Alexander Jensen memang keras kepala, selalu dapat membuat semua orang menuruti setiap perkataannya. Di mana pun, ia yang berkuasa. Namun, ia selalu luluh dengan setiap permintaan istrinya. Apa pun yang diminta Talitha, sedapat mungkin ia akan mencoba untuk menurutinya, kecuali permintaannya kali ini. Ia tidak akan mengizinkan Talitha pulang dari rumah sakit hari ini. Seandainya saja ia dapat menerima alasannya, mungkin ia akan mempertimbangkan permintaan itu. Namun, alasan Talitha tak masuk akal baginya. Dia ingin pulang ke rumah hanya karena bosan berada di rumah sakit. Yang benar saja? Talitha baru dua hari habis melahirkan, kondisi kesehatannya masih belum pulih seperti sediakala. Meskipun ada kedua mertuanya di rumah, tapi tak mungkin ia meminta mereka untuk menjaga Talitha. Lagipula, beberapa hari atau minggu lagi, mereka akan kembali ke negara mereka.
"Mintalah sebuah istana, maka aku akan membuatkannya untukmu," kata Alex penuh percaya diri. Kepercayaan diri selalu menjadi milik keluarga Jensen, tak heran Alex selalu berkata dengan kepercayaan diri yang tinggi. Selain itu .semua memang ditopang oleh materi berlimpah yang dimilikinya, tentu mudah untuk mewujudkan keinginan. Sang Istri tercinta.
Talitha memutar bola mata bosan mendengarnya. Entah sampai kapan kepercayaan diri yang tinggi itu melekat pada diri suaminya. Meskipun itu bukanlah sifat yang buruk, bahkan cenderung baik, tapi tetap saja dia kesal.
"Asal jangan meminta untuk pulang sekarang."
Talitha menggeleng. "Tak ada yang kuinginkan selain pulang," sahutnya. Dia menyandarkan punggung ke belakang, pada beberapa buah bantal yang ditumpuk menjadi satu, pada kepala ranjang. "Aku sungguh-sungguh sangat bosan berada di sini, Alex. Aku seperti seorang tahanan saja." Dia mendesah jengkel, menatap suaminya dengan tatapan menuduh. "Kau tak berniat untuk mengurungku di sini, bukan?" tanyanya curiga. Mata kucingnya menyipit, menatap Alex penuh kecurigaan.
"Terserah kau saja!" Alex mengangkat kedua tangan setinggi kepala. "Terserah apa pun yang kau katakan tentang diriku, aku sudah terbiasa." Ia mengedikkan bahu acuh tanpa menatap Sang Istri yang melipat tangan di depan d**a. "Yang penting kau tidak pulang hari ini. Benar, 'kan, Sayang?" tanyanya pada putrinya yang masih berumur dua hari. Alex masih takjub dengan kelahiran bayi mungilnya yang sangat cantik. Kulitnya masih kemerahan, apalagi jika malaikat kecilnya menangis, seluruh tubuhnya yang mungil akan terlihat memerah. Tadi pagi ia memarahi dokter karena membiarkan Angel kecilnya menangis.
Talitha mendengkus kesal. Udara yang keluar dari hidungnya terasa panas menyentuh kulit di atas bibirnya. Dia benar-benar bosan dan ingin pulang, perutnya mual mencium bau obat-obatan yang menyengat. Oh, baiklah. Mungkin dia berlebihan, tak ada obat di kamar inapnya selain vitamin dan s**u untuk Ibu menyusui. Namun, tetap saja dia merasa mual. Kalian pasti tahu apa yang dirasakan saat merasa bosan, bukan? Semua jadi terasa serba salah. Seandainya Alex bisa menemaninya satu kali dua puluh empat jam, mungkin dia tidak akan merasa sebosan ini. Sayangnya, suaminya lebih memilih untuk tetap berkutat di belakang meja kerja di kantornya, dan membiarkan istrinya yang cantik dan elegan terkurung di rumah sakit.
Alex memang tidak macam-macam, prianya benar-benar bekerja, tapi tetap saja dia merasa kesal. Seandainya di rumahnya, pasti banyak yang bisa dilakukannya selama putri kecil mereka tidur. Seperti belajar memasak atau mengerjakan pekerjaan lainnya yang menurutnya lebih bermanfaat daripada bermalas-malasan. Apa saja selain menghancurkan dapur Alex. Talitha meringis mengingat hal itu. Saat mereka pertama kali menikah, dan dia ingin membuatkan suaminya sarapan. Tidak ada yang meledak, hanya saja dapur di apartemen Alex yang selalu rapi berubah jadi seperti kapal pecah. Sejak itu, dia berniat untuk belajar masak seperti yang Thalia lakukan. Meskipun Alex melarangnya, dia tetap belajar secara diam-diam.
"Baiklah!" Talitha akhirnya mengalah. Sepertinya dia memang harus tetap berada di rumah sakit beberapa hari lagi, walaupun nanti –mungkin– dia akan mati karena bosan. "Lalu, kapan aku bisa pulang?" tanyanya lirih tanpa semangat. "Percayalah, aku sangat merindukan rumah."
Alex menaikkan sebelah alisnya mendengar itu. "Benarkah?" tanyanya memainkan mata menggoda. "Kau benar-benar rindu rumah, atau itu hanya alasanmu saja karena sebenarnya kau merindukanku."
Benar-benar kepercayaan diri yang dimiliki Alex sangat tinggi, sulit dikalahkan oleh siapa pun termasuk dirinya. Kepercayaan diri yang nyaris membuat suaminya seperti seseorang yang tak tahu malu. Talitha berdecak. "Aku baru saja melahirkan, Alex. Kau tidak akan bisa macam-macam denganku." Dia tertawa, apalagi melihat wajah tampan suaminya yang menekuk setelah mendengar perkataannya.
Talitha turun dari ranjang, menghampiri Alex yang tak bergerak di posisinya, di depan box putri mereka. Tangannya terangkat. mengusap pipi yang ditumbuhi sedikit cambang. "Kau harus bercukur, Sayang," bisiknya tepat di depan bibir Alex sebelum memberikan sebuah ciuman di pipinya, mengabaikan rasa menusuk di bibirnya.
Alex menggeram tertahan. Benarkah apa yang dikatakan Talitha, jika dokter memberi tahu mereka tidak bisa melakukan apa-apa?
"Jangan memikirkan yang tidak-tidak." Talitha mendengkus pelan melihat alis pirang suaminya terangkat sebelah. Dia mengusapnya menggunakan ibu jari. "Jangan sampai aku mendengar kau menunggangi salah satu wanita di kantormu atau wanita mana pun, kecuali kau ingin kehilangan Alex kecil." Talitha tersenyum manis, memainkan telunjuknya di d**a Alex yang tertutup kemeja, memutar-mutar dasi yang masih melingkari lehernya. Dia yang memasangkan dasi berwarna hijau zamrud ini tadi pagi. "Kau tahu, 'kan, apa yang bisa kulakukan?"
Seringai menghiasi bibir merah muda Alex. Tentu saja ia tahu, ia sangat mengenal istrinya. Jatuh cinta sejak pertama kali bertemu, kemudian mengetahui sisi lainnya yang membuatnya semakin bertekuk lutut pada wanita yang sudah memberinya satu anak. Baginya, istrinya adalah wanita sempurna. Sisi lainnya yang gelap itu oun dianggapnya melengkapi seorang Talitha Darmawan Jensen. Ia tahu apa yang bisa dilakukan istrinya pada orang-orang yang ingin merebut miliknya. Talitha akan menangani sendiri, dan akan meminta bantuannya jika dia merasa kesulitan. Namun, sejauh ingin, baru satu kali Talitha meminta bantuan. Itu pun saat dia masih menderita morning sickness pada saat trimester pertama kehamilannya.
"Kau juga tahu jika aku tidak tertarik pada wanita mana pun, bukan?" balas Alex bertanya. Ia kembali menaikkan sebelah alisnya. "Si kecil tidak akan bereaksi pada wanita lain, ia tahu di mana rumah ternyamannya."
Mata kucing Talitha berkilat, senyum manis menghiasi bibirnya yang tanpa pemulas. Warnanya sedikit pucat, tapi dia tak peduli, toh suaminya juga tidak masalah dengan itu. Tak ada rona kemerahan yang menjalari paras Talitha mendengar kata-kata Alex yang frontal. Dia juga sudah terbiasa. Sejak awal mereka menikah, dan menghabiskan malam pertama berdua di apartemen yang ada di Belanda, mulut Alex mulai tak disaring. Pada awalnya dia merasa risih, tapi lama-kelamaan dia jadi terbiasa juga. Kata-kata seperti itu seolah sama saja dengan kata-kata lainnya.
"Aku percaya padamu, Sayang, kau tidak akan melakukannya." Senyum masih menghiasi bibir Talitha. Dia berjingkat, tangan kirinya merayap ke belakang leher Alex, dan menarik leher itu mendekat. Talitha menyatukan bibir mereka, hanya beberapa saat, dia melepaskannya sedetik sebelum Alex membalas ciumannya. Jangan sampai suaminya membalasnya, atau tidak akan ada yang bisa menghentikannya. "Aku yakin kau masih sangat menyayangi Alex kecil." Berkata seperti itu, Talitha mengusap si kecil yang menggembung di balik celana suaminya. Tersenyum miring mendengar geraman suaminya. Dia melepaskannya begitu saja, dan kembali ke atas tempat tidur dengan wajah tak berdosa.
Alex menggeram tertahan, kedua tangannya mengepal kuat. Talitha sudah membangunkan adik kecilnya kemudian meninggalkannya begitu saja dengan senyum manis bak seorang malaikat. Istrinya manis sekali, bukan? Sangat menggemaskan.
"Kære, benarkah dokter yang mengatakan kita tidak boleh melakukan hubungan intim?" tanya Alex penasaran. Ia tidak tahu apa-apa mengenai pasca persalinan. Nilai semua mata pelajarannya saat di sekolah dulu selalu sempurna, tapi ia sudah melupakan yang menurutnya tidak penting, termasuk masalah persalinan ini. Ia melangkah menghampiri istrinya yang saat ini tengah membolak-balik majalah di pangkuannya. "Itu bukan alasanmu saja karena ingin menghindariku, 'kan?"
Talitha menutup majalah dengan cepat. Indra pendengarannya berdenging mendengar pertanyaan absurd Alex. Betapa konyol suaminya yang sidah menuduhnya berbohong. Seandainya saja bagian bawahnya sudah tidak sakit lagi, seandainya saja bagian intimnya sudah seperti sediakala, entah apa jadinya wajah tampan yang bertanya dengan gaya sok polos itu.
"Untuk apa aku menghindarimu?" tanya Talitha dengan mata berkilat. Dia paling kesal jika ditudih yang tidak-tidak, dan Alex baru saja melakukannya. Dia memang merasa sangat bosan dan tidak ada yang dikerjakan selain menyusui Angel, tapi bukan berarti dia akan mengarang sebuah kebohongan. Dia juga ingin bersama Alex saat ini, ingin seperti biasa yang mereka lakukan jika hanya berdua saja, tetapi masih belum bisa. "Asal kau tahu, Tuan Jensen, aku memang tidak ada kerjakan lain di sini selain menyusui anakmu, tapi bukan berarti aku berbohong untuk menghindarimu. Ada-ada saja!" dengusnya kasar.
Alex mengedikkan bahu cuek. Tingkahnya masih saja santai menghadapi Talitha yang sedang naik pitam. "Mungkin saja, 'kan, kau berniat untuk mengerjaiku," katanya.
"Untuk apa?" tanya Talitha lagi. Matanya menatap tajam penuh intimidasi pada pria berambut pirang yang sekarang duduk di sebelahnya. "Seolah aku tidak memiliki pekerjaan saja!"
"Memang seperti itu, 'kan?" balas Alex santai. "Kau sendiri yang mengatakan tidak ada yang kau kerjakan di sini, oleh karena itu kau ingin pulang ke rumah hari ini."
"Astaga! Apa yang ada di pikiranmu?" tanya Talitha gemas. Kekesalannya menguap mendengar apa yang dikatakan suaminya. Apalagi kepala yang sekarang berada di bahunya. Seluruh rasa kesalnya lenyap tak berbekas.
"Entahlah." Alex mengedikkan bahu. "Saat ini aku sangat menginginkanmu sampai-sampai kepalaku pening dan telinga berdenging. Jadi, kurasa yang sedang kupikirkan saat ini adalah kita bersenang-senang di atas ranjang rumah sakit yang kecil ini." Alex mengangkat kepalanya, dan menjauhkannya dari bahu Talitha. Ia menatap tajam istrinya yang tengah menatapnya. "Pasti sangat menantang."
Talitha memutar bola mata bosan. "Lebih baik kau urusi pekerjaanmu daripada memikirkan hal seperti itu," katanya sambil merebahkan kepala di bahu kelar itu. "Sudah kukatakan tidak bisa, dan aku tidak berbohong padamu. Jika tidak percaya kau bisa bertanya sendiri pada dokterku." Talitha menyatukan tangan mereka. Tangan mungilnya menggenggam tangan besar Alex. "Tanyakan pada Bunda jika kau masih berpikir aku hanya mengerjaimu. Kenyataannya memang seperti itu, Sayang. Kita tidak boleh berhubungan intim sebelum darah setelah melahirkan berhenti keluar.
Alex berdecak. Sepertinya si kecil harus berpuasa lagi seperti saat awal trimester pertama kehamilan.
"Kau harus sabar." Talitha mengusap lembut lengan Alex dari luar jasnya. "Kau seorang pria yang kuat, Sayang," bisiknya. "Mungkin kau bisa bermain dengan Angel untuk sementara waktu."
Bukan ide yang buruk. Tatapan Alex beralih pada putri kecilnya hang masih terlelap dalam box bayinya.
"Kau bisa mengajaknya berbicara, Sayang. Aku yakin Angel pasti akan mengerti apa yang dikatakan.ayahnya," kata Talitha. Dia menumpukan dagu pada bahu suaminya, menatap wajah tampan yang selalu membuatnya terpesona. Tangannya kembali mengusap pipi yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ada rasa geli yang menyerang telapak tangannya kala bersentuhan dengan bulu-bulu itu. "Angel anak yang pintar, dia memiliki kecerdasanmu." Talitha memajukan wajah, kembali mendaratkan bibirnya di pipi Alex.
Alex mengangguk, ia yakin akan hal itu. Putrinya akan tumbuh menjadi gadis yang cerdas seperti kedua orang tuanya.
"Aku sangat suka warna matanya, persis seperti matamu. Sangat cantik!" bisik Talitha. Tatapannya lurus mengarah pada box bayi di mana malaikat kecilnya tertidur nyenyak setelah disusui selama lebih dari setengah jam. Dia tidak memberikan s**u formula sebagai pendamping, ia ingin memberi Angel asi eksklusif seperti bayi-bayi lainnya. Bukan karena takut tidak mampu membeli s**u jika bayinya ketagihan, Alex sangat mampu membelinya termasuk dengan pabrik dan isinya. Dia hanya tak ingin Angel terbiasa sehingga tidak menginginkan asi lagi, dan lebih memilih s**u formula.
"Dan, dia mewarisi kecantikanmu." Alex mengecup pelipis Talitha lembut. "Juga menjadi pewaris keluarga Jensen."
Talitha mengangguk. "Angel perpaduan kita berdua," katanya. "Dia akan tumbuh menjadi sehebat dan sekuat ayahnya."
"Juga secantik ibunya," sambung Alex. "Jangan pernah melupakan dirimu, Kære." Alex membawa tangan Talitha yang menggenggam tangannya, memberikan kecupan di sana.
"Tidak " Talitha menggeleng di bahu Alex. "Sudah kukatakan, bukan, jika Angel adalah perpaduan dari kita berdua, jadi Angel akan tumbuh menjadi gadis cantik yang sempurna."
"Sebab itu kau harus berada di sini sedikit lebih lama. Kupikir waktu dua minggu sudah cukup."
Talitha berdecak di bahu Alex. Suaminya ini memang sangat suka mengambil keputusan sendiri, tanpa ada yang bisa membantahnya. Tidak juga dirinya, kecuali berujung pada perkelahian di akhirnya.
"Kau bisa menjenguk Thalia jika kau bosan."
Thalita mengangguk. Dia baru ingat jika kakak perempuannya juga melahirkan dan dirawat di rumah sakit ini. Kata Bunda, usia anak mereka tidak berbeda. Angel hanya sedikit lebih tua, beberapa jam saja. Alex benar, ia akan mengunjungi Thalia saja daripada harus terus bersama putrinya, daripada terus berada di kamar ini.
"Kupikir kau benar," jawab Talitha. Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Aku akan mengunjunginya. Mungkin besok karena hari ini sudah terlalu sore. Astaga! bagaimana mungkin aku bisa lupa jika Thalia juga berada di rumah sakit ini?" Talitha menegakan kepala, kemudian mengusap tengkuknya yang terasa dingin.