Melody lebih banyak menunduk selama dia berada di kampus. Ia berharap agar tak seorang pun yang melihatnya wajah memarnya. Sayang, begitu ia bertemu dengan Sania dan Bima, keduanya langsung terkejut.
"Melo! Ini kenapa lebih parah dari kemarin?" tanya Bima seraya mengulurkan tangannya ke pipi Melody.
Melody memiringkan kepalanya. Ia tak ingin disentuh oleh Bima seperti ini. "Nggak apa-apa kok."
"Ini dari kemarin?" tanya Sania yang ikut terlihat cemas.
Melody membuang napas panjang. "Ini nggak apa-apa. Sumpah. Aku cuma ... agak malu aja."
Bima tak tahan lagi. Ia menahan pipi Melody dengan kedua telapak tangannya. Ia menatap Melody dalam-dalam. Rahangnya mengetat karena ia sangat marah sekaligus khawatir dengan Melody.
"Bilang sama aku, siapa yang udah pukul kamu?" tanya Bima dengan nada tertahan. Siapa pun yang telah membuat Melody terluka tak akan ia maafkan.
"Bim, ini tuh ...." Melody menghentikan ucapannya ketika ia melihat sosok Kavi. Pria itu berjalan ke arah mereka bertiga lalu mendorong Bima dengan bahunya. Melody meremang ketika Bima langsung melepaskan pipinya dan tatapan Kavi tertuju lurus pada sosok Bima. Beruntung, Kavi tak menatapnya. Ia juga langsung menunduk.
"Ngobrol itu jangan di tengah koridor! Kamu pikir ini kampus punya nenek moyang kamu?" tanya Kavi dengan nada mencela pada Bima.
Kavi menarik tali tasnya lalu dengan dengusan keras ia meninggalkan Melody, Bima dan Sania.
"Iya, maaf, Kak." Bima menanggapi ucapan Kavi, tetapi percuma karena Kavi telah pergi.
"Dasar itu orang, ketus terus," gerutu Sania. Ia kini merangkul bahu Melody. "Melo, kita ke toilet yuk. Aku bisa bantu kamu samarkan bekas memarnya."
"Serius?" tanya Melody yang merasa telah menemukan dewa penolong.
"Ya." Sania menatap Bima penuh makna. Ia tak ingin Bima mendesak Melody untuk bercerita dan ia yang akan mencoba memancing Melody bicara nanti.
Di toilet, Sania langsung mengeluarkan alat riasnya. Ia berdiri menghadap Melody lalu mulai memoles wajah cantik itu. Melody mungkin terlihat biasa saja karena ia tak pernah berdandan, tetapi Sania tahu Melody memiliki wajah yang indah. Dari bentuk mata, hidung mancung, bibir dan dagu yang sempurna. Sedikit polesan dan pakaian bagus pasti akan membuat Melody terlihat jauh lebih bersinar.
"Kamu nggak mau cerita apa-apa sama aku, Melo?" tanya Sania.
"Cerita apa?" Melody tahu temannya penasaran dengan memar di pipinya itu.
"Ya, siapa yang jahat sama kamu?" tanya Sania lagi. Ia ingat, Melody pernah bercerita bahwa Melody tinggal dengan paman dan bibinya. Bibinya sangat galak. "Apa ini ulah bibi kamu?"
"Nggak. Aku jatuh." Melody berkilah.
"Aku nggak bego, Melo. Astaghfirullah. Kamu bisa cerita sama aku, oke? Aku sama Bima sahabat kamu. Jadi, kalau ada apa-apa, ayo dong, cerita," pinta Sania.
Tak mungkin Melody bercerita bahwa ia ditampar oleh mertuanya. Ia tak ingin mereka tahu bahwa ia telah menikah dengan Kavi.
"Aku belum bisa cerita sekarang. Tapi, aku baik-baik aja kok. Kamu nggak usah khawatir," tukas Melody cepat.
Melody menatap ke cermin. Ia terkejut sendiri melihat wajahnya yang terlihat berbeda. "Ya ampun, San. Kamu ini malah dandanin aku!"
"Abisnya enak dandanin muka kamu. Poles dikit aja jadi secantik itu," ujar Sania.
Melody mencebik, tetapi ia bersyukur memiliki sahabat seperti Sania. Ia merangkul bahu Sania dan berjalan dengan jauh lebih ringan. "Makasih, San. Tanpa kamu, aku nggak tahu aku bakal jadi apa."
Sania tertawa dan Melody juga. "Pokoknya cerita sama aku kalau kamu punya masalah."
"Pasti." Melody mengulum bibirnya. Ia tak akan bercerita. Setidaknya untuk saat ini. Ia akan menahan semuanya.
***
Melody pulang ke rumah Kavi sama seperti kemarin. Ia menolak diantar oleh Bima dan ia naik ojek ke sana. Melody masuk dengan buru-buru karena tak ingin kena marah Anggun. Ia harus mandi lalu menyiapkan makan malam.
Namun, ketika Melody turun ke lantai satu, ia merasa bahwa rumah itu sangat sepi. Ia hanya menjumpai Leni yang tengah melipat serbet dan apron kering.
"Kok sepi, Bi?" Melody bertanya pada asisten rumah tangga itu.
"Iya. Nyonya tadi ada arisan sama teman-temannya," jawab Leni.
"Oh. Jadi, ini aku masak buat berapa orang ya?" Melody berpikir sejenak.
"Biasa aja, Non. Saya bantuin. Paling bentar lagi nyonya juga pulang. Kalau Den Kavi biasanya nyampe malam."
Melody mengangguk. Ia berkutat dengan bahan makanan hingga semuanya siap di meja makan. Melody tak melihat adanya Anggun. Dan tak lama suara langkah membuat Melody terkesiap.
"Kamu makan di sini, ya." Andi menarik kursinya lalu mengedikkan dagunya pada Melody.
"Aku bisa makan di dapur, Om," kata Melody was-was.
"Aku minta kamu duduk di sini!" tegas Andi.
Melody menelan keras. Ia akhirnya duduk di kursi yang agak jauh dari Andi.
"Geser ke sini, dong!" Andi menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Melody meremang. Ia takut pada Andi. Apalagi Leni tak terlihat lagi. Semua orang juga belum pulang. "Aku di sini aja, Om."
"Kamu berani melawan?" Andi menatap Melody dengan eskpresi mencemooh. "Kamu ke sini, atau aku yang ke situ?"
Melody menggeleng pelan. Ia pun bergeser ke kursi yang diminta oleh Andi. Rencananya satu, makan dengan cepat lalu kembali ke kamar.
Begitu Melody duduk di sebelahnya, Andi tersenyum miring. "Bagus, kamu jangan jual mahal sama aku. Ingat, kamu masih harus bayar utang sama aku."
"Aku bayar pakai rumah peninggalan papa. Om bisa ambil sertifikat rumah itu," kata Melody penuh harap.
"Rumah kecil itu?" tanya Andi dengan nada tak percaya.
"Ya. Itu udah lebih cukup kalau laku terjual," kata Melody. Entah apa yang akan dikatakan oleh bibinya nanti, ia tak peduli sekarang. Ayah dan ibunya tak akan suka jika ia dipermainkan oleh pria tua seperti Andi.
"Kalau laku. Rumah kamu ada di gang bagian dalam. Aku nggak mau rumah itu. Aku mau kamu aja," kata Andi. Ia menurunkan tangannya untuk menemukan paha Melody.
Gadis itu terkesiap ketika Andi menyingkap roknya lalu mengusap pahanya. "Om, jangan!"
"Jangan melawan kamu. Kita nggak punya waktu lama, Anggun bisa pulang kapan aja. Jadi, ayo kita ke kamar," kata Andi.
Melody berdiri seraya menepis tangan Andi dari pahanya. Ia tak peduli dengan perutnya yang keroncong sekarang. Ia berlari ke arah anak tangga. Namun, sayangnya Melody kalah cepat. Andi dengan kasar menarik lengannya. Andi menarik tubuh Melody lalu merapatkannya ke dinding.
"Jangan!" teriak Melody. Ia berharap ada Leni di sini, atau mungkin malah Anggun. Siapa saja, ia ingin ada yang menolongnya.
Andi tentu tak mau kalah dari Melody. Ia mencium bibir Melody dengan kasar. Melody terengah. Tak ada yang bisa menolongnya kecuali dirinya sendiri, jadi ia segera mendorong d**a Andi lalu menginjak kaki Andi keras-keras. Ia tak peduli dengan Andi yang meneriakinya dengan kata-kata kasar. Ia hanya ingin kabur.
Melody menutup pintu kamar. Ia menangis tersedu-sedu dengan punggung menahan pintu. Ia takut jika Andi akan menyusul naik ke sini. Namun, setelah beberapa menit berlalu, ia tak mendengar ada orang di luar. Melody terduduk, ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan.
"Kenapa semua orang jahat sama aku?" Melody terisak. Hidup rasanya tidak adil padanya. Dengan lemah, ia pun merosot ke lantai. Melody menangisi nasibnya yang sungguh buruk.
***
Melody hampir tidur, tetapi ia mendengar pintu kamar dibuka dengan kasar. Ia mengira itu Kavi, tetapi ini masih pukul 9.00, jadi ia begitu cemas jika itu adalah Andi.
Melody bangun dari lantai, tetapi tiba-tiba seseorang mencengkeram rambutnya. Anggun dengan penuh amarah menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
"Dasar kamu, menantu sialan!" teriak Anggun.
Melody menyipitkan matanya tak percaya. Ia hampir memprotes Anggun, tetapi Anggun begitu kalap dan mulai memukul wajahnya. Yah, Anggun memasang CCTV di rumah ini. Ia melihat apa yang terjadi di ruang makan dan marah. Ia sudah mengamuk pada Andi, tetapi ia juga perlu melampiaskan semuanya pada Melody.
"Jangan, Tante! Sakit!" pekik Melody. Tak hanya wajahnya yang dipukul, tetapi juga lengan dan pahanya.
"Ngapain kamu duduk di sebelah suami aku? Ha? Kamu emang penggoda!" teriak Anggun. Ia mencubit keras lengan Melody hingga gadis itu meringis.
"Om Andi yang minta. Aku nggak pernah mau godain suami Tante. Aku bersumpah. Aku bakal bayar utang orang tua aku, tapi ... tapi tolong minta om Andi buat nggak gatel ke aku," isak Melody.
Anggun tertawa mencela. "Kamu yang sengaja duduk deket-deket suami aku. Kamu pikir ... karena kamu masih muda ... kamu bisa goda dia?"
Melody menggeleng dan satu pukulan lagi mendarat di pipinya. Melody merasa pusing. Ia terduduk di lantai ketika Anggun sudah puas memukulinya.
"Kamu jangan ganjen lagi!" hardik Anggun sebelum ia meninggalkan kamar Melody.
Melody hanya bisa menangis. Ia akan pergi dari sini. Besok mungkin, atau sekarang juga. Yah, ia tak tahan lagi untuk tinggal di sini. Ia tak bisa diperlakukan seperti ini. Ia tak peduli. Dengan gemetar, Melody membuka lemari. Ia mengeluarkan tasnya lalu mengisinya dengan baju-baju.
Tubuhnya terasa sakit hingga ia hanya bisa mengerang. "Ya, Allah. Kenapa jadi begini?"
Melody menyimpan kembali tasnya di lemari. Ia mungkin harus tidur lebih dulu. Ia terlalu lemah dan sakit untuk keluar dari neraka ini. Ia pun beringsut untuk berbaring di lantai tempatnya biasa tidur. Melody tak bisa tidur nyenyak, ia merintih sesekali dalam tidurnya. Ia juga menangis tanpa sadar.
Melody tak sadar bahwa Kavi telah pulang malam itu. Kavi tentu terkejut mendengar Melody menangis. Kavi menatap tubuh Melody yang tertutup selimut dengan penuh rasa penasaran. Karena lampu telah dimatikan, Kavi tak bisa melihat wajah dan tubuh penuh memar Melody.
"Apa dia ngelindur?" Kavi mendekati Melody, mengguncang kaki Melody dengan kakinya, tetapi Melody tidak terbangun. Isak lirih itu masih terdengar hingga Kavi merasa penasaran. "Apa dia sakit?"
Kavi mengepalkan tangannya. Ia memilih untuk tak peduli pada Melody. Ia tak tahu bahwa besok pagi, ia akan dibuat kaget dengan kondisi Melody yang mengenaskan.