Bab 2. Harus Menikahi Melody

1514 Kata
"Saya nggak punya orang tua," ucap Melody. Ia mengangkat wajahnya ragu-ragu. "Saya mau pulang aja, boleh saya pergi?" "Enak saja kamu pergi!" hardik Anggun. "Bu Anggun, hentikan!" sergah Tedi. Ia menyeka keningnya dengan kasar. "Bu Anggun lebih baik keluar dan kasih kesempatan biar mereka berpakaian dengan benar. Kita bicarakan semuanya di luar." Anggun menatap Melody dengan ekspresi jijik. Ia tak akan rela jika putranya dipaksa menikah dengan gadis seperti Melody, tetapi pilihan apa yang ia punya? Ia juga tak ingin melihat Kavi lebih dipermalukan di depan semua warga. Setelah semua orang keluar, Kavi segera berdiri. Ia buru-buru mengenakan celana dan kemejanya sementara Melody menutupi wajah dengan telapak tangan. Kavi menatap geram Melody. Entah apa yang dilakukan Melody di rumah ini, ia sangat kesal. Ia harus ketiban sial gara-gara keberadaan Melody. "Kamu nggak dengar apa kata pak RT? Pakai baju kamu dan keluar!" seru Kavi pada Melody yang masih terisak. Melody menurunkan telapak tangannya. Ia menatap Kavi yang terdengar marah padanya. Kenapa Kavi marah? Seharusnya Kavi meminta maaf padanya. Ia tak hanya ketakutan saat ini, ia juga kesakitan. Namun, tampaknya Kavi tidak peduli. Kavi memunguti pakaian Melody yang berceceran di lantai. Ia melemparkan begitu saja ke atas ranjang. Kedua matanya bergetar ketika ia melihat lagi bercak darah di sana. Gara-gara ia mabuk dan kalap, ia sudah merenggut keperawanan Melody. Namun, egonya terlalu kuat untuk meminta maaf. Lagipula, meminta maaf tak akan mengembalikan keperawanan Melody. Dan terlebih, Melody ke sini untuk melayani ayahnya. Itu saja sudah menjijikkan bagi Kavi. "Kenapa kamu diam saja?" tanya Kavi jengkel. "Kalau semua orang menuntut kita untuk menikah, katakan kamu nggak mau. Dan katakan tujuan kamu yang sebenarnya ke sini. Aku tahu, kamu w************n yang dibeli papa aku! Jadi, jangan berlagak seperti kamu adalah korban di sini. Dari awal, kamu sudah berniat tidur sama papa." "Aku juga nggak mau menikah sama Kakak!" seru Melody. Ia mengusap pipinya yang basah. "Aku ... aku bukan wanita seperti itu." Kavi berdecak jengkel. Ia langsung meninggalkan kamar tanpa sepatah kata pun atau bahkan menoleh pada Melody. Ia masih ingat siapa Melody. Ia pernah bertabrakan dengan gadis jelek itu di kantin kampus dan ia terkena tumpahan kopi panas di tubuhnya. Sejak saat itu, ia selalu merundung Melody. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Melody di sini. Sepeninggal Kavi, Melody mengedarkan matanya. Ia memastikan ia telah sendirian di kamar lalu segera memakai pakaian kembali. Ia masih terisak karena takut sekaligus menahan rasa pedih di pangkal pahanya. Melody mendengar kasak-kusuk di luar ruangan. Ia tahu, ia salah. Namun, ia juga harus mempertahankan dirinya saat ini. Semuanya kacau karena ia salah masuk kamar. Ia pasti akan kena omel bibinya nanti, ia juga harus memikirkan utang orang tuanya. Dengan hati berkecamuk, akhirnya Melody memutuskan keluar dari kamar. Semua mata terpaku padanya hingga ia langsung menunduk. "Ke sini kamu. Duduk!" Tedi memanggil Melody. "Kalau orang tua kamu nggak ada, kamu harus panggil wali kamu sekarang juga!" Melody melihat orang-orang yang duduk di ruang tamu. Hanya ada satu tempat kosong, yakni di sebelah Kavi. Pria itu melengos sengit dan masih terlihat mabuk. Melody tak punya pilihan, ia akhirnya duduk di sebelah Kavi lalu menelepon Tina, bibinya. *** Sementara itu, Andi yang seharusnya ditemui oleh Melody memutuskan untuk keluar ruangan. Melody tak muncul sesuai perjanjian dan ketika ia menuruni anak tangga, ja justru melihat banyak orang. Andi tak tahu apa yang terjadi, tetapi ia cemas karena ada ketua RT dan istrinya di sana. Apakah ia ketahuan hendak membawa anak gadis ke sini? Namun, kenapa semua orang justru melotot pada Kavi? Tunggu! Andi menatap gadis belia di sebelah Kavi. Ia tahu itu adalah Melody, gadis yang telah ia incar sejak beberapa bulan lalu. Kenapa justru Melody duduk bersama Kavi dan dikelilingi orang-orang? "Apa yang terjadi?" tanya Andi pada semua orang. Melody mengangkat dagunya, ia buru-buru menunduk lagi ketika bertemu tatap dengan Andi. Ia berdebar keras karena ia yakin itu adalah pria yang seharusnya ia layani. Gara-gara ia salah masuk kamar, ia justru bertemu Kavi. Sungguh sial! "Papa!" gertak Anggun. "Aku tahu gadis ini adalah gadis yang hendak kamu tiduri malam ini!" "Kamu jangan sembarangan!" seru Andi tak terima. Andi mengedarkan matanya, ia baru saja melihat Kavi membuang napas panjang. "Jangan bohong, Pa! Aku tahu kelakuan Papa di luar sana!" seru Anggun lagi. Andi hanya mengangkat bahu. Ia sangat kesal karena istrinya membawa banyak warga ke sini. Ia yakin, tujuan Anggun adalah menggerebek dirinya ketika ia bersama Melody. Namun, apakah Melody justru bersama Kavi? Ia mengendus aroma alkohol di sini. Ia tak ingin disalahkan oleh Anggun dan lebih baik menjadikan Kavi sebagai kambing hitam saja. "Aku bilang kamu jangan sembarangan bicara!" gertak Andi. Ia lalu melotot pada Kavi. "Apa kamu mabuk-mabukan lagi? Kamu membawa gadis ini ke rumah Papa dan bikin onar di sini?" Melody menelan keras. Ia semakin menunduk karena malu dianggap sebagai w**************n. Jika saja orang tuanya tak memiliki banyak utang, ia tak akan terjebak salam situasi ini. "Bukan aku yang bawa gadis ini ke rumah! Tapi Papa!" sergah Kavi tak terima. "Bukannya Papa yang membeli gadis ini?" Andi tersenyum miring. "Tapi kamu yang meniduri gadis ini, 'kan? Kamu emang cuma bisa bikin malu keluarga! Kamu masih bisa menuduh Papa setelah perbuatan m***m kamu?" Kavi berdiri, tetapi tubuhnya ditahan oleh salah satu warga. "Aku nggak sengaja!" "Kamu pikir semua orang bakal percaya?" Andi menatap putranya dengan ekspresi mencela. Ia lalu mengalihkan tatapannya pada Melody yang gemetar. Sungguh sial, seharusnya ia yang menikmati tubuh gadis itu. "Tenang, Pak Andi," ujar Tedi menyela. "Kita masih menunggu wali gadis ini. Kita harus membicarakan masalah penting. Jadi, lebih baik jangan bertengkar." "Masalah penting? Apa yang akan terjadi?" tanya Andi. "Tentu saja putra Bapak harus bertanggung jawab sama gadis ini. Nama kamu ... siapa?" tanya Tedi pada Melody. Melody mengangkat kepalanya sedikit. Ia melirik Kavi yang merah padam. "Me-Melody, Pak." "Ya. Saya mau mas Kavi menikahi Melody," kata Tedi. Andi mencelos. Gadis yang ia incar akan dimiliki oleh putranya. Ia lalu berjalan mendekati Anggun yang cemberut. Ia duduk di sebelahnya lalu menyenggol lengan istrinya. "Emangnya apa yang dilakukan Kavi sama cewek itu?" tanyanya berbisik. Anggun melotot sempurna. "Semua gara-gara Papa! Kalau Papa nggak bawa gadis itu ke sini, Kavi nggak akan nidurin dia!" Ia menahan dirinya untuk tak berteriak karena ia malu dengan semua orang. Andi mengepalkan tangannya. "Jadi ... Kavi sama gadis itu udah ... tidur bareng?" "Papa masih bertanya? Mama mau nggerebek Papa sama cewek itu biar Papa jera. Tapi apa yang ditemukan warga? Justru Kavi sedang ...." "Kalau gitu, ini kesalahan Mama. Kenapa Mama usil bawa-bawa warga ke sini?" Andi melengos dari istrinya. Ia diam-diam menatap Melody yang begitu cantik meskipun sedang ketakutan. Ia tak akan membiarkan Kavi mendapatkan Melody. Jika Kavi menikahi Melody itu artinya Melody akan tinggal di rumahnya. Itu bagus, ia bisa menagih utang gadis itu nantinya. "Permisi!" Melody menoleh cepat ke arah Tina yang datang dengan napas terengah. Bibinya terlihat sangat cemas, tetapi ia tahu ia pasti akan kena marah nantinya. Ia membuat semuanya kacau. "Saya Tina. Saya bibi Melody," ujar Tina memperkenalkan diri. Ia mengedarkan matanya lalu bertemu tatap dengan Andi. Ia sangat cemas kenapa ada banyak orang, bahkan ada istri Andi. Apakah Melody ketahuan? Oh, tidak! "Apa yang terjadi dengan keponakan saya?" "Kamu masih bertanya?" hardik Anggun. Ia berdiri lalu menunjuk Melody. "Melody udah menggoda anak saya. Dia masuk ke kamar anak saya dan membuat anak saya lupa diri." Melody menggeleng. "Nggak. Saya nggak menggoda kak Kavi. Saya dipaksa. Tante, aku ... aku udah ...." Tina menutup bibirnya. "Jadi, kamu diperkosa sama anak pak Andi?" Melody mengangguk hingga Kavi mengepalkan tangannya lebih erat. "Aku nggak bohong, Tante. Saya ... saya nggak bohong." "Semua warga di sini dilarang melakukan tindakan asusila," kata Tedi. "Kami sepakat untuk mengarak warga yang melanggar aturan. Tapi, semuanya bisa diselesaikan baik-baik jika nak Kavi mau bertanggung jawab." "Benar!" Tina berseru. Ia mendekati Melody dan memeluknya. "Saya mau kamu menikahi Melody. Kamu harus bertanggung jawab!" Kavi menggeram. Ia tak percaya semua ini terjadi padanya. Ia melirik Melody yang sesenggukan di pelukan Tina. Entah bagaimana, ia tak merasa kasihan pada gadis itu. Toh, Melody hanya gadis yang seharusnya ditiduri oleh ayahnya. Melody hanya gadis murahan. Kavi mengalihkan tatapannya pada sang ayah yang tak terlihat bersalah sama sekali. Ia membenci ayahnya dan ia semakin marah karena ia yang harus mengalami semua ini. Ia tahu ia juga bersalah, tetapi ia setidaknya ia ingin melihat gurat penyesalan ayahnya. Sayang sekali, itu sama sekali tak bisa ia temukan. Kavi lalu menoleh pada ibunya yang terlihat sangat marah. Ia juga membenci ibunya. Ia tak tahu apa yang di kepala ibunya yang hingga saat ini masih mau bertahan bersama ayahnya. Sungguh gila! Ia membenci semua hal. "Bagaimana, Mas Kavi? Apa Mas bersedia menikahi Melody?" tanya Tedi yang diikuti seruan para warga. Kavi menoleh pada Melody. Lebih dari apa pun, ia membenci Melody. Gadis itu sudah menempatkan dirinya pada sebuah pernikahan yang tak ingin ia lakukan. Ia bersumpah dalam hati, akan menyiksa gadis itu setelah mereka menikah. Ia akan membalas semua ini pada Melody. "Ya. Saya akan menikahi Melody." Suara Kavi menggema di telinga Melody. Entah, neraka seperti apa yang menunggunya? Ia tak bisa membayangkan dirinya menjadi istri seorang Kavi Harsha Bachtiar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN