+#- 8 Minggu rusuh

1572 Kata
Elina. Tring... Gue menggeliat malas saat dering alarm di ponsel gue mengganggu pendengaran, entah ini bunyi ke berapa. Untuk membuka mata rasanya berat banget, efek semalam tidur larut untuk maraton Drakor, dan sekarang gue ingin tidur lebih lama lagi, apalagi setelah mengingat hari ini adalah hari Sabtu. Yang gue lakuin setelahnya hanyalah mematikan alarm ponsel gue dan meletakan benda pipih itu di bawah bantal, berharap alarm lain yang emang sengaja gue atur berurutan nggak mengganggu acara tidur cantik gue. Hanya saja keinginan gue pagi ini nggak akan terwujud setelah gue mendengar gedoran keras di pintu kamar gue. Tanpa gue sebut pun kalian pasti akan sadar jika pelaku utama kerusuhan pagi gue adalah mama gue sendiri. Gue beranjak turun dengan tubuh lesu. Mata gue yang lengket dan terasa perih terkena cahaya gue acuhkan, dari pada pintu kamar gue rontok karena kelakuan mama gue. Seperti beberapa Minggu lalu, pintu kamar gue harus di dobrak sama papa karena mama histeris nganggep gue yang seharian nggak keluar rumah kenapa-kenapa, paniknya mamah emang keterlaluan. Brak... Brak ... Brak... "El, bangun kamu. Udah jam berapa ini!" Gue berdecak, menarik tuas hingga sosok mama dengan daster kebanggaannya terlihat berdiri tepat di depan kamar gue, dengan tangan yang berkacak pinggang dan memegang spatula, mama menatap gue tajam dengan wajah di buat galak yang sebenarnya nggak pantes banget. Kalo ketawain mamah dosa nggak sih? Kualat nggak? "Apaan mah, El tuh masih ngantuk, tau." Jawab gue lesu, menatap mama dengan mata sayu dan kantuk yang membuat kelopak mata gue berasa lengket "Tidur jam berapa kamu? Jam segini masih aja ngantuk!" Gue menguap, menutupnya dengan punggung tangan gue sebelum menjawab pertanyaan mama, yang masih aja melotot kearah gue. "Nggak tau mah, nggak liat jam semalem." "Kebiasaan emang kamu ini!" Kata mama. "Itu gas di dapur abis, kamu pasangin gih sana, mama masih goreng tempe itu." "Yah mama. Pasangan sendiri kenapa mah, aku tuh ngantuk loh." Ini nih, jadi anak tunggal dan selalu di tinggal papa karena pekerjaannya yang menjadi supir, menuntut gue untuk bisa melakukan kegiatan yang biasa di lakukan papa, mama ini nggak sadar apa ya kalo gue ini cewek, di mana harus berlaku manis dan kalem. Ini malah diharuskan untuk bar-bar. "Kamu mau mama meledakkan rumah pake tabung gas?" Tanya mama gue nyolot. Gue berdecak pelan, kelakuan yang seharusnya nggak boleh di lakukan karena ini termasuk dosa, dan gue udah berdosa karena berdecak di depan wajah mama gue sendiri, tapi gimana lagi, kadang suka kesel sama mama. Masalah sepele gini mama selalu nyuruh gue. "Mama aja lah, El tuh ngantuk loh, nggak bisa pasang regulator dengan benar, kalo salah pasang gimana? Mama aja ya?" "Apalagi mama El, kamu mau keracunan gas lagi karena mama pasangnya salah?" Mata gue melebar, setelahnya menggeleng pelan, ingatan beberapa bulan lalu yang di hebohkan karena bau gas yang hampir buat gue pingsan kembali teringat, semua karena mama masang regulator nya nggak bener, dan gue nggak mau itu keulang lagi. Bisa berabe gue. "Yaudah iya, El pasang nih." Kata gue lalu beranjak ke dapur untuk mengganti tabung gas yang sudah kosong dengan yang baru. Gue mengambil tabung gas stok yang memang ada di gudang, karena bobot yang lumayan berat gue memilih menggelindingkannya, dari pada gue encok kan. Yakali masih muda udah encok. Habis di ketawain temen-temen, gue nanti. Dengan mudah gue membuka regulator yang ada di tabung lama, membuka segel tabung baru sebelum memasang regulator. Di percobaan pertama ternyata masih ada suara desisan dari gas yang bocor. Gue buka lagi, coba periksa karet pengaman yang ada, dan setelah gue pasang untuk kedua kalinya ternyata masih ada suara desisan gas bocor yang aromanya bener-bener bikin gue pusing. Gue menoleh m,encari keberadaan mama yang sudah hilang dari jangankauan pandang mata gue, sekali lagi gue mendesah. "Mama!" Teriak gue. Ini nih yang bikin gue malas untuk mengganti tabung gas, mama selalu sembunyi atau enggak mama akan berlari keluar karena takut. "MAMAAA!!!" Teriak gue lagi, kalo udah gini bgue yakin Mama pasti udah di luar atau nggak di taman depan. "Kenapa El?" Gue menoleh, menemukan mama yang mengintip dengan kepala yang mama dongakkan di pintu dengan tubuh yang bersembunyi di balik tembok. "Mama ngapain?" Tanya gue penasaran. "Mama ngumpet lah, ngeri aja kalo sampek gasnya meledak nanti." Gue berdecak, ini nih yang kadang bikin gue gemes sama mama, rasanya ingin mengumpat tapi takut kualat, di diemin tapi kok seenaknya. "Terus kalo misal meledak El yang di korbanin gitu?" "Ya nggak gitu El, kan mama cuma takut aja, apalagi bau gasnya udah mulai kecium gini, mama kan serem." "Ya nggak gitu juga lah mah, masak anak mama sendiri di korbanin. Mama macam apa itu." "Nggak papa, itu tandanya kamu berbakti sama mama." "Iya deh iya mah." Balas gue memutar bola mata jengah. "Ini mama nyimpen karet penanganan nggak? Karet bawaan kayaknya udah rusak makanya masih bocor gasnya." "Ada itu di kantong kulkas, cek aja deh" "Ambilin lah mah, tangan El kepakek semua nih." "Ya Allah El, itu loh di sebelah kamu doang, ambil sih. Mama ngeri mau kesannya!" "Ya ampun mah, masa El juga sih!" Protes gue, kadang gini nih yang bikin gue ngerasa kayak bukan anak mama, dia selalu majuin gue di setiap bahaya mengancam nyawa. Contohnya ganti tabung gini. Gue beranjak, mencari karet pengaman yang mama bilang tadi, setelah menemukan apa yang gue cari, gue kembali bergelut dengan tabung kas dan karet pengamannya. Dan benar saja, karet pengaman tadi memang sudah rusak dan harus di ganti agar tidak bocor, kini semua sudah selesai. Gue beranjak, merentangkan tangan yang terasa kaku karena kurang tidur. "Udah nih mah, udah aman?" Kata gue sembari menncoba menghidupkan kompor gas yang langsung menyala setelah gue putar tuasnya. "Udah aman kan El?" "Aman Mak, kan dari tadi jendelanya El buka jadi aman nih, udah nyala juga, lanjut goreng gih, El mau lanjut tidur lagi" "Oke, makasih El." "Iya mah, sama-sama." Akhirnya, Minggu bebas gue bisa gue gunakan sepuasnya tanpa gangguan, gue bersyukur untuk itu. Kalo aja gas enggak abis kayaknya mamah bakal gangguin aku terus di sini. "Oh iya El, galon abis, sekalian ganti ya sebelum ke kamar?" Langkah ringan dan damai gue seketika berhenti, gue menoleh menatap mama dengan tatapan penuh tanya. "aku mah?" Tanya gue meyakinkan mama bahkan telintuk gue sudah menunjuk diri gue sendiri. "Iyalah, kalo bukan kamu, terus siapa yang mau mama mintain tolong?" "Masak aku lagi sih mah, jadi binaragawati nanti aku lama-lama mah, angkat beban Mulu kerjaannya!" "Udah nggak usah banyakan protes, sana ganti galonnya!" Gue memutar bola mata malas, beranjak dari sana dan menuju dispenser yang tak jauh meja makan. Gue menghela nafas panjang saat melihat sebuah galon yang tergeletak di bawah dan posisi dispenser yang tingginya hampir sedada gue. Astaga apa gue kuat angkat ginian coba? Ini berat banget loh. Mau nggak mau, gue harus melakukannya, dari pada nanti gue nggak bisa minum pas selesai makan nanti, lebih baik gue ganti aja ini galon. Gue mengangkat galon kosong yang ada di dispenser, lalu meletakkannya di sisi kiri, mengelap bagian atas dan menyobek tutup galon yang baru dengan cutter, setelahnya gue mengambil ancang-ancang lebar sebelum mengangkat galon yang ada, butuh usaha memang, bahkan di percobaan pertama gue gagal dan menumpahkan isi galon yang berhasil membasahi lantai. Sekali lagi gue mencoba mengangkat, dengan usaha yang cukup akhirnya gue berhasil. Agak sakit juga rasanya pinggang gue ngangkat beban yang ternyata berat banget ini. Gue menghela nafas, memilih duduk di sofa sembari meratapi nasib Minggu gue yang beneran apes. "Mah! Udah nih." Teriak gue memberitahu mama. "Apalagi?" Tanya gue pasrah setelahnya, berharap penyiksaan gue berakhir sampai di sini saja. "Nggak ada, makasih ya udah bantuin mama!" Akhirnya ... Tidur panjang gue, waktu bebas dan berharga gue, guling kesayangan dan segala boneka yang sedari tadi udah melambai minta di peluk sama gue akhirnya bisa gue peluk juga. Segera saja gue beranjak masuk kedalam kamar, mengunci pintu dan langsung masuk merebahkan diri gue di atas kasur empuk gue. hari libur tenang gue ... Tak gendong kemana-mana, tak gendong... Mata gue berkerut mendengar lagu Mbah Surip yang keluar dari ponsel di bawah bantal gue, segera saja gue meraih benda pipih itu dan melihatnya, tertera nama Adit di sana. Sahabat gue yang satu ini memang memiliki tingkah ajaib, dan ringtone tadi jelas dia sendiri yang merubahnya. Selera musik yang konyol memang. Gue langsung menggeser icon hijau dan menempelkan ponsel gue ke telinga "Halo. Apaan!" "Wet, udah ngegas aja Bu, baru juga gue telpon." Gue memutar bola mata malas, "Iye apaan buruan! Ngantuk gue, capek juga tadi!" "Capek? Abis ngapain emang?" "Nggak usah banyak tanyak. Udah buru, apaan!" "Enggak papa sih, cuma mau kasih tau aja kalo besok hari Senin, dan jangan lupa bawa dasi biar kagak kena hukum kayak gue Minggu lalu_" Gue tau nih kelakuan macam ini, pertanyaan yang nggak terlalu penting dan basi, Adit emang punya cara tersendiri untuk mengganggu gue. "Penting?" "Nggak sih sebenernya." "Nah terus Lo ngapain nelpon gue, bambank!" Adit terkekehdi sebrang sana, dia jelas menertawakan gue, dia ini emang selalu bikin gue kesel emang. "Kagak, cuma mau ngasih tau itu aja." "Aelah kutu loncat! udah ah kalo nggak penting mah, gue mau tidur lagi. Bhai!" Ucap gue setelahnya. "Awas aja lu ganggu gue lagi, abis lu!" Tambah gue sebelum menutup panggilan telpon. "Iye kagak elah. Mana berani gue!" "Bagus, dah gue tutup, Bye!" Setelahnya gue bener-bener menutup panggilan telpon sebelum mendengar ocehan nggak guna dari sahabat gue, mencari aman gue memilih menonaktifkan ponsel gue dan menyimpannya di atas nakas. rebahan panjang ... Gue datang!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN