+#- 14

1819 Kata
Akhir penantian 14 "Adit, itu sebelah kanan masih ada sarang laba-labanya, Lo ini mainan hape mulu!" Gue berteriak kesal saat melihat kelakuan Adit yang malah sibuk bermain ponsel bukannya membersihkan sarang laba-laba yang ada di pelafon rumah, sedangkan yang lain masih sibuk dengan pekerjaan kami masing masing, Anjar yang mengusung air untuk gue dan Emi mengepel lantai. Rangga yang membersihkan kaca jendela dan ibu Anjar yang menyapu lantai sebelum kami pel. Sedari subuh kami sudah di boyong ke rumah yang akan ditempati Anjar dan ibunya, letaknya memang nggak jauh dari sekolahan kami, hanya sedikit melewati lorong yang ada di sebelah sekolah. Rumahnya juga cukup besar dan nyaman untuk di tinggali. Gue terkesan saat melihat rumah ini untuk pertama kalinya, keluarga Rangga memang nggak main-main untuk urusan tempat tinggal. Dan karena ukuran rumah yang tergolong mewah ini juga yang membuat Anjar merengek nggak enak sejak tadi, dia merasa ini terlalu berlebihan untuk dirinya dan juga ibunya. Hanya saja Rangga yang bersikeras membuat Anjar tak bisa berbuat banyak, terlebih Doni sudah langsung suka dengan rumah ini. "Aelah, udah bersih juga. Gue masih ada wa penting yang musti gue balas nih!" Teriak Adit membuat gue melotot kearahnya, dia ini emang nggak tau kerjaan gue rada. Bersih yang di maksud dia itu entah yang seperti apa, sedangkan di langit-langit rumah terlihat masih banyak sarang laba-laba yang tertinggal. "Mata Lo kemana coba? Liat noh!" Jari teluntuk gue menunjuk salah satu sarang laba-laba yang tertinggal. "Noh!" Satu lagi dan masih banyak di antaranya. "Itu, terus itu juga. Makanya kalo kerja itu yang dilihat kerjaan, jangan hape aja!" Sungut gue, kesal juga melihat gimana tingkah sahabat gue yang satu itu. Adit hanya memasang cengiran tak bersalah dan melanjutkan pekerjaannya. "Ini kapan selesainya coba kalo yang dibersihin aja sebesar ini?" Keluh gue saat tangan ini merasa pegal, sudah sejak pagi kami membersihkan rumah ini tapi hasilnya masih beberapa ruangan yang baru dibersihkan. Sedangkan kalau gue hitung tinggal 5 ruangan lagi yang belum kami kerjakan. Dapur, dua kamar, ruang keluarga dan kamar mandi. Astaga, gue nggak tahu kapan ini akan selesai. Ini mungkin yang dirasakan emak saat membersihkan rumah setiap harinya, sedangkan gue mana pernah bantuin mamak, asalannya malas dan ada tugas. Gue jadi ngerasa bersalah banget pas ngebayangin gimana gue menolak mamak tiap kali beliau menyuruh gue. "Sebentar lagi, maklum rumah ini kan besar." Satu kalimat pendek yang membuat gue melirik kearah Emi. Gue mendengkus kasar. Gue rasa Emi ini cuma banyak omong kalo sama Anjar aja deh. Sama gue dan yang lain rasanya hemat suara banget. Atau dia belum terbiasa dengan gue dan yang lain? Astaga, dia nggak berharap bisa bareng kita apa? Atau mungkin kita ini masih asing di matanya? Entahlah. Bayangkan saja, sejak tadi dia itu jarang banget ngeluarin suara, cuma iya dan enggak tiap kali gue tanyain, tapi kalo sama Anjar. Astaga, dia itu udah kayak istri sama suaminya, perhatian banget, rewel dan cerewet. "Iya gue tau rumah ini gede. Astaga, gue nggak kebayang gimana nanti ibu beresin rumah ini." Gue yang rumahnya nggak sebesar ini aja kadang suka kasian sama mamak, lah ini, astaga nggak kebayang gue mah. Si Rangga emang kebangetan kalau kasih bantuan. Nggak tanggung-tanggung seperti yang gue bilang tadi, sedangkan Anjar hanya tiga orang. Pantas saja dia sempet nolak tadi. "Nanti gue sering main kesini buat bantu ibu." Yak, mantu idaman banget nggak tuh, bantu ibu dari pacarnya sendiri. Astaga gue kapan nih bisa bantu-bantu calon mertua gue? punya pacar aja kagak, mimpi amat, lagian suruh bantu-bantu kayaknya nggak akan mungkin deh, bantu mamak di rumah aja gue nggak pernah. Gue meringis kecil saat melihat bagaimana Emi berusaha banget untuk bisa membantu, padahal tadi Anjar sama ibu udah wanti-wanti agar Emi nggak usah ngepel gareng gue, dan gue pun sama ngelarang Emi bantu, apalagi keadaan dia yang kayaknya nggak memungkinkan banget untuk memegang kain pel, bukan merendahkan tapi itu kenyataan. Gue nggak bisa bayangin gimana kalau nanti tanpa sengaja Emi terpeleset terus jatuh karena licin lantai dan kondisi dia yang memakai tongkat. Gue cuma nggak tega aja sampai biru terjadi. Ngilu sih bayanginnya aja. Dan sekarang, gue malah terperangah saat melihat bagaimana Emi bekerja, dia cekatan dan terbilang gesit untuk seorang yang memiliki kekurangan fisik. Sedangkan gue, masih banyak mengeluh dan ngerasa kerja sebentar saja sudah capek. Malu sih sebenernya tapi gimana lagi. Gue terbiasa dengan keadaan yang membuat gue banyak nggak kerjanya, paling cuma angkat galon dan pasang tabung gas di rumah, itupun harus di teriaki sama mamak dulu baru gue berangkat. "Harus lah, kasian ibu kalo misal suruh beresin rumah sebesar ini. Gue sendiri nggak bisa bayangin gimana capeknya ibu nanti." Ucap gue menggeleng pelan, serius gue baru ngebayangin aja udah meringis sendiri. Gue nggak sanggup kalau nanti mamak bisa beli rumah yang sebesar ini dan tanpa seorang pembantu sekalipun di dalamnya. Astaga sudahlah, gue harap cuma rumah itu aja yang gue miliki. Gue nggak terlalu berharap banyak. Dan jangan sampai. Bisa berabe gue nantinya. "Bersyukur Anjar masih punya temen baik seperti kalian. Aku nggak tau lagi, misal Anjar masih bergaul dengan teman lamanya dia bakal gimana. Nggak akan ada yang bantu dia di saat posisi seperti ini sih aku rasa." Gue menoleh. Menatap Emi dengan kening berkerut. Gila sih, ini termasuk kalimat terpanjang yang Emi ucapin ke gue. Rekor baru, sih, ini, mah. Gue mengangguk sesaat, terlebih perkataan Emi menuju kearah dimana perubahan Anjar yang menurut gue cukup baik. Gue nggak tahu persis gimana pergaulan Anjar dulu, tapi dari yang gue denger, walau nggak banyak. Katanya Anjar dulu sempet terjun bebas ke dunia malam yang menurut gue serem sih. Nggak tau deh apa yang membuat Anjar melakukan itu. Dan sekarang sepertinya gue tahu apa yang membuat Anjar memiliki pergaulan bebas seperti itu. Keluarga jelas menjadi salah satu pemicunya. Terlebih, ayah Anjar yang memang terlihat acuh pada keluarganya, ibu Anjar dulu berjualan nasi uduk untuk menyokong sekolah Anjar, sedangkan Anjar sekarang bekerja sebagai pengamen cafe dan di setiap hari Minggu dia bekerja sebagai buruh cuci piring di sebuah restoran. Benar-benar perjuangan yang nggak bisa gue bayangin sih, gue yang dari dulu sudah terbiasa dengan pemberian orang tua jelas nggak akan sebanding dengan perjuangan Anjar yang bisa membentuk diri menjadi sosok yang begitu mandiri. Salut sih ada dia yang masih kedalam keluarga kecil ini walau hanya terikat persahabatan. Dan gue harap persahabatan kita ini akan selamanya terjalin sebagai saudara yang saling mendukung di dalam kondisi apapun. "Gue juga bersyukur Anjar mau terbuka dengan kita. Dia itu seolah jadi inspirasi dan kakak baru buat gue, mengingatkan dan selalu memberi arahan untuk kita nggak melakukan hal bodoh yang pernah dia lakukan. Itu sih yang dia bilang." Emi mengangguk pelan, dia kembali menggeser tubuhnya, dengan tongkat di sebelah tangannya dia terlihat berhati-hati, gue kembali meringis di buatnya. Agak was-was juga sih siapa tahu dia jatuh kan? Bisa diamuk Anjar gue nanti. "Mungkin dia nggak mau sahabatnya terjerumus kedalam kesalahan yang sama, dan aku berterimakasih juga sama kalian, karena dia bisa sedikit banyak merubah sifatnya yang dulunya bener-bener nggak bisa dikendaliin sih." Gue menoleh menatap Emi, dia nggak salah ngomong kan? Bukannya dia ya? yang berperan banyak merubah sifat Anjar? Selama belum bareng kita Anjar udah kelihatan lebih baik dan sudah meninggal kan dunia malamnya. "Bukannya sebelum gabung Anjar udah berubah ya?" Tanya gue penasaran. Udah gue bilang kan kalau gue ini nggak begitu tahu sepak terjang sahabat gue itu. Emi terlihat menggeleng pelan, dia menoleh menatap gue dengan tatapan agak redup, mungkin dia teringat masa lalu yang membuat dia terdiam sesaat. Masa lalu memang kadang seberat itu untuk sekedar diingat. "Dia nggak sebaik ini dulu, sifatnya kasar dan masih suka marah, lepas kontrol tiap ada masalah." Emi menjeda kalimatnya, terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya tadi. Lalu dia menggeleng. "Intinya dia berubah lebih baik setelah dekat dengan kalian." Baiklah, gue nggak mau memaksa dia untuk mengatakan sesuatu yang bisa membuat dia merasa nggak nyaman, biarkan Emi dengan rahasianya. Walau gue penasaran dengan sepak terjang Anjar selama ini, tapi lebih baik gue nggak maksa Emi. "Lo udah lama deket sama Anjar?" Emi mengangguk pelan. "Cukup lama, jauh sebelum dia pindah ke sekolah kita. Dia yang udah nolongin aku pas aku jatuh di jalanan. Dia juga yang udah bantu aku pulang waktu itu." Gue diam membiarkan Emi melanjutkan kalimatnya, apalagi perkataan dia seolah menunjukan sisi lain dari seorang Anjar yang kadang bikin gue penasaran kenapa dia "Dia cowok yang melihat aku tanpa peduli dengan keadaanku. Entah aku cacat atau aku buruk sekalipun dia nggak peduli, dia menganggap aku sempurna, dan tatapannya selalu menunjukan itu. Dia yang udah buat aku merasa di perlukan, walau hanya untuknya tapi itu cukup untuk aku." Gue terperangah sesaat. Asli. Ini sih berbanding terbalik sama sifat Anjar selama ini, itu beneran Anjar sahabat gue kan? Kok kayaknya beda banget. Anjar yang gue tahu itu, reseh, kaku dan suka bikin gue dan adit kesel. Apa mungkin cuma di depan Emi aja, itu bocah sifatnya lembut. "Kamu tau sendiri gimana aku dulu di sekolah dulu. Selalu dikucilkan dan nggak di anggap, aku ngerasa insecure sama kondisi aku yang cacat." Ya, dulu Emi memang selalu menyendiri, menutup diri dari kami yang selalu mendekatinya, gue termasuk orang yang berusaha berteman dengan dia, nggak peduli kondisi dia seperti apa. Bagi gue mereka yang memiliki kekurangan belum tentu selamanya kekurangan. Lihat Emi, dia, walau kondisinya selalu menjadi bahan olok-olok di sekolah, tapi tetap membuktikan diri dengan segudang prestasi yang dia dapan. Gue nggak munafik, gue kadang iri dengan kepintaran Emi, kenapa orang seperti Emi bisa sepintar itu. dan ngerasa semua seolah nggak adil, tapi setelah melihat bagaimana perjuangan dia dan tekanan yang dia dapat dari murid, yang gue yakin iri sama dia, dan selalu mengejek Emi hingga membuat dia down dan prestasinya sempat turun saat itu. Namun, setelahnya dia semakin cemerlang, dengan segala prestasi yang didapatkan. Gue jadi tahu jika di posisinya sama sekali nggak mudah. Butuh perjuangan lebih di balik semua pencapaiannya. "Tapi, Anjar nggak peduli dengan kondisiku, dia menatap aku berbeda, menatap aku jauh dari dalam lubuk hatinya. Perlakuan yang membuat aku bangkit dan mau membuktikan diri. Dia seolah menjadi semangat aku untuk maju." Gue mengangguk, ternyata benar ya? seseorang yang bisa menghargai kita itu bisa membentuk semangat baru. Menjadikannya sebagai motivasi yang membangun. Pelajaran yang gue dapet dari perkataan Emi cukup dalam. Nggak peduli seberapa buruk elo, dan bagaimana kondisi elo, intinya kalau lo mau berhasil, jangan perduli dengan perkataan orang yang merendahkan Lo, atau bahkan nggak menghargai Lo, percayalah dibalik perlakuan mereka yang selalu membicarakan Lo di belakang, itu tandanya mereka iri dan nggak bisa seperti apa yang Lo dapat. Cukup fokus kedepan dan abaikan perkataan orang, ambil baiknya dan buang yang nggak perlu. Jadikan cemo'oh mereka menjadi sebuah gambut penyemangat diri Lo kelak. Nggak salah memang Anjar mendapat cewek sekeren Emi. Gua jadi kagung dengan sosok yang selama ini menutup diri dari lingkungan sekitar. Ternyata dibalik semua itu ada kisah tersendiri yang nggak pernah gue tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN