+#- 16

1363 Kata
Rangga. Kata orang memiliki sahabat cewek itu seolah nggak mungkin, bukan nggak mungkin, tapi lebih ke nggak yakin kalo kita berteman tanpa ada sebuah rasa suka satu sama lain. Gue nggak menampik asumsi itu. munafik, kalo mereka bilang gue nggak ada rasa sama dia, gue cuma anggap dia sebagai sahabat gue doang dan nggak lebih. Bulshit! Karena gue mengakui asumsi itu. Dan jujur, mungkin gue sendiri malah merasakan hal itu. Suka sama orang yang udah Lo anggap sebagai sahabat Lo sendiri. Lucu? Anggap saja begitu, lucu bagi kalian, tapi enggak bagi gue. Ada sebuah pepatah yang pernah gue baca di buku jaman lawas, yang mengatakan, witing tresno jalaran Soko kulino, yang artinya cinta datang karena terbiasa. Dan karena terbiasa sering bertemu, bercanda, tertawa bersama hingga menghabiskan waktu bersama itu juga yang membuat rasa nyaman berubah menjadi sebuah rasa tertarik. Gue suka, tapi gue belum yakin menganggap ketertarikan gue ini sebagai rasa cinta. Gue hanya menganggap rasa ini biasa aja. Gue suka lihat El tertawa, bahkan ada rasa berdesir halus di d**a hanya karena melihat dia tertawa. Lucu, kadang perasaan datang di tempat yang salah. Tapi gue nggak bisa memungkiri itu. Kadang ada rasa nggak suka yang timbul hanya karena El lebih sering jalan sama Adit, dan rasa jengkel tiap kali Adit menggoda El, gue nggak tau kenapa, tapi tatapan El ke Adit itu membuat gue agak ngerasa nggak nyaman, tatapan memuja walau di tutup dengan sebuah balasan dingin dan terkesan cuek. Tapi gue paham dari cara El melihat Adit. Terlebih sahabat gue itu terkenal supel dan mudah mencairkan suasana, berbeda dengan gue yang banyak diem kalo ketemu sama orang baru. Gue emang nggak suka banyak omong. Dan mungkin itu yang membuat gue kurang pergaulan. "Kyaa... Gila! astaga. Sumpah! Ini sih enak banget!" Perhatian gue teralihkan, saat El memekik dengan riang, bahkan tangannya ikut bertepuk tangan saat merasakan kue di hadapannya enak. Gue nggak tau kenapa banyak cewek yang tiap kali makan enak selalu bertepuk tangan untuk mengekspresikan sesuatu, nggak cewek aja sih, banyakan cowok lembek juga gitu, dan ngomongin soal cowok lembek, gue agak heran sama kebanyak cowok sekarang, kenapa lebih milih melembek dalam artian mengikuti gaya cewek atau menjurus ke banci, dari pada jadi diri sendiri. Abaikan, karena gue yakin mereka memiliki kenyamanan dalam setiap pilihannya. Gue kembali memperhatikan El, dia sudah menghabiskan 3 porsi cake yang menurut gue biasa aja. Bahkan kurang kalo untuk gue. Tapi berbeda dengan El, dia yang memang selalu menggilai makanan sejenis kue, eskrim dan coklat tentu saja memiliki selera rasa tersendiri. Dan melihat bagaimana antusiasnya dia saat menikmati tiap potongan cake itu membuat gue ikut tersenyum, ekspresinya yang lucu selalu menjadi pemandangan tersendiri bagi gue. "Lo tau nggak?" Kening gue berkerut saat pertanyaan El menyapa. "Apaan?" Dia kembali memotong cake miliknya dengan garpu kecil di tangannya, lalu memasukan potongan kecil kedalam mulut, sebelum melanjutkan pertanyaannya tadi. "Kenapa cewek selalu bertepuk tangan tiap kali dia menyukai sesuatu?" Nama gue tau, dia ini tanya kadang-kadang suka aneh, urusan gituan mana gue tau coba. Lagian dari tadi gue juga mempertanyakan hal itu. "Kagak tau gue, emang apaan?" "Gue juga nggak begitu tau kenapa gue melakukan itu. Kesannya aneh banget ya?" Tanya El sembari menikmati tiap potong kue yang tersisa. Gue mengangguk sebagai jawaban, biarkan dia menjelaskan semua tanpa gue sela, bahaya menyela ucapan cewek. Bisa kena semprot gue. "Gue juga mikir gitu, aneh sih. Tapi nggak tau gue selalu refleks tiap kali merasakan sesuatu yang enak dimulut gue, kebiasaan kali ya yang membuat gue melakukan itu." "Mungkin, kan emang semua karena berawal dari kebiasaan. Suka sama seseorang juga karena kebiasaan kan?" Jawab gue. Mencoba memancing dengan umpan kecil. Walau gue tau, umpan gue nggak akan berpengaruh untuk dia, tapi nggak ada salahnya untuk mencoba kan. "Kebiasaan main bareng, jalan bareng makan bareng, lama-lama jadi suka." El terdiam sesaat, tatapannya lurus menatap kearah gue, enggak tau apa yang dia pikirkan, atau mungkin dia termakan umpan yang gue lempar tadi. "Bisa jadi sih, semua emang karena terbiasa. Seolah tanpa dia kita nggak bisa." Jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari tatapan gue. Jujur gue cukup kaget dengan ungkapan El, boleh kan gue kepedean untuk sesaat. Harusnya sih boleh. "Tapi, karena terbiasa juga yang terkadang membuat orang lupa. Ya nggak sih? Lo kebiasaan bertepuk tangan setiap makan makanan yang enak, dan karena itu juga dimana pun tempatnya secara tidak langsung Lo akan melakukan hal itu. Latah lah istilahnya." "Bisa jadi." Jawab gue sembari mengedikan kedua bahu, entah apa yang di omongin sama El. Tapi bagi gue emang bener, karena kebiasaan kadang bikin orang lupa dan refleks melakukan itu. Dan karena kebiasaan tanpa orang tua yang kadang membuat gue lupa akan kehadiran mereka, seolah nggak ada di mata gue. Terbiasa dengan kesendirian membuat gue lupa dengan indahnya kasih sayang dan perhatian orang tua. Gue malah nggak tau rasanya diperhatikan sama orang tua itu kayak gimana. Orang tua gue terlalu sibuk sampai melupakan gue. "Terbiasa melakukan sesuatu bisa jadi membuat orang tanpa sadar melakukan itu di tempat umum sekalipun. Makanya usahain jangan kebiasaan." Kata gue, lebih menegur diri gue sendiri. Untuk mencoba tidak membiasakan mengingat gimana kesendirian gue, yang kadang membuat gue merasa sendiri walau di tempat keramaian sekalipun. "Emang bisa? Gue malah udah coba buat nggak melakukan itu, tapi tetep aja rasanya susah." "Susah bukan berarti nggak mungkin kan?" "Iya sih..." Jawab El agar ragu. Lalu kembali memasukan potongan kue terakhir kedalam mulutnya. Tiga porsi cake ukuran kecil habis di lahapnya. "Lo nggak doyan atau udah kenyang?" "Hah?" "Itu." Ucap El menunjuk kearah piring gue. "Perasaan dari tadi dianggurin sama Lo, nggak doyan apa gimana?" "Oh ini?" Tanya gue menatap piring berisikan cake rasa coklat yang gue pesan tadi. "Terlalu manis buat gue. Lo mau?" "Yakin Lo nggak mau?" Tanya El agak ragu. "Terlalu manis, Lo kan tau sendiri gue nggak suka makanan manis." Kata gue, yang memang nggak pernah suka sama makanan masih semacam coklat dan sebagainya. Kecuali eskrim, gue masih doyan sama makanan itu. "Iya. Tapi sama gue suka kan?" Ucap El membuat gue sedikit terkejut. "Gue kan manis." Asli, boleh ketawa nggak sih, rasanya gue pengen ngakak tiap kali dia ngomong hal yang semacam itu. Narsis dan terlihat lucu. "Suka, Lo kan sahabat gue. Udah kayak adek gue malah." Bohonh itu lebih mudah dari pada mengutarakan yang sebenarnya. Kadang gue sendiri heran, entah kenapa kebohongan itu mudah diucapkan ketimbang jujur. Mungkin karena kita nggak siap dengan tanggapan mereka tiap kali kita berkata jujur. Makanya kebohongan sering terjadi walau itu kecil. Dan tanpa mereka sadari kebohongan kecil yang hadir di awal akan menimbulkan kebohongan lainnya. "Iya lah, yakali Lo suka gue beneran, nggak etis amat. Kek nggak ada cewek lain aja!" Gue terbahak mendengar ucapan El, gue udah tau kalo dia bakalan ngomong gitu. Tapi gue berasa lagi membodohi diri gue sendiri dengan kebohongan gue tadi. Dan gue yakin setelah ini gue akan dipersulit dengan kebohongan kecil tadi. "Ini yakin nggak dimakan kan?" "Iya, buat Lo aja!" Kata gue sembari mendorong piring ke kehadapan El, dia dengan senang memotong kecil lalu memakannya, dan kembali tangannya bertepuk tangan setiap kali merasakan sesuatu yang baru. "Tangan di kondisikan El, kebiasaan Mulu tuh!" Tegur gue. El hanya meringis kecil. Membuat gue menggeleng pelan, lalu meraih Amerika capuccino yang gue pesan tadi. Menyesap rasa pahit bercampur karamel yang berpadu menjadi rasa yang begitu pas di mulut gue. "Lupa, sorry!" Gue mengangguk pelan, membiarkan El menghabiskan cake nya. Tatapan gue mengedar tempat yang baru kali ini gue kunjungi. Kafe yang terlihat ramai oleh pengunjung yang hampir sebagian besar pelajar seperti gue. Anak remaja yang menikmati hari liburnya dengan menghabiskan waktu bersama teman. Sesuatu yang sering gue lakukan bersama ketiga sahabat gue. Sayang ninggu ini acara nongkrong harus di undur karena Anjar tengah ada masalah. Nggak masalah, setidaknya kita sudah mengabiskan waktu bersama kemarin malam, dan sekarang saatnya beristirahat. "Mak Nana udah dipesenin kan?" Tanya gue setelah melihat cake di piring El habis. "Udah tadi. tinggal bayar aja." "Balik?" "Hayuk. Udah siang juga. Mak Nana nungguin nanti." "Yaudah, yuk!" El mengangguk, lalu kami beranjak. Membayar makanan yang sudah kami pesan tadi sebelum pulang. Seperti biasa di perjalanan El selalu berceloteh tentang apapun, membicarakan segala hal dari ujung sampai ujung. Hingga tanpa sadar kami sampai dan harus berpisah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN