Kavi tak bisa tidur nyenyak malam itu. Ia berkali-kali terbangun karena mendengar Melody menangis. Ah, sungguh menyebalkan, pikirnya dalam hati. Ia memiringkan badannya, mencoba untuk tidur lebih lelap lagi.
Ketika pagi menjelang, Kavi bangun begitu awal. Sekali lagi, itu semua gara-gara Melody yang terisak-isak. Ia mengira Melody masih terbaring di lantai, tetapi ketika ia duduk, ia melihat Melody tengah menunaikan sholat subuh. Entah apa yang membuat Melody menangis seperti itu. Ia sungguh muak.
"Kamu ngapain?" tanya Kavi ketika ia memutuskan untuk menurunkan kakinya dari tempat tidur. Ia melihat Melody membuka lemari lalu mengeluarkan tas besarnya.
"Aku mau pergi dari sini," jawab Melody dengan suara serak.
Melody duduk di lantai, membelakangi Kavi hingga Kavi tak bisa melihat wajahnya yang merah dan memar. Ia terus mengeluarkan pakaiannya dari lemari lalu menyurukkannya ke dalam tas.
"Kamu mau pergi?" tanya Kavi bingung. Ia mendekati Melody. "Kenapa?"
"Kenapa?" Melody menoleh pada Kavi saat ini.
Kavi melotot sempurna. Dilihatnya wajah pipi Melody yang kebiruan dan ujung bibirnya terluka. Kedua mata Melody bengkak, jelas sekali itu karena menangis. Ia jadi ingat bagaimana Bima mengusap-usap pipi kiri Melody. Apakah dua hari kemarin, Bima sudah melihat memar di wajah istrinya?
"Om Andi ngelecehin aku sejak aku tinggal di sini. Dan tante Anggun ngira aku godain om Andi! Padahal, demi Allah, aku nggak pernah godain siapa pun di sini!" gertak Melody tak tahan lagi. "Dan nggak ada satu orang pun yang bisa aku mintain tolong. Bahkan suami aku juga nggak peduli."
Kavi meremang. Ia baru mendengar amarah Melody saat ini dan itu berbeda. Biasanya gadis ini pasrah, tidak pernah melawan. Namun, sekarang Melody justru terlihat sudah tak tahan lagi.
"Makanya aku mau pergi," kata Melody lagi. Ia kembali menarik pakaiannya dari dalam lemari. Ia menarik resleting dengan cepat kemudian mencoba berdiri.
Kavi menegang ketika melihat Melody menumpu tubuhnya di lemari ketika berdiri. Seberapa parah luka Melody? "Siapa yang mukulin kamu? Sejak kapan?"
Seharusnya ia tak perlu bertanya, sejak awal ia tahu ibunya pernah memukul Melody. Ia juga pernah melihat ibunya menyiram kepala Melody dengan teh. Dan ia tak peduli.
Melody juga tak menjawab. Ia berjalan pelan menuju meja belajar lalu mengambil kardus kosong yang kebetulan masih ada di bawah meja. Ia mengangkat kardus itu lalu mulai mengisinya dengan buku-buku.
"Bilang sama aku, mana aja yang terbuka?" tanya Kavi seraya mendekati Melody. Ia menarik lengan Melody hingga gadis itu meringis. Kavi menggeram, ia lantas menyalakan lampu kamar hingga ia bisa melihat lebih jelas tubuh Melody. "Di mana aja kamu dipukul mama?"
Melody menatap Kavi dengan ekspresi pedih dan kesakitan. "Seluruh tubuh aku."
Kavi mengepalkan tangannya. "Kamu beneran nggak godain papa?"
Melody tertawa mencela. "Kakak bisa lihat CCTV kalau nggak percaya. Tante Anggun kayaknya tahu dari rekaman CCTV dan dia salah paham. Aku bukan penggoda!"
Melody kini terduduk di meja belajar. Tubuhnya masih sakit sekali. Kavi menatap Melody, ia membuang napas panjang lalu menyentuh bahu Melody. Gadis itu menoleh dan memberinya tatapan menantang. Namun, Kavi tidak berhenti di situ. Ia menarik kerah blus Melody untuk melihat bahu dan lengan Melody. Benar, ada memar juga di sana.
Seketika, Kavi pun naik pitam. Ia melepaskan pakaian Melody lalu berjalan meninggalkan kamar. Kavi mengetuk pintu kamar ibunya dengan keras.
"Mama! Mama bangun!" teriak Kavi.
Kavi menunggu beberapa saat hingga pintu kamar akhirnya dibuka dari dalam. Wajah mengantuk Anggun pun terlihat di depannya. "Kenapa kamu udah bangun? Tumben."
"Mama, apa yang Mama lakukan sama Melody? Kenapa Mama tega pukul Melody?" tanya Kavi dengan penuh amarah.
"Apa?" Anggun bersedekap. Ia lalu menoleh ke dalam kamar. "Kamu harus tahu kalau Melody udah godain papa kamu tadi malam."
"Aku nggak percaya! Aku mau lihat rekaman CCTVnya!" hardik Kavi.
Anggun mendengkus. Ia pun segera masuk ke kamar lalu mengulurkan ponselnya pada Kavi. "Kamu bisa lihat, gimana istri kamu itu sengaja deketin papa kamu!"
Kavi menatap layar ponsel ibunya dengan ekspresi tak percaya. Jelas, di situ Melody sangat ketakutan. Melody juga berusaha pergi dari hadapan ayahnya. Dan ia sangat marah karena ayahnya berani mencium paksa Melody.
"Ma! Mama mikir apa sih? Jelas papa yang kurang aja sama Melody! Kenapa Mama melampiaskan semua sama Melody? Mama nggak nyadar, Melody babak-belur gara-gara Mama!" protes Kavi dengan penuh amarah.
"Itu semua salah Melody! Mama nggak peduli sama dia," ujar Anggun.
Kavi mendengkus keras. Ia meletakkan ponsel itu di tangan ibunya. "Mama dengerin aku. Ini bukan salah Melody, tapi emang papa yang b***t dan doyan selingkuh! Bahkan dia coba di rumah ini! Kenapa Mama nggak mau nyadar? Ayo dong, Ma! Mama masih mau bertahan sama pria itu?"
"Pria itu papa kamu!" teriak Anggun.
Teriakan Anggun berhasil membuat Andi menggeliat di dalam kamar. Pria itu menyipitkan mata, melihat istrinya sedang adu mulut dengan Kavi.
"Aku tahu! Tapi apa yang Mama lakukan itu salah! Kenapa Mama masih kau sama pria menjijikkan itu? Aku mau Mama cerai sama papa! Jangan salahkan orang lain, apalagi ... itu Melody. Astaga, Ma! Dia memar-memar karena kemarahan Mama!" umpat Kavi tak tahan lagi..
"Mama nggak mau cerai sama papa," kata Anggun dengan berderai air mata.
Kavi menggeleng. Ia menyugar rambutnya dengan kasar lalu mulai mondar-mandir. "Aku nggak betah lagi tinggal di sini. Aku udah coba bertahan selama ini, tapi apa? Papa doyan selingkuh dan Mama ... Mama tahu itu, tapi Mama dengan begonya masih mau sama papa. Dan sekarang ... Mama berubah kasar sama orang lain yang Mama anggap salah? Aku nggak tahan lagi. Aku mau pergi dari sini!"
"Kavi, kamu mau ke mana?" tanya Anggun bingung.
"Kavi! Apa yang kamu katakan?" Andi bangun dengan tergesa. Ia tak mendengar jelas obrolan Kavi dan Anggun, tetapi ia mendengar bahwa Kavi ingin pergi dari rumah ini.
Kavi mundur selangkah ketika ayahnya muncul dari pintu. Andi menoleh pada Kavi dan Anggun bergantian. "Kamu mau pergi?"
"Ya. Aku nggak tahan lagi sama kalian berdua! Aku muak sama kalian berdua!" gertak Kavi.
"Apa? Anggun dan Andi sama-sama terperangah.
"Kalian pikir ... ini adalah keluarga yang sehat? Tidak!" seru Kavi seraya mundur. "Aku nggak tahan sama Papa yang suka main perempuan, bahkan ... Papa tega sama istri aku! Papa nggak nyadar, dia istri aku, Pa!"
"Istri kamu punya utang yang harus dibayar!" gertak Andi tak mau kalah.
"Utang uang dibayar dengan uang! Bukan dengan tubuh!" Kavi mengacungkan telunjuknya di depan Andi. Ia lalu menatap ibunya. "Sekali lagi, aku tanya sama Mama, apa Mama masih mau bertahan sama pria ini?"
"Kavi ... dengar, Mama nggak bisa. Mama ...."
"Kalau gitu, aku nggak mau tinggal sama kalian lagi!" teriak Kavi. Ia meninggalkan depan kamar ayah dan ibunya lalu masuk ke kamarnya lagi dengan suara pintu yang keras.
Melody baru selesai berkemas. Ia tentu kaget dengan kemunculan Kavi yang memerah. Kavi sangat marah, tetapi Kavi juga terlihat ingin menangis. Kavi masih bernapas naik-turun ketika ia mengambil ponselnya.
"Halo, Njar!" Melody mendengar suara Kavi, ia yakin Kavi sedang menelepon Anjar. "Aku butuh bantuan kamu. Apa kontrakan rumah yang ada di sebelah kontrakan kamu itu masih ada?"
Melody menyipitkan matanya, apakah Kavi hendak pergi? Ataukah Kavi ingin mencarikan tempat untuknya?
"Ya, aku mau nyewa rumah itu. Ya ... sekarang juga! Aku mau kamu bilang sama ibu kosnya. Buruan! Aku ke sana sekarang!"
Kavi menyimpan ponselnya di tas. Ia menyambar beberapa pakaiannya lalu mencangklong tas itu. Ia menatap Melody dengan ekspresi yang tak bisa dibaca Melody. "Kamu udah selesai berkemas?"
"Ya. Kayaknya udah semua," jawab Melody bingung.
Kavi menelisik wajah Melody yang begitu jelek ditambah memar-memar yang mengerikan. Mungkin, di balik pakaian Melody juga ada memar. Dan ia tidak tega. "Kamu ikut sama aku. Kita nggak akan tinggal di rumah ini lagi."
Melody tak sempat bertanya. Ia melihat Kavi mengangkat tas sekaligus kardus bukunya. Lalu, Kavi mengedikkan dagunya ke arah pintu kamar.
"Ayo!"
Melody pun menyusul Kavi. Entah apa yang diinginkan oleh Kavi, tetapi ia tahu Kavi adalah suaminya. Jadi, ia memutuskan untuk mengikuti Kavi.
"Kalau kamu pergi, kamu nggak akan mendapatkan apa pun dari Papa!" ancam Andi yang kini berdiri di dekat anak tangga.
"Aku nggak butuh apa pun dari Papa!" tukas Kavi keras.
"Kalau gitu ... jangan pakai mobil. Itu milik Papa!" gertak Andi.
Rahang Kavi mengeras. Ia membawa banyak barang dan ia memang berniat membawa mobil ayahnya. Mungkin, ia akan menjualnya nanti sebagai modal usaha.
"Aku bawa motor aku sendiri!" Kavi mengedikkan dagunya lagi pada Melody lalu ia mulai menuruni anak tangga. Melody menyusul cepat, ia tak mau ditatap oleh Andi lagi.
"Kavi! Kavi jangan pergi!" panggil Anggun pada Kavi. Kavi tak merespon. Ia terlalu marah pada ibunya. Anggun kini menoleh pada Melody yang berjalan di belakang Kavi. "Pasti kamu yang mempengaruhi Kavi untuk pergi!"
"Mama jangan sembarangan!" teriak Kavi yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menatap ibunya dengan ekspresi penuh rasa kecewa. "Ini bukan salah Melody! Mama harus bisa mikir jernih dan jangan kasar sama istri aku lagi!"
Melody menelan keras. Sejak kapan ia diakui sebagai istri oleh Kavi? Bahkan di depan orang tua Kavi!
"Ayo kita pergi, Melo!"