+#- 15

1806 Kata
Akhir penantian 15. Elina. "Lo langsung balik?" Gue menoleh kearah Rangga yang menatap gue dan Adit bergantian, hari sudah mulai beranjak siang, dan gue harus pulang sebelum mamak neror gue dengan banyak telpon yang menyuruh gue untuk segera pulang. Sejak pagi tadi Mak Nana sudah menyerang gue dengan puluhan panggilan telpon. Dari pada di pecat jadi anak, lebih baik gue pulang kan. "Iya, Lo tau sendiri mamak udah nelponin gue dari tadi, lama di sini bisa jebol hape gue nanti." Kata gue malas. Sebenarnya gue masih betah di sini sih, apalagi ada Emi yang sejak pembicaraan kita kemarin, gue sama dia udah semakin dekat. Ngobrol bareng dia tuh berasa nyambung gitu, apa yang gue omgongin, dia seolah paham, begitupun gue. Emi selalu mencari tema obrolan yang benar-benar membuat gue langsung nyaman dan nggak garing aja gitu temanya, tapi sayang gue harus pulang karena titah dari mamak itu nggak bisa diganggu gugat. "Lo sama Adit? Atau mau gue anter?" Jujur gue agak bingung, rumah Adit kalau dari posisi kami sekarang itu berlawanan arah banget sama rumah gue, terus kalo gue pulang bareng Adit tentu aja dia bakal puter arah dan menghabiskan banyak waktu. Pemborosan itu namanya. "Gimana di Adit aja nanti. Gue berangkat bareng dia soalnya. Kalo dia mau nganter gue ya nggak papa." Anjar mengangguk pelan, dia kembali menyandarkan tubuhnya pada sofa, sedangkan gue lebih memilih memainkan ponsel gue dan membuka aplikasi ** untuk melihat beberapa barang di salah satu olshop, biasalah anak cewek liat barang bagus dan murah dikit aja kadang suka kelabasan, dan nggak bisa di rem, gue sendiri mengakui itu, pernah sekali gue hampir ketipu karena salah satu akun olshop yang menawarkan baju bermerek dengan harga murah, bermodalkan alasan promo cuci gudang gue hampir aja kemakan iklan mereka. Untung saja waktu itu gue nggak langsung transfer uang ke rekening mereka, gue yang saat itu masih kurang percaya mencoba bertanya-tanya ke adminnya langsung. apakah barang yang mereka jual aman atau tidak, dan melihat kualitasnya asli atau bukan. Mereka terlihat agak canggung di sana dan akhirnya benar dugaan gue. Akun olshop mereka itu hanya kedok penipuan. Setelah itu gue nggak sembarangan lagi untuk memesan barang melalui akun-akun yang bertebaran di **, gue lebih memilih belanja langsung di aplikasi yang benar-benar resmi dan bertanggung jawab. "Langsung balik?" Gue mendongak saat Adit sudah berdiri di hadapan gue, dengan jaket dan juga helm yang menandakan dia sudah siap untuk pulang. Gue terdiam beberapa saat sebelum mengutarakan maksud gue. "Em itu, Rangga mau anterin gue balik katanya, biar Lo nggak muter-muter lagi." Kata gue, agak nggak enak sih. Tapi gue lebih nggak mau ngerepotin Adit aja. Sedangkan rumah gue sama Rangga itu cuma berjarak beberapa blok dan hanya memakan waktu 15 menit saja. Lebih efektif kalo gue balik bareng Rangga. "Serius?" Adit menoleh menatap Rangga sesaat, "Lo nggak papa anter El balik?" Tanya Adit lagi pada Rangga. Rangga mengangguk. "Sekalian gue jalan balik." "Oke aja sih gue mah, tapi bilang ke Mak Nana nanti kalo gue nggak bisa anter El, dan sekalian bareng Lo!" Kata Adit lagi. "Gampang itu mah!" "Yaudah kalo gitu gue duluan!" Ucap Adit lalu memakai helmnya dan berlalu meninggalkan gue dan Adit di ruang tamu. "Balik sekarang?" Tanya Rangga lagi, "Pamit dulu sama ibu anjar lah, nggak enak kalo langsung balik gitu aja." Kata gue, kesopanan itu yang utama, ingat, apapun yang kalian lakukan, jika bertamu ataupun ada orang yang lebih dewasa diantara kita, kesopanan dan tingkah laku itu wajib diutamakan. Jangan sampai kita terlibat tidak pernah dididik, karena itu akan mencoreng nama keluarga dan orang tua kita. Perilaku anak mencerminkan bagaimana didikan orang tuanya di rumah. Gue melangkah ke dapur, di sana ibu Anjar terlihat sibuk menyusun beberapa peralatan dapur, di bantu Emi yang seolah tidak pernah lelah untuk membantu ibu Anjar. "Bu, aku pamit pulang dulu ya." Ucap gue pelan membuat kedua orang itu menoleh, ibu Anjar tersenyum melihat kearah gue "Loh, kok udah pulang?" Tanya beliau sembari mendekati gue. "Iya, mamak udah nelpon dari tadi pagi, nyuruh pulang." Kataku pelan. "Kamu pulang sama siapa? Nggak bareng Adit?" "Adit udah duluan Bu. Aku pulang bareng Rangga." "Yaudah kalo gitu, hati-hati di jalan. Titip salam juga buat mamak ya." Gue mengangguk, membalas senyum manis dari ibu Anjar yang selalu terlihat begitu menawan. Lembut dan penuh dengan kasih sayang, entah apa yang membuat bapak Anjar sampai hati melakukan hal itu pada beliau. Gue nggak mau terlalu jauh mencampuri urusan orang, walau itu sahabat gue sendiri, gue hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Anjar dan keluarganya. Semoga dengan hal yang baru ini mereka di beri kebahagiaan. "Bu, aku juga izin pamit. sekalian anterin El." Ucap Rangga pada ibu Anjar. Seketika ibu Anjar menatap Rangga dengan tatapan berkaca. Lalu beliau menarik tubuh Rangga, mendekap erat dengan penuh kasih di sana. Gue terdiam menyaksikan itu, gue tahu apa yang dirasakan ibu Anjar. "Terimakasih nak, terimakasih. Ibu nggak tau harus gimana lagi untuk membalas semua kebaikan kamu." Ucap ibu Anjar dengan air mata yang sudah luruh membasahi pipinya. "Iya, Bu. Nggak usah dipikirin, ibu tenang di sini jangan banyak pikiran lagi, ibu harus fokus untuk Deon dan juga Anjar. Kita bakal bantu Anjar selagi kita mampu. Kita sahabat dan saudara." Jawab Rangga dengan tegas. Gue setuju, apapun yang terjadi, kita akan berusaha untuk membantu. Ibu Anjar mengangguk, mengurai pelukannya dan menatap Rangga lekat. "Terima kasih." Bisiknya lembut dengan suara parau. Rangg hanya menjawab dengan anggukan kepala. Sebelum gue dan Rangga pamit. °°°akhir penantian... "Gue masih nggak percaya, orang sebaik ibu Anjar bisa diperlakukan seperti itu sama suaminya sendiri." Ucap gue dengan tatapan menerawang keluar jendela mobil. Pikiran gue masih terbayang akan kisah ini Anjar. Gue nggak tahu lagi musti ngomong apa. Membayangkan betapa baik dan lembutnya Sorang ibu Anjar bisa dengan Setega itu di sakiti oleh suaminya. Entah apa yang di pikirkan bapak Anjar yang bisa dengan teganya mencampakkan perempuan sebaik beliau. "Nasib, jodoh dan masa depan nggak ada yang tau. Yang bisa kita lakuin ya cuma berdoa dan berharap, jangan sampai kita salah pilih pasangan nantinya." "Setuju sih. Tapi apa mungkin semua cowok bakal kayak gitu, suka di awal, setelah bosan di campakkan?" Tanya gue, melarikan tatapan gue untuk menuntut jawab dari Rangga, gue penasaran sama model yang beginian, dan gue harap gue nggak menemukan satu di antara mereka. "Gue nggak tau, yang jelas nggak selamanya cowok itu sama. Mereka memiliki sifat dan kepribadian masing-masing, contohnya aja gue, anjar sama sama Adit, kita bertiga memiliki kepribadian masing-masing, sifat dan perilaku yang berbeda juga. Tapi kita tetep sama, berusaha menghargai perempuan, sebagaimana kita menghargai ibu kita sendiri." jawab Anjar dengan tatapan fokus kearah jalanan. Gue membenarkan ucapan Anjar, apa yang dikatakan dia memang nyata, kita nggak bisa menilai seseorang hanya dari penampilannya saja. Dan sifat, perasaan dan perilaku setiap manusia jelas berbeda. kita nggak tahu apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka inginkan. Karena sejatinya hanya mereka lah yang tahu, seperti perasaan gue, ya cuma gue yang tahu, jadi nggak bisa kita menilai seseorang itu sama dengan yang lain. "Lo laper nggak?" Tanya Rangga seketika. Gue agak mengerutkan kening. Bukannya tadi udah sarapan ya? yakali laper lagi? perut apaan dah, baru juga makan udah laper. "Masih kenyang gue, Lo laper?" Anjar menggeleng pelan lalu menoleh kearah gue saat mobil yang gue tumpangi berhenti tepat di lampu lintas yang menunjukan warna merah. "Gue tanya doang. Kalo aja Lo laper. Bisa mampir bentar nanti." Ini, nih yang kadang bikin gue nggak nyaman sama Rangga, dia itu terlalu baik kalo menurut gue. Tiap kali jalan sama gue apapun yang gue mau selalu di turutin. Padahal gue sendiri nggak pernah minta. "Langsung balik aja deh, gue masih kenyang juga. Apa lagi Mak Nana udah nelponin gue, bisa di amuk nanti." "Serius nggak mau mampir dulu?" Tanya Rangga yang membuat gue agak tergoda juga sih, siapa coba yang ditawari ginian malah nolak, gue sih enggak. Tapi gengsi juga mau betinanya. "Mak Nana biar gue yang izin nanti." Tuh kan, tolak nggak, nih? Kalo jawab iya bakalan lama lagi urusannya, tapi gimana geh, nongkrong di hari libur gini kayaknya asik juga. "Boba, Thai tea, eskrim atau apa?" Tawaran yang menggiurkan ini mah, nolak rejeki katanya dosa, nggak ditolak guenya nggak enak. Serba salah kan gue. Gue memilih melarikan tatapan gue kearah jalanan, hingga gue melihat sebuah kedai yang menjadi tempat favorit gue akhir-akhir ini. Dan Mak Nana juga suka sama makanan yang ada di sana. "C&c cafe gimana?" Tanya gue, menunjuk sebuah kedai yang terlihat cukup ramai di depan sana. "Yakin kesana?" Gue mengangguk "makanannya enak, gue suka. Mak Nana juga suka makanan di sana." "Oke kita mampir kalo gitu!" aish, kan bener apa kata gue, sekalinya gue berucap Rangga tuh selalu meng-iyakan kemauan gue, dan kadang hal ini yang bikin gue nggak nyaman. sekali-kali tolak gue kek, biar nggak gini amat rasanya. "Etss, Lo telpon Mak Nana dulu sebelum mampir, gue nggak mau ya. Lagi asik makan malah di teror lagi nanti!" ucap gue lagi. jangan sampek Mak Nana berkultum panjang karena gue balik telat, nggak mau gue Sampek kena oceh sama Mak Nana. pedes gila ini kuping. gue masih butuh ketenangan, tanpa ada ocehan ataupun teror panjang. Rangga terkekeh pelan. Kemudian membelokan Fortuner miliknya di pelataran kafe di sebelah mobil yang berjejer rapih, Minggu pagi dan kafe milik kak Cila sudah teerlihat ramai saja. "Buru telpon!" ucap gue menuntut Rangga untuk menelpon Mak Nana. "Iye-iye sabar, gue telpon nih!" Gue mengabaikan nada protes dari Rangga, memilih melarikan tatapan gue kearah kafe dengan pajangan beberapa kue terbaru di dalam etalase yang terlihat dari jalanan, melihat gue gue meneguk ludah kasar, astaga gue mau itu, itu, dan itu. Nggak tau apa namanya, yang gue tau cuma warna kue yang ada di sana. Dan semua itu terlihat menggoda, seolah melambai untuk segera di hampiri dan dicicipi. astaga, gue nggak sabar oy untuk mencoba semua rasa baru itu. "Dah, yuk!" "hah?" Seketika gue menoleh, menatap Rangga yang sudah siap keluar dari mobil. "Udah?" Tanya gue bingung. Kapan dia nelponnya, perasaan baru aja gue nyuruh dia, lah udah selesai aja. becanda nih kadang-kadang si Rangga. "Udah, barusan. Kata Mak Nana nggak papa asal jangan pulang sore. Gas di rumah abis, terus sama minta bawain kue donat kentang kesukaan dia juga tadi." Jawab Rangga santai sembari turun dari mobil. Gue melongo sembari menatap Rangga tidak percaya. Seriusan Mak Nana ngomong gitu ke Rangga? Kenapa harus tabung gas lagi sih, kenapa nggak nyuruh orang warung aja suruh sekalian pasangin, kenapa harus gue lagi. Terus kenapa juga Mak Nana minta bawain donat kendang sama Rangga, kan gue yang malu Mak! Mak Nana nih. Minta di rukiyah emang! bikin malu aja. apa kata Rangga coba Sampek tau aku suka masangin gas di rumah. nggak sekalian aja bilang kalo aku suka angkat galon, biar malu sekalian nih anak mu Mak Nana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN