Gue terbengong-bengong memperhatikan rumah suami kedua gue.
Astaga, rumahnya sangat luas dan mewah sekali. Ini mah lebih cocok disebut istana! Gue jadi penasaran padanya. Jelas dia tajir, tampilannya yahud banget, sikapnya sejauh ini tak tercela. Lalu buat apa dia se-desperado nian menjawab iklan ‘wanted perfect husband’ gue yang absurd gitu?! Padahal jelas sekali dikatakan dalam iklan itu tampilan gue biasa aja lho. Aneh!
Gue memandang suami gue yang kini sudah berganti baju casual. Dari samping pun tampilannya amat luar biasa!
"Masa gak ada cewek yang mau dengannya?" Jiahhhh!! Kenapa gue menyuarakan pikiran gue?!
Dia menoleh, lalu mendekati gue. Kini dia duduk di sebelah gue. Uh, terlalu dekat! Nyaris gak ada jarak diantara kami. Gue sesak napas dibuatnya. Kayaknya emang gue alergi sama cowok ganteng deh!
"Yang kamu maksud tadi.. aku?" tanyanya untuk memastikan.
Gue mengangguk. "Maaf kalau gue punya pikiran seperti itu. Cuma elo satu-satunya cowok yang menjawab iklan gila gue.."
Dia menyentuh bibir gue dengan telunjuknya hingga membuat gue kincep.
"Aku membalas iklanmu karena aku ingin, bukan karena aku tidak laku," jawabnya tegas.
Gue melongo. Apa dia barusan bilang dia menjawab iklan gue gegara menginginkan gue? Yakin gue boleh geer? Tapi masih ada kemungkinan lain!
"Jujur aja, apa lo homo?" tebak gue.
Misalkan dia homo, bisa jadi alasannya menikahi gue adalah untuk menyembunyikan identitas dirinya. Nando terkejut mendengar pertanyaan gue.
"Apa aku terlihat seperti itu?" dia mengernyitkan dahinya heran.
Percayalah, tampilan bisa menipu! Gue udah tahu contoh hidupnya... Nath! Kurang apa dia? Ganteng banget, keren dan macho.. tapi homo!
"Apa perlu kubuktikan kalau aku lelaki normal, Sayang?" bisiknya sensual sambil meremas pinggang gue.
Sial. Gue jadi salting, jengah, dan kacau. Dengan cepat gue berdiri dan bertanya padanya, "dimana kamar gue? Gue gerah, pengin ganti baju." Yup, sedari tadi gue belum melepas baju pengantin gue gegara sibuk merenung.
Nando menunjuk satu kamar di lantai bawah, gue menuju kesana dan memasukinya. Nando mengikuti langkah gue.
"Eh, kok lo ikutan masuk sih?" protes gue.
"Ini kamarku juga, Sayang. Masa aku dilarang memasuki kamarku sendiri?" tanyanya menggoda.
Gue membulatkan mata kaget. "Jadi kita sekamar?"
"Sudah sewajarnya. Kita suami istri, masih ingat?"
"Gue belum pikun!" sergah gue sambil menghembuskan napas kesal, seperti biasanya gue meniup poni hingga anak rambut gue melayang dramatis.
"Masih sama seperti dulu," gumam Nando pelan.
"Hah? Apaan?"
"Tidak," sahut Nando, lalu buru-buru mengalihkan perhatian gue. "Mau kubantu melepas baju ribet itu?"
"Enggak, gue bisa sendiri," tolak gue halus.
Perlahan gue menurunkan resleting gue sambil melirik Nando. Sopan gak sih kalau gue memintanya keluar saat gue berganti baju? Atau gue suruh dia tutup mata?
"Resleting kamu macet."
"Hah?" Gue baru sadar akan hal itu setelah Nando memberitahu. Walau gue tarik paksa, resleting sialan itu gak mau bergerak. Sebal! Mendadak ada tangan yang memegang resleting gue. Sejak kapan dia ada di belakang gue? Gerakannya samar banget sih! Apa dia makhluk halus?
"Jangan dipaksa. Kau harus tahu celahnya dulu baru bertindak," ucapnya kalem, dengan cekatan tangannya bekerja membebaskan sejumput kain yang terjepit dalam resleting baju gue.
"Setelah kita bereskan masalahnya baru jalan lagi," imbuhnya sembari menurunkan resleting gue.
Ucapannya sangat ambigu. Dia membicarakan perihal resleting atau masalah lain sih?! Gue gagal paham. Dan juga kalut begitu menyadari napasnya yang hangat lagi-lagi menerpa punggung gue yang kini terbuka lebar. Tangannya mulai mengelus punggung gue hingga membuat gue menggelinjang geli.
"Nan... Doo... " tak sadar gue mendesah.
"Hemmm?" sahutnya tak jelas sambil mengecup bahu gue.
Haizzz, bagaimana sekarang?! Masa gue harus menyerahkan diri segampang itu padanya? Meski gak cakep amat, gue bukan cewek gampangan!
Gue berbalik seraya memegang baju gue. "Kita perlu bicara."
"Bisa bicara nanti setelah kita menyelesaikan semua ini?" tanyanya menawar. Pandangan matanya nampak berkabut diwarnai nafsu.
"Tidak. Seperti kata lo tadi, selesaikan dulu permasalahannya baru kita jalan," tegas gue.
Nando menghela napasnya, lalu duduk di tepi ranjang.
"Duduk sini Olga." Dia menepuk sisi ranjang di sebelahnya. Gue duduk di sampingnya, agak memberi jarak demi mulusnya konsentrasi gue.
"Apa lo sudah tahu kalau Papi dan Mami gue udah pisah? Mereka berantem mulu kayak Tom en Jerry," ungkap gue mengawali pembicaraan.
"Papi sudah menceritakannya," sahut Nando singkat.
"Jadi lo tahu, apapun pilihan Papi pasti Mami gak akan menyetujuinya. Demikian pula sebaliknya."
"Maksudmu? To the poin saja, Sayang," pinta Nando mesra.
"Lo pilihan Papi. Jadi Mami pasti akan menolak lo! Itu sebabnya Papi menikahkan kita tanpa sepengetahuan Mami. Gue ingin pernikahan kita dirahasiakan sampai Mami bisa menerima pernikahan ini."
"Sampai kapan?" tanya Nando, setengah menyindir.
"Gue belum bisa menjawabnya, Nando. Mami, dia punya tumor. Gue gak mau menyakiti hatinya. Gue akan memberinya pengertian secara perlahan."
"Mami sakit parah?"
"Begitulah. Itu sebabnya gue memasang iklan gila untuk memenuhi keinginan Mami. Ehm, Nando berkaitan dengan ini, gue ingin bicara dari hati ke hati sama lo."
Nando menyentuh ringan tangan gue dan berkata simpatik, "bicaralah. Aku siap mendengar dengan hatiku."
He is so sweet. Gue gak tahu apa gue bisa bertahan tak jatuh dalam pesonanya.
"Nando, meski gue terkesan serampangan hingga nekat memasang iklan seperti itu, tapi gue bukan cewek gampangan. Lo bisa memahaminya kan? Kita baru aja bertemu. Gu-gue gak bisa melakuin hal itu dengan orang yang baru gue kenal. Apa lo bisa memberi waktu supaya kita saling mengenal sebelum melakukannya?"
Nando memang sosok suami idaman. Pokoknya dia perfect! Gue hampir gak percaya, sosok sesempurnanya sengaja masuk kedalam hidup gue. Kehidupan gue yang kacau balau gegara ulah kedua ortu gue!!
***
Senin pagi gue balik ke apartemen dalam keadaan home sick dan lega karena gue masih utuh. Dengan kata lain, segel keperawanan gue masih terjaga. Gue langsung masuk ke kamar, pengin rebahan di kasur gue. Kangen dengan singgasana tidur gue.
Gue membuka pintu kamar gue, lalu melongo. Ada sosok pria telanjang bulat yang tengah membelakangi gue. Astaga! Gue lupa, kini gue hidup berdua dengan Nath, suami pertama gue! Badan Nath bagus banget, gue terdiam di tempat untuk menikmati pemandangan indah didepan gue. Sebelum Nath berbalik, berkacak pinggang dan langsung mengomeli gue!
"Bagus!! Baru ingat pulang sekarang?! Apa lo gak tahu betapa khawatirnya gue karena lo menghilang selama dua hari?!"
"Ta-tapi Nath..." Wajah gue merona malu. Bagaimana tidak, Nath berbalik menghadap gue dengan keadaan telanjang bulat. Gue bisa melihat tubuh polosnya dengan jelas.
"Gue nyaris gila mikirin lo kenapa-napa!! Mana hape lo gak aktif lagi.."
"Nath, tapi lo..." gue menudingnya dengan wajah menunduk dalam.
"Tapi apanya? Alasan apa lagi, Beb? Lo mesti dihukum!"
Hadeh! Cowok ini gak sadar juga.
"Ot*ng lo! Ot*ng lo kelihatan! Lo bikin mata gue ternoda, Nath!" pekik gue kesal.
Nath tersadar lalu segera menyambar bantal yang ada di ranjang.
"Kenapa lo baru ngomong sekarang?!" protes Nath.
Gue jitak kepala Nath gregetan. "t***l! Gue udah berusaha memberitahu lo dari tadi. Sekarang otak gue jadi error. Ngelihat lo, otomatis terbayang ot*ng lo tauk!" ucap gue ceplas ceplos.
Nath malah tertawa m***m.
"Daripada cuma membayangkan, bagaimana kalau lo coba merasakannya langsung, Istriku?" goda Nath.
Tuh kan, cowok ini gak bisa dikasih hati deh. Langsung ngelunjak! Gue asal menyambar bantal buat menggeplak kepala mesumnya. Kyaaaaa! Kok yang gue sambar adalah bantal yang dia pakai buat menutupi otongnya?! Mata gue sontak beralih menatap plafon kamar.
"Nath, pake celana lo buruan gih! Atau gue potong titit lo!" ancam gue sadis.
Nath tertawa terbahak.
OMG. Ternyata meski homo, Nath sanggup membuat gue kelimpungan. Kenapa badan lo bagus banget Nath?! Trus o***g lo... besar dan perkasa. Fix. Otak gue udah error. Korslet abis-abisan! Huff, kayaknya gue perlu menemui Psikiater..
Bersambung