Bab 1
Alexander Jensen menatap kagum pada sepasang mata sewarna matanya itu. Pria berdarah Denmark itu tidak menyangka kalau putri kecilnya yang baru lahir mewarisi warna rambut dan mata miliknya. Ia mengira kalau putrinya akan memiliki mata sang istri, ternyata tidak. Alex tersenyum. Senyum yang benar-benar senyum, bukan senyum menyebalkan seperti yang selama ini ditampilkannya. Dia bahagia dengan kelahiran putrinya.
"Namanya Angelica Kirana Jensen," bisik Talitha, istri Alexander, di telinga pria itu. "Bagaimana menurutmu? Apa kau menyukainya?"
Tatapan Alex beralih dari wajah mungil malaikat kecilnya yang kemerahan ke wajah cantik sang istri yang masih terlihat pucat. Alex mengangguk. Tangan Alex terangkat mengusap pipi mulus istrinya.
"Aku suka," jawab Alex. "Namanya sangat cantik, secantik dirinya." Alex mengecup pipi Talitha sebelum kembali memfokuskan perhatiannya kepada bayinya yang menggeliat. Sepertinya malaikat kecilnya mengantuk, mulut mungilnya terlihat menguap. "Sepertinya dia mengantuk." Alex kembali menatap Talitha.
"Kurasa kau benar," jawab Talitha. Perempuan itu tersenyum manis melihat putri kecilnya yang kembali menguap. Talitha mengulurkan tangan, meraih putrinya yang baru dilahirkan beberapa jam yang lalu itu ke dalam pelukan. Ia akan menyusui dan menidurkannya. "Kau mengantuk ya, Sayang?" Talitha bertanya kepada putrinya. "Kau mau tidur? Tidurlah."
Alex tersenyum melihat istrinya yang mengajak putri mereka berbicara. Seolah mengerti apa yang dibicarakan ibunya, bayi mungil mereka membuka mulutnya. Alex mengusap pipi kemerahan sang putri menggunakan punggung jari telunjuknya. Ia tidak pernah menyangka akhirnya bisa menjadi seorang ayah. Perjalanan cinta mereka yang cukup sulit karena banyak rintangan membuatnya seperti mimpi saja saat bisa mempersunting Talitha. Dan sekarang, setelah lebih dari empat belas bulan mereka menikah, akhirnya mereka dikaruniai seorang bayi perempuan yang sangat cantik.
Angelica Kirana Jensen. Sungguh nama yang sangat cantik. Perpaduan dari kedua negara orang tuanya. Alex berjanji dia akan menjadi ayah yang baik bagi putrinya. Dia tidak akan membiarkan putrinya mengalami semua yang telah dialaminya. Cukup dia saja yang merasakan kepahitan hidup, putrinya jangan. Dia akan menjaga malaikat kecilnya dengan taruhan nyawa.
"Dia sudah tidur." Talitha tersenyum lembut. Senyum seorang ibu. "Lihatlah!"
Alex mengangguk. Dia melihatnya, bayi mereka sudah terlelap pulas tampaknya. Mata ambernya terpejam. Alex terkekeh. Begini kah rasanya menjadi seorang ayah yang melihat putrinya tertidur pulas? Rasanya berbunga-bunga, seperti saat dia jatuh cinta kepada ibu dari bayinya itu.
"Mau membantuku merebahkannya ke box bayinya lagi?" tanya Talitha.
Alex menggeleng cepat. Pria itu mengangkat kedua tangannya setinggi telinga seperti seseorang yang menyerah.
"Aku tidak mau," jawabnya. "Aku takut."
Talitha terkekeh. "Kau tidak pernah takut pada lawan-lawan bisnismu, tetapi kau takut pada putrimu?" Talitha mengerutkan alisnya. Dengan pelan dan hati-hati merebahkan bayi merah mereka kembali ke dalam box-nya.
"Mereka orang-orang dewasa, Sayang. Bukan malaikat kecil seperti bayi kita," bantah Alex. "Aku bisa mematahkan leher mereka, tapi aku tidak mau meremukkan tubuh mungil putri kita."
Talitha menatap suaminya dengan mata menyipit. "Sebaiknya jaga bicaramu, Tuan Jensen!" hardiknya lirih. "Kau seorang ayah sekarang dan akan menjadi panutan bagi putrimu. Jadi, mulai sekarang, berhati-hatilah kalau berbicara!"
Alex menyumpah dalam hati. Menyesali kecerobohannya yang telah berbicara yang tidak-tidak di depan putrinya. Dia beruntung karena Talitha sudah mengingatkannya.
Alex berdiri, melangkah menghampiri tempat tidur bayinya yang berada di sebelah kiri ranjang rumah sakit yang di tempati Talitha. Alex menumpukan kedua tangannya di sisi tempat tidur sang putri.
"Maafkan Daddy, Sayang. Daddy tidak sengaja," ucap Alex lirih dengan nada suara menyesal. "Daddy janji tidak akan mengulanginya lagi." Alex menggeleng pelan.
Talitha memasang wajah tak peduli, padahal di dalam hati perempuan itu tersenyum. Dia bangga pada Alex yang ternyata bisa menghargai bayi mereka.
"Hei, Daddy, kemarilah!" Talitha melambai memanggil suaminya. "Ada yang ingin aku tanyakan."
Alex menatap perempuan yang dinikahinya empat belas bulan yang lalu itu dengan sebelah alis yang terangkat. Membawa kakinya melangkah menghampiri Talitha setelah memberikan kecupan selamat tidur di dahi putri mereka.
"Apa.yamg ingin kau tanyakan, Nyonya Jensen?" tanya pria itu sambil duduk di sisi kosong tempat tidur Talitha.
"Apa papa dan bunda sudah pulang?" tanya Talitha sambil merebahkan kepala di bahu kekar itu.
Alex melirik Talitha dengan ekor matanya. "Belum," jawabnya diikuti gelengan kepala. "Mereka kuminta beristirahat. Mama tampak lelah setelah menungguimu tadi."
Alis Talitha berkerut mendengar perkataan suaminya. "Apa maksudmu?" tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari bahu Alex. Bagi Talitha, bahu itu saat ini tempat ternyaman bagi kepalanya.
"Kau tertidur setelah menyusui Angel untuk pertama kali tadi. Mama menungguimu sampai beliau juga terlihat mengantuk. Jadi, kuminta saja mama dan papa ke kantin rumah sakit untuk sekedar melepas lelah," jelas Alex.
Talitha menganggukkan kepala di bahu suaminya. Ia paham, orang tuanya pasti merasakan lelah sama seperti dirinya. Sejak tadi malam kedua orang tuanya berjaga, menjaganya dan juga Thalia, kakak perempuannya, yang juga akan melahirkan. Beruntungnya, mereka berada di rumah sakit dan lantai yang sama, bersebelahan kamar. Sehingga kedua orang tuanya tidak terlalu lelah mengunjungi kedua putrinya yang akan melahirkan di waktu yang nyaris bersamaan.
"Bagaimana dengan Thalia, apa dia juga sudah melahirkan?" tanya Talitha.
"Sudah juga," sahut Alex. Tangan kanannya terangkat mengusap rambut hitam Talitha. Tadi papa yang menungguinya." Alex menghela napas. "Kalian benar-benar manja," komentarnya. "Kalian sudah dewasa dan memiliki suami, tetapi kalian tetap meminta ditemani orang tua kalian setelah melahirkan."
Talitha tersenyum. Dia tidak tersinggung sama sekali dengan apa yang dikatakan suaminya tentangnya dan kakak perempuannya, karena kenyataannya mereka memang seperti itu.
"Apa kau cemburu?" tanya Talitha terkekeh.
Alex kembali melirik bahunya, di mana kepala sang istri bertengger di sana. Pria itu menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Aku malah merasa kasihan kepada mereka karena memiliki anak perempuan manja seperti dirimu. Dan aku berharap nanti putriku juga seperti itu."
Tawa Talitha menghambur lepas. Suaminya memang aneh. Itu adalah cemburu, hanya saja dalam versi yang berbeda.
"Kurasa putrimu nanti akan dapat membuatnu bertekuk lutut, Tuan Jensen," bisik Talitha. Perempuan itu mengangkat kepala hanya untuk mengecup pipi Alex yang mulai ditumbuhi jambang. "Kau perlu bercukur," kekehnya.
"Well, sepertinya tidak perlu menunggu nanti," sahut Alex. "Sekarang saja dia sudah membuatku bertekuk lutut padanya, seperti aku bertekuk lutut padamu." Alex menoleh. Membingkai wajah Talitha yang masih terlihat pucat menggunakan kedua tangannya. "Tak fordi du fødte mit barn. Tak fordi du ønsker at være mor til mit barn. Jeg elsker dig, Talitha," ucap Alex lirih. "Tak fordi du gjorde mig til den perfekte mand."
Talitha tersenyum manis. "Maaf, aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan." Perempuan itu meringis. "Bisakah kau tidak menggunakan bahasa negaramu?" tanyanya tak enak.
Sepertinya permintaan Talitha tidak salah. Dia memang tidak mengerti bahasa Denmark, begitu juga Alex yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Jadi, wajar kan kalau dia meminta Alex untuk berbicara dalam bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, yaitu bahasa Inggris.
Alex tertawa kecil. "Baiklah," ucapnya. "Kurasa kau harus lebih belajar lagi bahasa negaraku."
"Kau juga!" balas Talitha tidak mau kalah. "Kau juga harus lebih belajar lagi bahasa negaraku."
Alex mengembuskan napas melalui mulut. Istrinya memang keras kepala dan tidak akan mau mengalah. Sejak awal dia sudah tahu bagaimana Talitha. Kekeraskepalaan perempuan itu adalah salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta kepada Talitha. Terdengar aneh mungkin bagi sebagian orang, tetapi dia memerlukan seseorang yang seperti Talitha untuk mendampinginya. Seperti yang dikatakannya tadi, Talitha mampu membuatnya bertekuk lutut dan hanya perempuan itu yang bisa melakukannya.
Pertemuan pertama mereka pun tidak bisa disebut menyenangkan. Berawal dari berebut bangku di ruang kuliah sampai akhirnya mereka dekat, menikah dan sekarang memiliki seorang bayi mungil yang sangat cantik. Perjuangan mereka berbuah manis.
Alex tersenyum segaris mengingat semua yang sudah mereka lalui. Dia memang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan cara apa pun dia pasti akan mendapatkannya. Mungkin semua itu sudah tertanam di dalam jiwanya. Kehidupannya tidak bisa dibilang nyaman, tidak juga dibilang keras. Bagi Alex, kehidupannya normal-normal saja. Ayahnya yang seorang pengusaha dibidang perhotelan dan real estate selalu memberikan yang dia mau. Mungkin itu yang menjadikannya sedikit egois seperti sekarang.
Sedikit? Tentu saja hanya sedikit! Seorang Alexander Jensen tidak akan mau mengakui kalau dirinya memiliki kekurangan. Alex menilai dirinya terlalu sempurna dengan kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Alex memerlukan itu untuk menjalankan bisnisnya. Bisnis warisan dari sang ayah juga beberapa bisnis lain yang sekarang digelutinya membuatnya termasuk dalam deretan CEO muda di negaranya. Dan sekarang, Alex mencoba untuk mengembangkan bisnisnya itu ke negara lain. Seperti dugaannya, bisnisnya pun berkembang pesat di beberapa negara tetangganya.
Beruntung Alex sempat menemani Talitha melahirkan. Karena dua hari yang lalu dia masih berada di Milan menghadiri pembukaan hotel barunya di salah satu kota di Italia itu. Pesta belum selesai saat Alex mendapatkan telepon dari ibu mertuanya yang mengabarkan kalau sang istri sedang dibawa ke rumah sakit karena akan segera melahirkan. Tiga jam waktu yang diperlukan Alex untuk tiba di kediamannya. Dia langsung menuju ke rumah sakit untuk menemani sang istri.
Akhirnya, setelah semalaman bermalam di rumah sakit Talitha melahirkan juga. Pada pagi hari Senin bayi mungil mereka lahir. Alex merasa sekarang semuanya sudah lengkap. Dia sudah menjadi pria yang sempurna. Karenanya tadi dia mengucapkan terima kasih kepada istrinya yang sayangnya tidak dimengerti oleh istrinya yang galak itu. Alex mengembuskan napas melalui mulut sebelum mengulangi apa yang tadi dikatakannya. Kali ini dia akan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh Talitha.
"Terima kasih sudah mau melahirkan anakku. Terima kasih sudah mau menjadi ibu dari anakku. Aku mencintaimu, Talitha. Terima kasih karena sudah membuatku menjadi seorang pria yang sempurna." Alex mengecup kening Talitha lama setelah mengucapkan kata-kata itu.
Dada Talitha menghangat. Dia tidak menyangka kalau suaminya yang tidak ada romantisnya sama sekali ini ternyata bisa mengucapkan kata-kata manis seperti ini. Talitha mengerjap beberapa kali, mengusir air yang mencoba menggenangi matanya.
"Kau manis sekali," ucap Talitha serak. Perempuan itu mengusap air mata di sudut matanya.
"Benarkah?" tanya Alex tak yakin dengan perkataan sang istri. Dia memang tidak pernah mengatakan hal seperti tadi kepada Talitha selama mereka menikah. Ketika masih berpacaran pun dia tidak pernah mengatakannya. Talitha selalu mengatakan kalau dia tidak romantis. Jadi tidak perlu berkata-kata, cukup buktikan dengan perbuatan.
Talitha mengangguk. "Iya," jawabnya. "Tetapi sebaiknya jangan berkata apa-apa lagi. Aku tidak mau kecewa."
Alex tidak bersuara, hanya tatapan heran saja yang dilayangkannya kepada sang istri. Pria itu menaikkan sebelah alisnya.
"Baru kali ini kau berkata manis, kata-katamu biasanya menyebalkan. Membuat telinga panas." Talitha membingkai wajah tampan pria yang sudah memberinya satu anak. "Jadi, sebaiknya kau jangan berkata apa-apa lagi. Aku tidak mau mendengar perkataanmu yang sangat tidak romantis itu."
See? Benarkan? Istrinya selalu berkata seperti itu, dia tidak romantis. Alex akui, dia memang tidak bisa mengucapkan kata-kata mesra dan menyanjung seperti pria pada umumnya. Tersenyum normal pun dia harus belajar susah payah dari sahabatnya. Kata sahabatnya itu, wajahnya keras dan senyumnya selalu senyum mengejek, sehingga dia harus belajar untuk tersenyum manis.
Namun sepertinya dia tidak memerlukan semua itu, Talitha menerimanya apa adanya. Cinta mereka bukan rekayasa atau hanya pura-pura. Cinta mereka tulus, saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
"Baiklah, aku akan diam." Alex mengangkat kedua tangannya menyerah, lagi.
Talitha tersenyum puas. Mengecup pipi Alex yang terasa sedikit kasar di bibirnya. "Kau perlu bercukur!" ucapnya.
Alex memutar bola mata. Talitha selalu mengingatkannya untuk melakukan hal itu seminggu sekali. Pria itu mendengus.
"Aku ingin memiliki jambang," celetuk Alex. "Kurasa akan terlihat keren kalau aku memiliki jambang."
"Jangan pernah lakukan itu!" ucap Talitha dengan penuh penekanan pada setiap kata-katanya. Tatapannya mengancam tertuju kepada Alex.
"Kenapa tidak?" tanya Alex tak mengerti. "Aku hanya ingin agar semua rekan dan lawan bisnisku tidak memandangku dengan sebelah mata. Aku ingin mereka melihatku lebih dewasa."
Talitha berdecak dan memutar bola matanya kesal. Dia tidak akan membiarkan suaminya melakukan itu. Dia tidak mau Alex tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Oh ayolah, Alex baru dua puluh lima tahun. Sangat menggelikan kalau orang-orang mengira suaminya berusia lebih dari itu hanya karena jambang saja.
"Kau sudah dewasa, Tuan Jensen," sahut Talitha berusaha sabar.
"Lawan-lawan bisnisku masih menganggapku anak-anak," adu Alex. Saat seperti ini dia terlihat seperti seorang anak berusia sepuluh tahun.
"Biarkan saja mereka berpikir begitu." Talitha tersenyum manis. "Mereka pasti akan lebih malu karena dikalahkan oleh pria yang mereka anggap anak kecil."
Alex menatap Talitha yang tersenyum angkuh. Itulah salah satu kelebihan istrinya. Perempuan itu selalu memberinya jawaban yang membuatnya kembali bersemangat dan selalu berpikir kalau dia yang terhebat.
Talitha mengangguk. Senyum angkuh masih menghiasi bibirnya yang pucat. Dia bukan perempuan yang suka bersolek dan cuek pada penampilan. Baginya kecantikan tidak selalu dilihat dari wajah, melainkan dari hati.
***
Kartika Darmawan bergegas memasuki lift, dia ingin segera kembali ke kamar inap putri-putrinya yang baru saja melahirkan. Perempuan berusia pertengahan empat puluhan itu tidak sabar untuk melihat kedua cucunya. Kartika tidak bisa meninggalkan mereka terlalu lama. Maklum, cucu pertama. Kedua cucu perempuannya lahir hampir bersamaa. Mereka tidak kembar, mereka lahir dari orang tua yang berbeda. Mereka hanya dilahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Kedua cucu perempuannya hanya berbeda beberapa jam saja.
Kartika menarik tangan Aditya, suaminya, agar segera memasuki lift sebelum lift penuh dan kelebihan muatan. Sebagai seorang perempuan yang kedua putrinya dirawat di rumah sakit ini, Kartika tidak mau mengalah dengan seorang perempuan lain yang mencoba untuk masuk. Untung saja tadi dia keburu menarik tangan Aditya, kalau tidak suaminya itu pasti akan tertinggal.
Aditya hanya menggeleng melihat kelakuan istrinya. Kartika meskipun sudah menjadi seorang nenek tetap saja galak. Padahal istrinya itu sudah berjanji akan menjadi seorang nenek yang hangat. Namun, melihat kelakuan Kartika barusan, Aditya meragukannya.
"Jangan mau mengalah hanya karena kita di negeri orang," ucap Kartika terang-terangan. Tentu saja dia berani berkata dengan suara biasa, mereka berada di Denmark yang kemungkinan besar tidak ada yang mengerti bahasa mereka. Jangankan orang-orang di dalam lift ini, menantu mereka saja tidak mengerti dengan bahasa mereka. "Anak kita juga dirawat sini, Pa. Di ruang VVIP lagi."
Kartika tidak menyombong, perempuan itu berkata yang sebenarnya. Alexander Jensen tidak akan membiarkan istrinya menginap di ruangan biasa-biasa saja. Talitha menempati salah satu ruangan terbaik di rumah sakit ini. Sementara Thalia menempati ruang VIP. Rajesh Roshan, suami Thalia, tidak sekaya dan sesombong Alexander. Rajesh tidak masalah istrinya ditempatkan di mana saja yang penting layak dan mendapatkan pelayanan yang baik. Sehingga ruang VIP pun sudah cukup bagi Rajesh. Berbeda dengan Alexander. Pria berkebangsaan Denmark itu menginginkan yang terbaik dari semua yang terbaik untuk anak dan istrinya. Kartika menghela napas. Perempuan itu berharap semoga cucunya tidak seangkuh ayahnya kelak. Dia ingin cucu perempuannya menjadi gadis yang baik dan selalu rendah hati.
Ting!
Lift berhenti di ruangan yang dituju oleh Kartika dan Aditya. Sepasang suami istri itu segera keluar dari lift dan melangkah cepat menuju ruangan putri-putri mereka. Kartika memilih untuk ke ruangan Talitha lebih dulu karena ruangan itu yang paling dekat dengan pintu lift. Ruangan VIP yang dihuni Thalia mengambil jarak beberapa meter ke belakang dari ruangan Talitha.
Setelah mengetuk pintu, Kartika langsung memasuki ruangan bahkan sebelum dipersilakan. Talitha yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala.
"Cucu bunda mana?" tanya Kartika.
"Tuh!" Talitha menunjuk box yang ditiduri bayinya. "Lagi tidur, Bun," ucapnya.
Kartika bergegas menghampiri box bayi di mana cucu pertamanya berada. "Lah dia tidur." Wajah cantik Kartika terlihat kecewa.
Talitha memutar bola mata. "Kan tadi udah aku bilang, Bun, kalo dia lagi tidur."
Kartika mendengus. Setelah mengusap pipi cucu perempuannya, Kartika menghampiri putrinya yang tampak lelah. Kepala Talitha bersandar di bahu sang suami yang sedang fokus pada laptop menyala di pangkuannya. Dasar menantu gila kerja! sungut Kartika dalam hati.
"Kamu gimana, Sayang? Udah baikan?" tanya Kartika mengusap pipi putrinya yang masih terlihat pucat.
"Udah baikan, Bun." Talitha tersenyum. "Jangan khawatir," ucapnya mengambil tangan Kartika dan membawa ke mulutnya, kemudian mengecup tangan itu hangat.
"Tu robot masih kerja juga?" sindir Kartika memonyongkan mulut ke arah Alex.
Talitha tertawa kecil sambil mengangkat kepala untuk menatap suaminya.
"Sayang, bisakah kau matikan dulu benda itu?" tanya Talitha pada Alex. "Papa dan Bunda berada di sini."
"Huh? Apa?" Alex mengangkat wajah dan sedikit terkejut melihat kedua mertuanya sudah berada di kamar inap istrinya. Kapan mereka datang, sungguh dia tidak tahu. Sepertinya saat dia sibuk dengan deretan angka-angka di layar laptopnya tadi.
Alex tersenyum ramah. Beruntung dia sudah kursus tersenyum pada Hanson, sahabatnya, selama setahun saat dia dan Talitha masih berpacaran dulu. Sehingga dia dapat tersenyum ramah kepada kedua mertuanya.
"Oh, maafkan aku!" ucap Alex menyesal. Cepat dia meletakkan laptop di nakas dan segera turun dari ranjang Talitha. "Aku tidak menyadari kedatangan kalian." Alex menghampiri Aditya, menyalami mertuanya itu.
"Kalian sudah memberi cucuku sebuah nama?" tanya Aditya menunjuk box bayi cucunya menggunakan ekor matanya.
Alex mengangguk. "Sudah, Papa," jawabnya. "Talitha yang memberikannya nama."
"Oh ya? Benarkah itu?" tanya Kartika tidak percaya. Dia mengira Alex yang akan memberikan nama untuk anak pertama mereka. Kartika menatap Alex dan Talitha bergantian.
Talitha mengangguk. "Namanya Angelica Kirana Jensen. Cantik bukan?" tanyanya tersenyum.
Kartika juga tersenyum. "Iya, Sayang. Namanya cantik," jawabnya sambil mengangguk.
"Alex juga menyukai nama itu," ucap Talitha, tersenyum pada suaminya yang kembali duduk di sebelahnya.
"Pastilah kayak gitu," jawab Kartika menggunakan bahasa dari negaranya, bahasa yang tidak dimengerti oleh menantunya. "Dia pasti suka sama semua yang kamu suka."
Talitha tertawa mendengar perkataan ibunya. Perempuan yang melahirkannya itu benar. Alex memang akan selalu menyetujui semua usulnya, suaminya itu sangat mencintainya. Seperti dirinya yang juga sangat mencintai pria yang sudah memberinya satu anak itu.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Alex dengan kening berkerut. Mata ambernya menatap curiga kepada istri dan mertua perempuannya bergantian.
Talitha menggeleng lembut. Tangannya terangkat mengusap wajah tampan Alex.
"Tidak ada apa-apa, Sayang. Kami tidak membicarakan apa pun." Talitha tersenyum. "Bunda hanya bilang kalau kau memang akan selalu menyetujui semua yang aku katakan."
Sebelah alis Alex terangkat mendengar perkataan istrinya. Benarkah itu? Apakah istrinya tidak berbohong?
"Benarkan, Bunda?" Talitha melirik ibunya yang kembali berada di dekat box tempat tidur bayinya.
Kartika tidak menjawab. Perempuan itu hanya mengangguk tanpa menatap anak dan menantunya. Tatapannya terfokus pada cucunya yang perlahan membuka mata. Kartika terperangah kagum melihat bola mata cucunya yang berwarna emas.
"Adit, lihatlah!" Kartika melambai kepada suaminya, meminta pria itu mendekat. "Bola matanya berwarna emas!" Kartika nyaris memekik. Beruntung dia keburu untuk menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Kalau tidak dia pasti akan membuat cucunya terkejut.
Aditya mendekati istrinya. Pria itu membenarkan perkataan Kartika, cucu mereka memiliki sepasang mata amber. Aditya diam-diam merasa bangga, mata amber termasuk warna mata yang langka di dunia dan cucu perempuannya memiliki warna mata itu. Meskipun mata itu menurun dari sang ayah yang sedang menatap mereka dengan tatapan sulit dibaca.
Alex dan Talitha tersenyum melihat kedua orang tua itu yang mengagumi warna mata cucu mereka. Yang menurut mereka langka tetapi tidak bagi Alex. Keluarga Jensen memang terkenal memiliki mata emas.