirip," sahut Arland. Sampai di kantor, keduanya segera menuju ruangan di mana meeting akan segera diadakan. Sekretaris dan juga yang lainnya juga sudah bersiap. Tapi langkah Arland tiba-tiba terhenti saat ponselnya berdering. "Ya, hallo," sahutnya. "Maaf dokter Arland, bisakah anda ke Rumah Sakit sekarang?" "Maaf, tapi sekarang saya lagi di kantor." "Dok, ini ada pasien yang harus ditangani  saat ini juga. Kalau enggak, nyawanya tak mungkin bisa diselamatkan." "Kan, masih ada dokter lain,” komentarnya. "Kami lebih mempercayai Anda untuk melakukannya dokter Arland." Arland sedikit berpikir, hingga akhirnya mengambil keputusan. "Ya sudah, saya segera kesana." "Kenapa?” tanya Tristan saat Arland menutup percakapan di telepon. "Lo yang heandle meeting hari ini," ujarnya langsung. "What!!" Bukan sok kaget, tapi ia benar-benar kaget. “Iya, gue mesti ke Rumah Sakit. Jadi, meeting hari ini gue serahin semuanya sama lo." "Tapi kan ...” "Lo nggak usah khawatir, semua berkas-berkasnya udah disiapin. Oke.” "Lo jangan becanda dong, Land. Masa iya gue yang mimpin?” Jujur saja ini menakutkan. Ia bahkan tak pernah dan tak berminat untuk memimpin meeting dan jenis-jenis rapat lainnya. "Pokoknya gue nggak mau tahu. Udah, gue mau ke Rumah Sakit dulu,” ujar Arland yang langsung pergi meninggalkan Tristan dengan kondisi bingung. "Lo benar-benar bikin kepala gue mumet parah, Land,” gerutunya kesal. Apalagi yang ia lakukan kalau bukan hanya pasrah. Mau menolak, mau kabur ... bisa dimampusin dirinya oleh Arland.   ---000---   Seperti beberapa hari belakangan, hari inipun dirinya masih bolak-balik ke rumah sakit. Ya, setidaknya hingga sahabatnya kembali ke rumah. "Ma, Pa ... aku mau ke Rumah Sakit dulu, ya,” pamit Kiran pada orang tuanya yang berada di ruang keluarga. Dewi tersenyum sinis menanggapi. "Kiran, kamu ngapain, sih ... pagi, siang, malam, ke Rumah Sakit? Kamu pikir, keluarga kita ini orang kaya raya yang tetap bisa makan meskipun tidur-tiduran, hah?!” "Dira lagi sakit, Ma ... jadi aku yang nemenin dia biar nggak sendirian,” jelasnya. "Cukup Kiran! Apa hidupmu hanya mau mengurusi orang lain!” bentak Tomi pada putrinya. "Tiap hari cuman ngurusin orang lain, seperti orang yang kurang kerjaan saja. Daripada ngurusin orang, lebih baik kamu cari kerjaan, sana! Apa seumur hidupmu akan bergantung pada kami? Apa kamu akan meminta uang kuliahmu pada kami juga?” Dewi semakin menambahkan perkataan-perkataan yang memang sengaja ia keluarkan. "Cuman sebentar kok, Pa, Ma ... soalnya aku juga ada kuliah siang ini. Habis kuliah aku langsung nyari kerjaan lagi," Jelas Kiran. "Alah ... kamu ini bilangnya nyari kerja, palingan ntar cuman main doang.” Lagi-lagi mamanya seolah sengaja membuat dirinya tersudut. Ya lebih tepatnya semakin tersudut dan dipandang buruk oleh papanya sendiri. "Aku nggak bohong, Ma ... aku nggak pernah main, kok,” ungkapnya. "Terserah kamu mau kemanapun, Mama ataupun Papa nggak peduli,” balas Dewi. "Pagi semua ....” Seorang gadis kini menghampiri sepasang suami istri itu. Ya dialah Dinda, adik dari Kiran yang berusia 18 tahun. Meskipun keduanya sama-sama berstatus sebagai mahasiswi, tapi perlakuan keduanya sungguh berbeda. "Lo ngapain masih disini?" tanya Dinda pada Kiran. Kiran hanya tersenyum simpul, menyaksikan perbedaan sikap kedua orang tuanya antara dirinya dan Dinda. "Aku pergi dulu, Ma, Pa,” pamitnya pada Dewi dan Tomi. Itulah yang tiap hari ia alami sejak kecil, hingga di usianya yang menginjak 20 tahun ini. Tak ada belaian kasih sayang, tak ada ungkapan sayang. Di saat sedih hadapi sendiri, di saat sakit tanggung sendiri. Tapi karna sudah terbiasa, jadinya berasa mati rasa. Meskipun kadang air mata tetap saja mengalir tanpa diperintah. Menyadari ... dirinya siapa dan Dinda siapa. Kiran  menuju ke Rumah Sakit untuk menemui Dira, sahabatnya. Gadis itu memang bukan keluarganya, tapi baginya dia lebih dari keluarganya sendiri. Lebih mengenal dirinya, lebih paham perasaannya, ada di saat suka maupun duka. Itulah kenapa di saat Dira sakit, ia merasa takut kehilangan sahabatnya itu. Persamaan antara ia dan Dira adalah sama-sama tak mendapat kasih sayang orang tua. Bedanya, ia hidup pas-pas'an ... sedangkan Dira apapun yang dia inginkan pasti langsung tersedia. Parahnya, di saat kondisi dia yang butuh kehadiran orang tua, mereka seolah tak perduli sama sekali. "Pagi,” sapa Kiran pada Dira yang masih terbaring di ranjang Rumah sakit. "Kiran.” Senyuman manis Dira langsung terukir akan kedatangan Kiran. Masih terlihat sekali rona lemah menahan sakit pada wajah gadis itu. "Gimana, masih sakit kah?" tanya Kiran pada Dira yang dia balas dengan gelengan ... yang sebenarnya ia sendiripun tahu bagaimana rasanya. "Kok pagi-pagi udah kesini, harusnya pagi ini lo kan ada kuliah.” Kiran duduk di kursi yang ada dekat tempat tidur Dira. "Iya, ntar langsung ke kampus, kok. Kan, gue mau mastiin dulu keadaan sahabat gue tercinta." "Hwaaa ... lo emang sahabat terbaik gue. Gue nggak tau harus apa tanpa adanya elo, Ki,” komentar Dira memasang wajah haru. Orang tua yang ia harapkan menemani saat kondisinya seperti ini, justru ia dapatkan dari sahabatnya. "Itu gunanya sahabat, bukan,” respon Kiran. "Maafin, ya ... beberapa hari ini gue udah bikin lo repot ngurusin semuanya. Lo sampe begadang tiap hari buat nemenin gue, bahkan lo itu lebih baik dari orang tua gue," jelasnya. "Iya, gue iklas, kok. Udah, jangan bikin gue terbang melayang kayak layangan putus,” candanya terkekeh. "Itu mata lo udah kayak mata panda tahu, nggak. Udah makin kurus dan nggak keurus.” Kiran malah tertaawa lepas saat mendengar omongan Dira yang lebih mirip kayak emak-emak yang sedang mengomeli anaknya. "Ntar kalau gue udah sehat, gue bakal permak lo lagi.” "Lo kira gue apaan pake dipermak,” umpatnya. Kiran melirik waktu di jam yang ada di pergelangan tangannya. “Eh, gue tinggal lo ke kampus dulu nggak apa-apa, kan? Nanti habis dari kampus, gue langsung ke sini.” "Iya, iya,” sahut Dira. Diperhatkan seperti ini saja, dirinya berasa udah bersyukur banget. "Eh, tapi mungkin gue kesini ntar malem deh, soalnya gue mesti nyari kerjaan dulu,” ralat Kiran lagi. "Masih disuruh sama orang tua lo, ya?” Dira tahu pasti bagaimana kehidupan Kiran. Termasuk bagaimana sobatnya di rumah diperlakukan. "Nggak, gue cuman pingin nyari kerjaan aja buat bantu-bantu dikit,” elaknya yang bahkan ia sendiri tahu kalau Dira tak akan semudah itu ia bohongi. "Udahlah, Ki ... jangan bohong. Kita tu udah kenal lama. Gue tahu semua seluk beluk kehidupan lo. Jadi, nggak usah bohongin gue." Tak berkomentar, Kiran hanya bisa mengangguk dengan ekspressi sedih. "Gimana kalau gue minta bokap  buat masukin loe di perusahaan beliau?" "Eh, nggak usah," tolak Kiran langsung. "Kenapa?" "Janganlah. Gue nggak mau diterima kerja gara-gara gue deket sama anak bos nya. Gue mau kerja sesuai dengan kemampuan gue aja, Ra," terangnya. "Susah loh, Ki ... apalagi status lo, kan, masih anak kuliahan. Jadi, nggak punya pengalaman apa-apa.” "Memang, sih. Tapi setidaknya gue udah berusaha. Karena usaha akan menghasilkan sesuatu yang memuaskan. Mungkin kemarin keberuntungan bukan berpihak ke gue, tapi besok siapa tahu rejeki gue terbuka lebar. “Aamiin,” sahut Dira langsung. “Udah, ya ... gue mau kampus dulu.” “Hati-hati.” “Oke. Bye!”          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN