+#- 7 kegelisahan seorang Anjar

1422 Kata
Rangga. "Masak apa mbok?" Gue baru saja keluar dari kamar, perut gue yang lapar membawa gue turun ke dapur dan melihat mbok Narmi yang tengah sibuk di dapur dengan segala peralatannya. Beliau menoleh menatap gue sembari memasang senyum ramah seperti biasanya. Gue yang biasa hidup besar bersama mbok Narmi, di rumah sebesar ini hanya berdua dan satu orang satpam yang selalu setia di pos nya, membuat gue beberapa kali meringis nyeri. Kadang sepi menghampiri gue. terlebih ada rasa iri yang hadir begitu saja saat membayangkan mereka yang bisa bercanda gurau dengan keluarganya di waktu weekend seperti ini. Berkumpul bersama orang terkasih dan menceritakan segala hal, berceloteh ria dan tertawa bersama, suasana hangat seperti itu yang selalu gue rindukan di masa-masa seperti ini. Orang tua gue selalu sibuk dengan dunianya, harta yang mereka kejar seolah kurang hingga mementingkan pekerjaan di atas segalanya dan mengacuhkan gue. Sekali lagi gue mendengus, mengitari pandang menyusuri tiap sudut rumah gue. Percuma rumah mewah, harta berlimpah tapi nggak ada satupun yang peduli dengan gue. "Bikin kue kering, mas." Ucap mbok Narmi yang memang biasa memanggil gue dengan sebutan mas, padahal jelas-jelas gue nggak punya adek, tapi entah apa yang mendasari mbok Narmi memanggil gue dengan sebutan itu. "Mas Angga laper?" Gue mengangguk sebagai jawaban. "Itu mbok ada masak pindang ikan emas kesukaan, mas. Mau mbok siapin sekarang?" Tanya mbok Narmi lagi. "Boleh mbok." "Sebentar." Gue mengangguk membiarkan mbok Narmi menyiapkan makanan. Memilih memainkan ponsel di hadapan gue untuk melihat beberapa foto yang ada di sana. Foto masa kecil gue yang terlihat bahagia di apit kedua orang tua gue, wajah polos yang belum mengerti arti kasih sayang. Dulu, bagi gue kehadiran mbok Narmi saja sudah sangat cukup. Namun sekarang gue merasa hampa, terkadang ada rasa iri yang menghampiri. Menggeser beberapa foto lainnya gue menemukan foto ketiga sahabat gue di sebuah cafe tempat biasa kami nongkrong. Mereka sahabat yang selalu mengerti keadaan gue, tempat dimana gue berkeluh kesah. Mereka orang-orang yang selalu ada untuk gue, sosok yang udah gue anggap sebagai keluarga gue sendiri. Gue tersenyum kala menayangkan kelakuan konyol dari para sahabat gue ini, terlebih Adit dengan semua ocehan konyol yang selalu mengganggu ketenangan kami. Lalu Anjar dengan segala tingkah untuk membalas tiap ucapan Adit, dia sosok baru bagi gue, tapi dia yang paling mengerti posisi gue. Dan terakhir, sosok yang sudah lama memiliki tempat sepesial bagi gue, sejujurnya gue nggak tau gimana menyingkapi ini, cuma rasanya selalu aneh tiap kali gue Deket sama dia. Eliana, cewek sendiri di antara kami, tomboi dan selalu cuek dengan omongan cewek di sekolah, bagi dia kami udah kayak kakak sendiri yang selalu melindungi dia, dan itu benar adanya, El sosok sepesial di antara kami berempat, dia memiliki perannya sendiri untuk keberadaanya. Senyum gue mengambang saat nomor Anjar tertera di layar ponsel gue, dengan cepat gue menggeser icon hijau yang ada di sana. "Halo..." "Ngga, Lo di mana?" Dahi gue berkerut saat mendengar suara Anjar yang sedikit kebingungan di sana. "Di rumah, kenapa emang?" Anjar nggak langsung menjawab pertanyaan gue, ada sesuatu yang membuat dia ragu, gue tahu itu. "Gue boleh kesana?" "Sejak kapan gue larang Lo orang dateng kerumah?" "Masalahnya ini nggak semudah itu, Ngga!" Ada decakan kecil di sana, gue sengaja diam untuk membiarkan Anjar menjelaskan sendiri maksud perkataanya. "Jujur gue bingung sekarang." Sekarang gue yang berdecak kesal karena merasa Anjar terlalu bertele-tele, gue salah satu orang yang nggak suka menunggu. "Bacot, Dateng ke rumah, gue tunggu!" Setelahnya gue menutup telpon secara sepihak, biarkan Anjar datang dengan sendirinya, gue ngerasa dia ada masalah, tapi gue nggak tau apa itu. "Mas, jadi makan?" Gue mendongak, melihat beberapa makanan sudah siap di atas meja yang membuat gue sedikit bingung. Kapan mbok Narmi nyiapin ini semua? Apa karena gue keasaikan telpon tadi makanya gue nggak sadar. "Jadi lah mbok, udah laper nih." Mbok Narmi terkekeh, lalu memberikan piring yang sudah terisi nasi ke gue. Selalu dengan porsi yang pas, sudah terbiasa mengurus gue membuat mbok Narmi paham dengan semua kebiasaan gue, contohnya ini. Gue nggak pernah makan masih banyak, dan lebih dominan ke lauk, makanya mbok Narmi selalu memisahkan piring nasi dan piring lauk yang akan gue makan. "Mbok udah makan?" "Udah tadi, mas." "Beneran udah, mbok?" Beliau mengangguk mantab sambil tersenyum kearah gue. "Ia beneran, kapan sih mbok bohong. Yaudah mas makan aja, mbok mau nerusin bikin kue tadi." Gue mengangguk dan memilih diam menikmati makanan yang ada, hingga beberapa suap masuk kedalam mulut gue mendengar suara bel berbunyi. "Mbok, tolong bukain pintu. Itu Anjar kayaknya mbok." Ucap gue meminta tolong karena gue masih menikmati makanan, dan nggak mungkin untuk berjalan kedepan. "Sebentar, mas." Gue mengangguk, membiarkan mbok Narmi berlalu, hingga tak lama beliau datang terpogoh-pogoh. "Mas itu den Anjar nunggu di teras." "Kok nggak di suruh masuk aja mbok?" Tanya gue dengan kening berkerut, nggak biasanya Anjar kayak gini, biasanya dia langsung masuk tanpa permisi. "Itu mas, mas Anjar dateng sama ibu dan adeknya." "Ibunya Anjar?" Tanya gue memastikan sembari berdiri dari tempat gue. "Iya mas." Gue beranjak, di ikutin mbok Narmi di belakang gue. Dan benar, di sana Anjar berdiri sembari memeluk adiknya yang terlihat sesenggukan. Lalu tatapan gue sedikit terkejut saat menemukan ibu Anjar yang duduk di kursi dengan tertunduk, beliau mengenakan pakaian tertutup, hingga tanpa sengaja gue menemukan sebuah luka lebam di punggung tangan wanita setengah baya itu. Gue nggak tau itu apa, tapi dari gurat raut Anjar, gue bisa menebak jika ini kelakuan ayahnya sendiri. "Njar, kenapa nggak langsung masuk?" Tanya gue berhasil membuat mereka sedikit terkejut, ibu Anjar semakin menunduk sedangkan Anjar mendekat kearah gue. "Ngga ..." "Masuk dulu aja, omongin di dalem." ucap gue lalu menoleh pada ibu anjar. "Mari Bu masuk, nggak enak, masak tamu malah di anggurin di luar." Ibu Anjar sedikit melihat kearah gue, dari sana gue bisa melihat memar biru yang ada di pipi kiri beliau, gue nggak tau apa yang sebenernya terjadi dengan keluarga Anjar, setelah mereka masuk, gue membiarkan mbok Narmi menutup pintu, beliau seolah tahu dengan keadaan sekarang. "Silahkan duduk Bu." Ucap gue mempersilahkan ibu ajar duduk. Lalu melihat Anjar yang masih saja berdiri, rupanya adik Anjar terlelap dalam dekapan Anjar. "Doni tidur?" Tanya gue. "Kecapean kayaknya." "Bawa ke kamar dulu aja. Sekalian sama ibu, biar bisa istirahat." Kata gue lagi, lalu mbok Narmi datang menghampiri kami dengan membawa minuman dan meletakan di atas meja. "Biar mbok aja, mas." Ucap mbok Narmi setelah meletakkan minuman dan mengambil alih Doni dan membawanya ke dalam kamar tamu. "Mari Bu, biar saya antar ke kamar." Ajak mbok uang di ikuti ibu Anjar. Anjar memilih duduk tepat di sebelah gue, wajahnya menunduk, dengan kedua tangan yang menopang. Beban begitu berat ia tanggung, sosok yang selalu gue kagumi, di balik sikap cuek, Anjar adalah sosok yang paling peduli dengan sekitar, terlebih orang sekitarnya. Gue nggak berani langsung bertanya pokok masalahnya, bagaimanapun ini masalah pribadi mereka, dan gue hanya menunggu Anjar untuk menjelaskan semuanya, tanpa itu gue nggak bisa langsung ambil tindakan. "Sorry, Ngga ...." Gue menepuk pundak nya, memberikan ketenangan untuknya dan membiarkan dia menyelesaikan apa yang menggangu pikirannya. "Gue nggak tau harus kemana, selain ke Lo Ngga. Jujur gue nggak tahan, gue udah terlalu muak sama sikap bapak gue yang semaunya sendiri. Terlebih liat nyokap gue, gue nggak tau lagi harus gimana, cuma disini gue ngerasa aman untuk saat ini." Ucap Anjar dengan suara bergetar menahan tangis, sesuatu yang baru gue tahu, selama ini gue selalu mengira Anjar sosok yang kuat, tapi di lain sisi dia lemah dan rapuh. Gue tertegun mendengar ucapan Anjar, benar dugaan gua tadi, ayah Anjar lah yang menjadi dalang semua ini. Jujur gue miris hanya mendengarnya saja, bahkan baru aja gue mengeluh dengan kondisi gue saat ini, tapi nyatanya ada yang bernasib lebih parah dari pada gue. Dan dia sahabat gue sendiri. "Gue nggak tau harus ngomong apa Njar, cuma di sini Lo selalu diterima, apapun yang Lo butuhin gue bakal usahain untuk Lo, jadi jangan sungkan apapun masalah Lo, kita sahabat, Lo dan gue. Apapun masalah Lo, anggap aja itu masalah gue." Ucap gue memeluk tubuh bergetar itu, tubuh lemas dan tak tau tujuan. Gue hanya bisa menyediakan tempat, untuk pemecahan masalah, gue nggak mau ikut campur terlebih ini masalah keluarga, dan gue hanya orang luar. Walau gue udah di anggap saudara, tapi tetep aja gue nggak bisa berbuat banyak. "Untuk sekarang kalian di sini dulu, tenangin diri dan selesaikan secara baik-baik, apapun masalahnya." Ucap gue, "jangan biarin masalah terus berlarut dan menganggu pikiran Lo, apapun itu gue bakal berusaha bantu Lo dari belakang." "Thanks, ngga." "Nope, apapun untuk lo, saudara saudara gue."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN