Keluarga Melody meninggalkan rumah tersebut diikuti para warga. Sesuai kesepakatan, Kavi dan Melody akan melangsungkan pernikahan seminggu lagi karena mereka harus mendaftarkan semua berkas terlebih dahulu.
Kavi langsung uring-uringan begitu ia tinggal bertiga saja dengan Anggun dan Andi. "Semua ini gara-gara Papa! Kenapa Papa doyan selingkuh dari mama bahkan ngundang cewek itu ke rumah ini?"
"Kenapa Papa yang salah?" Andi menatap putranya dengan marah. "Seharusnya kamu malu, kamu mabuk-mabukan dan membuat masalah di sini. Cewek tadi ... bukannya dia satu kampus sama kamu. Kamu pasti udah kenal dan sengaja kamu ajak ke sini."
Kavi mengepalkan tangannya. Ia sangat ingin menghajar ayahnya saat ini. "Papa nggak usah memutarbalikkan fakta. Bukan aku yang membawa gadis itu ke sini!"
"Kamu yang ketahuan meniduri gadis itu. Kenapa kamu terus menyalahkan Papa?" Andi berdiri, ia tak ingin kena omel istrinya. Ia lalu meninggalkan ruang tamu dengan cepat.
Kavi mengalihkan tatapannya pada sang ibu yang ikut-ikutan berdiri. Sebelum ibunya menyusul Andi, ia lebih dulu berkata, "Lagian Mama ngapain ngumpulin warga ke sini? Coba Mama nggak bawa-bawa mereka. Aku pasti nggak harus nikah sama cewek udik itu."
"Kamu pikir Mama suka kamu nikah sama Melody? Mama juga nggak rela kamu harus nikahin dia, tapi mau bagaimana lagi? Kamu mau diarak keliling kampung tanpa pakaian?" Anggun kembali duduk lalu melipat kedua tangannya di depan d**a. "Dengerin Mama, kamu hanya perlu menikah dengan Melody. Yang penting sah. Setelah itu, satu atau dua bulan kemudian kamu bisa menceraikan Melody."
Kavi menyipitkan kedua matanya. Ia benar-benar tak bisa memahami orang tuanya. Yang satu doyan selingkuh sedangkan yang satu mempertahankan pernikahan yang sudah bobrok. Lalu kini, ia diminta menikah dan bercerai dalam waktu singkat? Kavi sungguh ingin tertawa konyol saat ini.
"Mama pikir, pernikahan itu cuma mainan?" tanya Kavi dengan nada mencela.
Anggun mendengkus. "Jangan lupa, gadis itu cuma gadis belian Papa kamu. Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan kamu. Lebih baik kamu makan terus tidur sana."
Kavi menatap ibunya berjalan menjauh ke lantai dua. Ia yakin sebentar lagi akan terjadi pertengkaran besar di atas. Jadi, ia tak mau naik ke kamarnya di atas. Kavi menatap pintu kamar tamu yang baru saja ia gunakan dengan Melody. Kedua tangannya mengepal. Ia tak akan membuat Melody bahagia dengan pernikahan mereka.
***
Sementara itu di rumahnya, Melody masih menangis tersedu-sedu. Ia mengusap lengannya yang memerah akibat cubitan demi cubitan yang diberikan oleh Tina.
"Kamu ini bego atau gimana, Melo? Tante bilang kamu harus melayani pak Andi. Kamu harus naik ke lantai dua, waktunya pas banget. Bu Anggun nggak di rumah dan sedang ke luar kota, tapi ... kenapa kamu justru masuk ke kamar anak itu? Kamu sengaja?" tanya Tina dengan penuh amarah.
"Nggak, Tante. Aku salah masuk. Aku nggak sengaja ketemu kak Kavi," sanggah Melody.
"Sekarang, kamu harus menikah dengan Kavi. Tapi kamu jangan lupa, utang orang tua kamu itu ratusan juta ke pak Andi. Kamu dalam masalah! Dan Tante nggak punya apa-apa untuk melunasinya. Tante nggak mau mikirin utang itu!" gerutu Tina. Ia kembali mencubit lengan Melody karena ia sungguh geram dengan Malody.
"Kita bisa menjual rumah ini, Tante. Ini rumah Papa. Ini rumah aku," kata Melody takut-takut.
Tina tertawa getir. "Lalu? Kamu mau Tante sama om tinggal di kolong jembatan? Kamu nggak mikirin keponakan kamu yang masih balita itu?" Tina mendorong kepala Melody dengan telunjuknya. "Kamu sekarang bisa ngomong kayak gitu karena kamu akan segera menikah dengan Kavi. Kamu bisa tinggal di rumah mewah itu, lalu kami?"
Melody terisak-isak. Ia tak tahu lagi bagaimana menanggapi bibinya. Ia sudah berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia bekerja keras sembari kuliah. Dan ia juga sudah merelakan tubuhnya untuk dijual, tetapi semuanya kacau.
"Tante nggak mau tahu. Tante mau bujuk pak Andi sekali lagi. Siapa tahu dia masih mau tidur sama kamu meskipun kamu sudah nggak perawan," kata Tina.
Melody menggeleng keras. Ia tak bisa membayangkan akan melakukan itu dengan ayah Kavi. Tidak, tidak, ia tak mau dianggap sebagai w************n. Ia menangis lebih keras ketika bibinya mengambil ponsel untuk menelepon Andi.
"Sial! Dia pasti nggak mau sama gadis yang sudah bekas kayak kamu. Kamu emang bego, Melo! Andai saja kamu bisa melayani pak Andi dengan baik, kita nggak akan pusing kayak gini!" Tina menggerutu terus-menerus hingga Melody merasa semakin pusing.
Omelan Tina akhirnya berhenti ketika Fadil, paman Melody, memanggil. Anak mereka menangis minta s**u. Melody pun menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke kamarnya. Melody langsung menuju kamar mandi, ia menangis di bawah guyuran shower dan mulai meratapi masa depannya yang mengerikan. Ia tahu, kini ia tak suci lagi. Ia telah menjadi makhluk kotor dan tidak berharga.
***
Seminggu berlalu dalam kehidupan Melody dengan mencekam. Melody bisa merasakan tatapan sengit Kavi jika mereka tanpa sengaja berpapasan di lingkungan kampus. Kavi membencinya. Ia tahu itu, Kavi sudah lama membencinya gara-gara insiden kopi tumpah ke bajunya dulu. Dan sekarang, semuanya makin mengerikan.
"Kenapa kak Kavi melotot terus ke kamu, Melo?" tanya Sania, teman Melody. "Kamu buat kesalahan lagi sama dia?"
"Ng-nggak, kok!" Melody menggeleng.
Kavi mengancamnya tiga hari yang lalu. Kavi melarangnya bercerita pada siapa pun bahwa mereka akan menikah. Kavi juga memintanya untuk merahasiakan pernikahan mereka nanti. Melody sepakat. Ia tak mau teman-temannya tahu ia menikah dengan Kavi.
"Serem banget sih. Masa dia masih dendam sama kamu gara-gara kopi itu?" Sania berdecak jengkel. Ia bergeser untuk menutupi tubuh Melody agar tidak kena pelototan Kavi lagi.
"Iya ... dia mau manggung hari itu. Dia vokalis, aku maklum. Aku udah bikin kacau penampilannya," ujar Melody gugup. Ia menunduk, menghindari tatapan menusuk Kavi. Sore ini, mereka akan melangsungkan pernikahan. Melody tak bisa membayangkan semua itu terjadi.
Setelah menyelesaikan kelasnya, Melody langsung pulang. Ia berdebar-debar karena melihat beberapa orang sudah ada di sana. Kabar pernikahannya menjamur dengan cepat di lingkungan tempat tinggalnya. Ia sangat malu, tetapi ia bersyukur karena insiden malam itu tampaknya tidak diketahui oleh para tetangga.
"Kamu mandi terus dandan. Nggak usah lama-lama," ujar Tina. "Bentar lagi keluarga Kavi datang."
Melody mengangguk. Ingin rasanya ia kabur, tetapi ia juga tak bisa. Ia melakukan apa yang diminta bibinya. Dengan cepat ia mandi lalu dibantu seorang perias, ia mengganti pakaian serta didandani secantik mungkin.
"Ya ampun, hari ini aku akan menikah?" Melody membatin seraya menatap foto kedua orang tuanya di pigura.
"Melo, kamu harus keluar," panggil Fadil, pamannya yang akan menjadi wali nikah hari ini.
"Iya, Om." Melody berdiri dengan gugup. Setengah mati, ia ingin meninggalkan rumah ini. Ia tidak ingin menjalani pernikahan ini karena yakin Kavi sangat membencinya.
Kedua mata Melody terus tertunduk. Ia tak sadar bahwa Kavi terus menatap ke arahnya sejak ia dibawa keluar dari kamar. Kavi mengepalkan tangannya. Ia tak percaya ia akan menikahi Melody. Ia tahu, hari ini Melody terlihat cantik, tetapi ia yakin itu hanya karena riasan. Selama ini Melody terlihat jelek dan tidak modis. Melody bahkan memakai tas dan sepatu butut ketika kuliah.
Kavi mendengkus ketika Melody didudukkan di sebelahnya. Ia juga tak menginginkan pernikahan ini, tetapi ia terpaksa. Mungkin, ibunya benar, ia akan menceraikan Melody setelah beberapa bulan. Atau mungkin, ia akan menikmati tubuh Melody dulu selama beberapa bulan. Tidak! Kavi hanya mencintai Tasya. Ia tak akan b*******h dengan tubuh jelek Melody. Andai saja ia tak mabuk, ia tak akan tergoda untuk meniduri Melody seminggu yang lalu.
"Kita mulai akad nikahnya," kata si penghulu. Ia menatap Kavi penuh makna. "Mas Kavi sudah siap?"
"Ya." Kavi menoleh sekilas pada Melody. Ia tak bisa memungkiri bahwa kini ia sangat gugup. "Saya siap."
Acara pernikahan itu berlangsung dengan cepat. Melody menahan napas ketika semua orang menyerukan kata sah. Dan kini, ia telah resmi menjadi istri dari Kavi.
Setelah semua tamu dan saksi meninggalkan rumah Melody, ketegangan pun kembali terasa. Orang tua Kavi terlihat begitu angkuh dan terkesan tak suka berlama-lama berada di rumah itu.
"Buatkan kopi untuk mereka," ujar Tina pada Melody.
"Ya, Tante." Melody yang telah menghapus riasannya segera ke dapur. Ia membuat beberapa cangkir kopi untuk semua orang.
"Jangan lupa, kamu masih punya utang sama aku."
Melody terkesiap ketika mendengar suara Andi. Ia menoleh dan melihat pria itu tengah memandangi tubuhnya dengan ekspresi yang mengerikan. Ia merapatkan dirinya ke meja dapur ketika Andi berjalan masuk dapur.
"Om ... Om mau ngapain?" Melody langsung gemetaran. Ia benar-benar risih dengan tatapan Andi padanya.
Tepat ketika Andi berdiri di depan Melody, Kavi melewati pintu dapur. Ia hendak ke toilet, tetapi ia memutuskan untuk menghentikan langkah. Ia mengepalkan tangannya begitu tahu apa yang sedang dilakukan oleh Andi.
"Papa ngapain di sini?" tanya Kavi. Ia melirik Melody yang langsung berpaling darinya. Ia bisa melihat tubuh gemetar Melody. "Papa gangguin Melody?"
"Papa cuma mau ambil kopi." Andi mengangkat salah satu cangkir dari baki. "Istri kamu kelamaan bikinnya."
Kavi menggeram begitu Andi keluar dari dapur. Ia lalu melayangkan tatapan mencela ke arah Melody. "Nggak usah kegatelan sama papa aku!"
"Nggak. Aku ng—"
"Aku tahu kamu seharusnya tidur sama papa malam itu. Nggak usah sok suci jadi orang!" Kavi mengambil baki yang ada di depan Melody. "Awas aja kamu bertingkah kalau kamu tinggal di rumah aku nanti!"