BAB : 8

1293 Kata
Arland tertidur di ruangannya dengan berbantalkan lengan. Bahkan, saat seseorang menyelinap masuk dan menghampirinya pun, dia tak sadar dan terbangun sama sekali. Beberapa saat kemudian, barulah, sebuah deringan ponsel miliknya yang membuatnya terbangun. Saat ia lihat, ternyata papanya lah yang menelepon. Segera, ia menggeser tombol hijau yang ada di layar datar itu. "Iya, Pa,” sahutnya. "Ini Mama, bukan Papa." Ekspressi mengantuknya langsung berubah. "Ada apa, Ma?" Mamanya tahu, kalau meneleponnya tak akan dijawab. Malah menggunakan ponsel papanya. "Mama mau kamu pulang sekarang," suruh Kim. "Aku lagi sibuk, Ma,'' elak Arland. "Mama nggak mau tahu ... pokoknya kamu pulang sekarang!" Kim langsung mengakhiri pembicaraannya begitu saja tanpa menunggu tanggapan Arland. "Pasti Ceryl sudah ngadu lagi sama Mama dan Mama malah mau saja mendengarkan omongan gadis itu," umpatnya kesal. Saat ia hendak menyambar konci mobil yang ada di nakas, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah paper bag berwarna coklat dan sebuah kertas kecil di atasnya. Penasaran, ia pun membaca tulisan itu. (Maaf, dokter. Saya sudah merusak hari liburnya, dan maaf juga karena sudah membuat kekasih dokter jadi marah. Saya terima dengan iklas, kok, tamparan tadi. Meskipun sakitnya lumayan berasa. Oiya, dokter belum makan dari tadi siang, kan? Ini ada makanan buat dokter.) Benar sekali, saat melihat apa yang tersembunyi di dalam paper bag, ternyata sebuah kue bolu. Dari pesannya saja ia bisa tahu, siapa orangnya. "Lumayanlah, sebagai permintaan maaf karna sudah merusak hari liburku. Tapi tidak dengan mengatakan kalau Ceryl adalah kekasihku," gumam Arland sambil meneteng paperbag yang berisi kue itu dan melangkah pergi. Padahal ia sedang tak ingin bertemu dengan mamanya. Tapi mamanya sendirilah yang memintanya pulang ke rumah. Mau tidak mau, ia harus menuruti.   ---000---   "Kamu tadi nelepon Arland pake ponselku?" tanya Alvin pada Kim yang sedang bersenda gurau dengan si kembar di ruang keluarga. "Iya," jawabnya. "Kenapa?'' "Kalau pake ponselku, bisa dipastikan dia enggak akan menjawabnya," jelas Kim. "Mau ngapain?" Belum sempat Kim menjawab pertanyaan Alvin, tiba-tiba terdengar suara deru mobil yang memasuki garasi. "Itu pasti Kakak," heboh Lauren dan Lhinzy langsung turun menuju lantai bawah dan berlari menemui Arland. "Kamu minta Arland pulang?" "Iya." "Buat apa, sih? Dia, kan, masih sibuk di Rumah Sakit. Kamu harusnya ngertiin dia dong," balas Alvin tak setuju dengan sikap istrinya yang hanya memikirkan pribadi "Kak ... jangan belain dia terus." Panggilan yang hanya ia gunakan saat posisinya hanya berdua dengan Alvin. "Dia itu nggak sibuk. Buktinya dia masih sempat peluk-pelukan sama gadis yang tak dikenal di Rumah Sakit." "Mulai sekarang, jangan dengerin omongan Ceryl lagi. Kalau enggak, kamu sama Arland nggak akan pernah sejalan." "Ceryl nggak mungkin bohong sama kita, Kak ..." "Jadi, Mama lebih mempercayai Ceryl daripada anak sendiri. Begitukah?" tanya Arland tiba-tiba. "Kamu sudah pulang?" Kim bahkan tak perduli anaknya marah dan tersinggung. "Ma ... aku tahu Mama itu sayang banget sama Ceryl seperti anak kandung sendiri. Tapi bukan berarti semua omongannya wajib Mama turuti." "Itu kamu tahu, kalau Mama menyayangi Ceryl. Maka dari itu Mama mau dia lebih dekat dengan keluarga kita. Menikah sama kamu adalah caranya Arland," terang Kim pada putranya "Mama memang nggak pernah ngertiin aku sedikitpun!" Ia geram. Haruskah mamanya bersikap seperti ini? Tak harus menikah dengannya juga. Toh, gadis itu sudah ia anggap saudari sendiri. "Lagian, kamu juga enggak mempunyai kekasih, kan? Jadi, enggak akan ada seorang pun yang tersakiti disini." "Kamu sadar, nggak, dengan apa yang kamu katakan barusan!?" Alvin ikut bicara. Daritadi ia mencoba menahan diri agar tak terbawa emosi, tapi istrinya malah semakin menjadi-jadi. "Aku sadar. Makanya aku pingin gadis yang terbaik untuk putra kita. Yaitu Ceryl." "Aku ataupun Ceryl akan tersakiti, Ma. Karna tidak ada rasa cinta antara aku sama dia." "Setelah kalian menikah, rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya." "Maaf, Ma. Aku bukan Papa ataupun Mama yang dengan begitu mudahnya mau menerima sebuah perjodohan yang tidak masuk akal. Aku punya hati dan aku ingin menikah hanya dengan seseorang yang berasal dari hatiku, bukan hati Mama ataupun Papa.” "Jadi, intinya kamu menolak permintaan Mama ini?" "Iya, aku menolak!" Tegas Arland pada ucapannya. Ia langsung pergi begitu saja meninggalkan kedua orang tuanya . "Kamu mau kemana? Mama belum selesai bicara, Arland!" Panggilannya tak dihiraukan putranya. Rasanya begitu kesal. "Kak, dia pergi, tuh." "Biarin dia pergi," balas Alvin. "Harusnya tadi Kakak bantuin aku ngomong. Ini malah diem aja," berengut Kim pada Alvin. Ini yang kedua kalinya dirinya ditinggalkan saat masih bicara oleh Arland. "Aku diam karna nggak setuju sama keputusan yang kamu ambil. Dan aku mendukung semua keputusan yang diambil putraku," kesal Alvin sambil berlalu pergi menuju kamar. "Ini gimana, sih, anak sama Bapak sama aja. Sama-sama suka meninggalkan di saat aku lagi ngomong." Arland yang marah pada mamanya pun langsung pergi dengan keadaan emosi. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan berhenti tiba-tiba di sebuah club. Ya ... club' malam. Sampai di sana, ia menghampiri beberapa cowok yang sedang sibuk mengobrol. "Wah ... dokter Arland datang," ujar salah satu temannya di club. "Kalau bukan karena lagi banyak masalah, gue enggak akan kesini," balasnya sambil meneguk segelas minuman yang sudah disediakan oleh pelayan. "Lagi ada masalah apa?" tanya Leo. "Ya, apalagi kalau bukan masalah Ceryl yang selalu ngadu ke nyokapnya." Ini Tristan yang jawab "Itu cewek nggak ada matinya buat dapetin lo, dari jaman dulu loh." "Tapi dia kan lumayan." "Meskipun cantik luar biasa pun, kalau gue nggak suka ya gimana," balas Arland. "Eh, gue duluan ya.. Ni anak ngasih gue kerjaan yang nggak ada abis-abisnya," ujar Tristan sambil menjitak kepala Arland dengan sengaja . "Sialan lo," gerutu Arland atas perlakuan sobatnya. "Jangan mabuk, ntar gimana lo bawa mobil," pesan Tristan. "Sok perduli." Sementara Tristan balik, Arland masih betah berada di club. Dan benar sekali, sekarang dirinya sudah dalam keadaan mabuk. "Gue balik duluan, ya," pamitnya pada yang lain dengan jalannya yang sempoyongan. "Eh ... lo yakin mau balik? Nabrak lo ntar." "Nggak bakalan," jawabnya yakin. Padahal buat jalan aja dia udah nggak bertenaga. Alan berjalan menuju mobilnya yang berada di depan club dengan sempoyongan. Bahkan beberapa kali bertabrakan dengan pengujung lain.   ---000---   Kiran yang saat ini dalam perjalanan pulang dari Rumah sakit, tiba-tiba pandangannya tertuju pada seseorang yang tersandar pada sebuah mobil di parkiran sebuah club. "Pak ... berhenti di sini saja," ujarnya pada supir taksi yang ditumpanginya. Turun dari taksi, ia berjalan menuju ke arah orang tersebut. Saat sampai, ternyata dia adalah laki-laki yang baru ia kenal sehari ini.   "Loh, dokter Arland. Kenapa dia bisa ada di sini,” bingung Kiran. Kiran mencoba menyadarkan Arland, tapi sia-sia. Cowok itu tetap saja tak bangun-bangun. Sepertinya dia terlalu banyak minum, kalau tidak, bagaimana mungkin bisa mabuk parah begini. Ia berniat berniat mengantarkan Arland pulang. Bagaimanapun juga, karna cowok ini,  sahabatnya bisa segera mendapat pertolongan . Kiran mengambil alih konci mobil milik Arland yang dia pegang ... kemudian membopong untuk segera masuk ke dalam mobil. Untung saja ia tahu Alamat cowok ini, kalau tidak, tentunya ia akan bingung dibuatnya. Dalam perjalanan, Kiran sempat bingung. Ke manakah ia harus mengantarkan Arland? Ke rumah orang tua dia atau ke apartment? Sementara dirinya bingung, si pemilik mobil masih saja belum sadar. Setelah memikirkan satu di antara dua pilihan, Kiran lebih memilih untuk mengantarkan Arland ke apartmentnya. Ia tak mau ambil resiko kalau mengantarkan ke kediaman orang tua cowok ini. Bisa-bisa mereka malah mikir dirinya cewek nggak benar, karna di jam segini masih berkeliaran di luaran. Padahal ia kan baru balik dari Rumah Sakit. Saat turun dari mobil, untung saja di situ ada satpam. Jadi ia tak harus berjuang sendirian untuk membopong Arland menuju pintu Apartment. "Pak, tolong dibawa ke dalam ya, saya permisi dulu" "Baik, Mbak," balas pak Satpam. Lumayan melelahkan, sekarang ia harus nyari taksi lagi buat balik ke rumah. Pokoknya besok ia harus mengambil mobilnya di bengkel ... kalau tidak, waktunya akan terbuang sia-sia hanya untuk turun naik taksi. Tapi masalahnya sekarang, dananya tak memadai untuk itu.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN