Seperti yang dikatakannya pada suaminya kemarin, hari ini Talitha mengunjungi Thalia, kakaknya, yang juga melahirkan di rumah sakit yang sama dengannya. Kamar mereka hanya berjarak dua buah kamar lain saja. Sebenarnya dia juga bisa mengunjungi kakaknya dengan berjalan saja, tetapi Alex memaksanya untuk duduk di kursi roda.
Sebab tak ingin melakukan perdebatan yang sangat tidak berguna lagi, Talitha tepaksa menurutinya. Dia membiarkan seorang perawat mendorong kursi rodanya sampai di sisi ranjang Thalia. Untung saja dia masih diperbolehkan menggendong malaikat kecilnya, jika tidak dia pasti akan mengamuk meminta Alex untuk membawanya pulang sekarang juga. Percayalah, seandainya menginginkannya dia pasti bisa pulang sekarang juga.
"Kirain kamu nggak mau jenguk aku, Ta."
Talitha meringis mendengar perkataan kakaknya. "Bukannya nggak mau jenguk, Kak, tapi aku lupa kalo kamu juga melahirkan di rumah sakit ini. Kalo Alex nggak ngingetin, kayaknya aku nggak bakal tau, deh."
"Jadi, ceritanya aku harus bilang makasih sama Alex, gitu?" tanya Thalia dengan sebelah alis terangkat.
"Nggak perlu! jawab Talitha cepat. Wajah cantiknya terlihat datar. "Lagi kesel sama Alex."
Thalia tertawa. "Kamu, 'kan, dari dulu emang kesel terus, ya, sama Alex."
Talitha cemberut. Dia lupa jika kakak perempuannya mengetahui kisah percintaannya dengan suami tercinta. Dia yang menceritakannya karena hanya Thalia yang bisa dipercayai. Lagipula, Thalia juga satu-satunya orang yang mengetahui sisi gelap yang disembunyikannya, selain Alex.
"Kesel, sih, sekarang udah labirin anak dia." Thalia tertawa kecil. Seandainya mereka.todak di rumah sakit, dan tidak ada orang bayi mungil yang sangat cantik dan lucu, dia pasti akan tertawa dengan keras.
Adiknya memang lucu. Talitha selalu mengatakan sesuatu yang berkebalikan dengan apa yang dirasakannya. Untuk cinta Talitha kepada Alex, suaminya, dia tidak pernah meragukannya. Di luar Talitha mengatakan jika dia kesal kepada pria yang sudah memberikannya satu orang anak, di dalam hatinya Talitha sangat memuja pria itu.
"Kamu deketan sini, bisa, nggak?" pinta Thalia bertanya. Dia tahu, adiknya masih kesal padanya, bisa dilihat dari wajahnya yang menekuk. "Aku, 'kan, mau liat ponakan aku!"
Talitha mengangkat sebelah alisnya mendengar permintaan kakaknya. "Kenapa kamu yang nggak ke sini?" tanyanya balik dengan nada ketus. "Manja banget jadi cewek, masa habis melahirkan aja nggak bisa bangun? cibirnya.
"Bukannya nggak bisa, Ta, tapi masih belum bisa." Thalia mencoba meluruskan. "Aku cuman boleh baring kalo nggak duduk. Hamil aku, 'kan, lebih dari kamu, tapi pas melahirkan dokter bilang, kalo pinggul aku kecil, makanya aku lahirannya lebih lama dari kamu, padahal aku hamil lebih dulu."
Talitha mengangguk. Penjelasan yang masuk akal baginya.
"Makanya kamu ke sini deketan biar aku bisa liat ponakan aku." Thalia tersenyum lebar. "Suster, bisakah kali ini kau membantuku untuk duduk?" pintanya pada seorang perawat yang sejak tadi mendampingi Talitha.
Keadaan Thalia sedikit lebih parah dari Talitha. Selain hari persalinan yang undur dari yang sudah ditentukan dan pinggul yang kecil, Thalia juga sempat pendarahan. Dia mendapatkan tambahan beberapa kantong darah agar dapat bertahan.
Sayangnya, Talitha tidak tahu mengenai hal itu. Tidak ada yang memberi tahu, mereka merahasiakannya darinya karena tidak ingin menjadi pikiran wanita yang baru melahirkan. Lagipula, Thalia sudah tidak apa-apa lagi, kondisinya sudah stabil sekarang.
Perawat yang tadi mendorong kursi roda Talitha menghampiri Thalia yang masih berbaring di tempat tidurnya, kemudian membantunya duduk. Tidak benar-benar duduk, tetapi setengah berbaring. dengan bersandar pada dinding di belakangnya. Sebuah bantal diletakkan di antara punggungnya dan dinding kamar sebagai penghalang.
Setelah itu, perawat berambut pirang berkebangsaan Belanda itu kembali menghampiri Talitha, mendorong kursi rodanya pelan menghampiri Thalia, tepat di depan ranjangnya dalam jarak satu kaki.
"Kamu beneran masih belum bisa jalan, Ta?" tanya Thalia melihat Talitha duduk di kursi roda dan didorong oleh perawat. "Bukannya kata Bunda kamu udah mau pulang?" Alisnya berkerut saat bertanya.
Di dalam kamar inap Thalia hanya ada mereka dan seorang perawat yang tadi bersama Talitha. Rajesh Roshan, suami Thalia, sedang keluar sebentar karena ada keperluan. Sementara kedua orang tua mereka pulang ke rumah dulu. Thalia yang memaksa agar keduanya bisa beristirahat lebih baik.
"Udah bisa!" jawab Talitha judes. Rasa kesalnya kembali karena mendengar pertanyaan kakaknya. "Udah sehat, udah bisa jalan, lagian melahirkan normal juga. Cuman Alex aja yang nggak ngebolehin jalan." Wajah cantiknya menekuk. "Malah kemaren Alex negelarang pas aku mau lepas infus, orang udah bisa makan sama minum sendiri juga."
Thalia tertawa mendengar adiknya mengadu. Talitha merupakan perempuan yang mandiri. Dia tidak suka diatur, lebih senang melakukan semuanya sendiri. Dia pikir Alex sudah tahu semua tentang adiknya, atau sepertinya pria itu lupa, sehingga kembali bersikap posesif pada Talitha.
"Biarin aja, 'kan, kamu nggak rugi juga," kata Thalia disela tawa. "Lagian, 'kan, nggak capek tuh karena nggak perlu jalan."
"Dih!" Bibir Talitha meruncing, maju beberapa senti. "Harusnya aku tuh lebih banyak jalan daripada duduk terus, kayak yang aku sakit aja!" dengkusnya.
"Kita, 'kan, emang lagi sakit...."
"Mana ada!" potong Talitha cepat memprotes perkataan Thalia. "Aku cuman habis lahiran, ya, Kak, ya, bulan sakit!"
Thalia memutar bola mata. Berdebat dengan Talitha tidak akan ada habisnya, adiknya selalu mendapatkan bahan untuk membantah setiap perkataannya.
"Iya iya, cerewet!" belalak Thalia. "Mana ponakan aku? Siniin, aku mau gendong!" pintanya mengulurkan tangan, siap menerima bayi dalam gendongan Talitha. Untuk mempermudah, dia memajukan tubuhnya sama seperti Talitha.
"Namanya Angel." Talitha memberi tahu setelah bayinya berada dalam gendongan kakaknya. Dia berdiri, duduk di atas tempat tidur di depan Thalia.
"Cantik banget, sih!" Thalia menciumi pipi keponaoannya yang kemerahan. "Rambutnya pirang lagi," katanya gemas. "Warna matanya sama kayak kamu atau kayak warna mata Alex?" Dia bertanya tanpa menatap wajah adiknya.
Talitha mengembuskan napas sedikit lebih kuat. "Warna mata Alex," jawabnya malas. Putri kecilnya yang baru tiga hari kemarin dilahirkannya menuruni gen Sang Ayah, berambut pirang, warna mata amber seperti warna mata Alex. Tak ada satu pun dari Angel yang mirip dengannya, sepertinya dia hanya digunakan sebagai wadah saja untuk menampungnya selama masih menjadi embrio.
"Bule banget astaga!" Thalia tidak bosan-bosannya melihat keponaoannya yang dia yakin pasti akan menjadi idola di keluarganya karena warna rambut dan warna matanya. "Nama panjangnya siapa, Ta?" tanya Thalia penasaran. Kali ini dia menatap Talitha saat bertanya.
"Angelica Kirana Jensen," jawab Talitha tidak bersemagat. Bukannya dia tidak senang atas kelahiran bayi mungilnya, dia hanya menyayangkan nama anaknya dan Alex yang merupakan pemberian dari suaminya itu, sedikit berbau kebarat-baratan. Padahal dia ingin anak mereka bernama so Indonesia, atau setidaknya ketimuran, tetapi Alex menolaknya. Pria berambut pirang yang menikahinya setahun yang lalu itu sudah memikirkan nama untuk putri kecil mereka. Angelica Kirana Jensen, perpaduan antara barat dan timur seperti darah yang mengalir di tubuh Angel, malaikat cantik mereka. "Alex yang kasih nama." Dia bersungut-sungut.
Thalia mengangguk. "Cocok, lho, nama sama orangnya. Cantiknya kayak malaikat." Sekali lagi Thalia mencium pipi gembil keponakannya.
Talitha tak menanggapi. Dia masih kesal pada Alex yang tidak membiarkannya memberi nama untuk buah hati mereka, juga tidak membolehkannya untuk pulang hari ini. Meskipun tidak seperti tadi pagi yang membuatnya ingin menendang boming pria itu kuat-kuat. Talitha menghela napas, mengembuskannya pelan melewati rongga hidungmya. Berharap semoga saja dia lebih higip untuk menghadapi semuanya,.