Ya Allah ya Tuhanku … Jika ini yang harus aku jalani. Kuatkan aku…
Doa Gema malam itu di akhir tahajjudnya.
Sambil melepaskan mukenanya. Gema menangis sesenggukan. Dia sungguh tidak tahan. Dia tidak membenci Hanif, suka juga tidak. Dia hanya merasa bukan saatnya untuk menikah dalam waktu dekat. Dia masih ingin melakukan yang dia suka. Lagipula dia memang belum tertarik berhubungan dengan laki-laki, apalagi menikah.
Gema merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Lalu bersedekap sambil menatap langit-langit kamar. Aku harus pergi, aku tidak mau dikekang lagi, aku tidak mau menikah, aku masih ingin bebas, batinnya berulang.
Gema menyeka sisa-sisa air matanya yang hendak mengering. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru kamarnya.
Gema lalu meringkuk. Memejamkan matanya. Lalu terlelap.
***
Jumat sore pukul 4.30
Sarah dan Nasrah
Sarah dan Nasrah saling pandang ketika bersama-sama membaca pesan pendek dari Gema.
Sarah … siap ya? Aku sudah akan pergi. Jangan tanya ke mana. Sayang kamu, Gema.
Sarah tidak lagi mampu menahan air matanya yang tiba-tiba saja tergenang. Gema ternyata tidak main-main dengan ucapannya.
Nasrah merangkul Sarah.
“Aku yakin. Kamu akan dicintai Hanif. Yakinlah. Aku akan mendukungmu, Sarah. Aku akan memperjuangkanmu,” ujar Nasrah sambil mengusap-usap bahu Sarah. Sarah tampak masih tidak tahu apa dia bahagia atau sedih. Tapi memang dia menyukai sosok Hanif.
***
Jumat malam…
Keluarga Subhan Abbas melaksanakan sholat Isya berjama’ah yang diimami Hanif.
Nasrah tidak sanggup menahan tangisnya saat mendengar ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dilantunkan dengan amat sangat merdu oleh Hanif, adiknya, saat sholat berjama’ah bersama keluarga.
Suara Hanif sangat menyentuh hatinya. Karena dia tahu apa yang akan terjadi di pernikahan besok hari. Rasanya tidak adil jika hal ini terjadi kepada adiknya yang sangat lurus hidupnya itu. Nasrah sebenarnya tidak membenci Gema, tapi dia juga tidak sepakat dengan apa yang dilakukan gadis pendiam itu.
Setelah jama’ah sholat Isya bubar. Nasrah yang sedang melipat mukenanya sejenak memandang Hanif yang masih sumringah kala papamamanya memeluk adiknya. Begitu terenyuh hatinya.
Setelah menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan, Nasrah lalu melangkah menuju Hanif yang baru saja hendak beranjak dari ruang keluarga.
“Hanif. Ada yang ingin aku sampaikan. Penting. Dan kamu harus siap,” ujar Nasrah dengan wajah serius. Wajah Hanif langsung berubah khawatir saat melihat wajah Nasrah yang sangat murung. Nasrah lalu menarik tangannya, mengajak Hanif menuju teras belakang. Sambil mengecek ke bagian dalam rumah, Nasrah memeluk Hanif. Perasaan Hanif sontak tidak karuan.
“Ada apa, Kak?” tanya Hanif.
Nasrah merenggangkan pelukannya. Dipegangnya dua lengan Hanif dan menatapnya sedih.
“Gema kabur. Dia tidak ingin menikah dengan kamu,”
Hanif ternganga. Bukan main terkejutnya. Dia pegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Nasrah lalu membimbingnya duduk di bangku yang ada di teras belakang rumahnya.
“Hanif. Menikahlah dengan Sarah. Dia menyukaimu dan siap mematuhi segala yang kamu mau. Dia lebih siap menjadi istri kamu. Percayalah. Kamu tidak akan pernah bisa menikahi Gema. Karena dia belum siap sama sekali. Dia juga tidak ingin menikah dengan kamu,”
Nasrah memegang erat kedua tangan Hanif. Sejuk sekali. Hanif memejamkan matanya kuat-kuat seakan tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi esok hari.
“Kita tunggu kabar dari keluarga Gema besok pagi. Jangan biarkan Abi dan Umi tau soal ini sekarang. Sudah aku atur semua,”
Hanif menghela napas. Sedikit merasa lega. Karena Nasrah terus memberinya semangat dan menenangkannya.
“Gema kabur ke mana?” tiba-tiba Hanif merasa khawatir.
Nasrah menggeleng.
“Tidak tau. Dia memang gadis nekad. Tidak cocok dengan kamu,”
Sarah menatap tajam Hanif.
“Kamu mau menikahi Sarah?” tanyanya penuh harap.
Hanif mengangguk.
Sarah memeluk Hanif erat. Dia tahu Hanif sangat terpukul. Lagi terhina.
“Sarah yang akan menyelamatkanmu besok. Yakinlah, dia terbaik.”
***
Sabtu pukul 4 sebelum Subuh.
Jantung Bu Nayura berdesir saat melihat kamar Gema sangat rapih. Tempat tidurnya apalagi. Tidak ada jejak tidur sama sekali. Rapi dan licin. Hanya ada susunan bantal dan guling. Dengan perasaan was-was, Nayura mengecek setiap sudut kamar, juga kamar mandi. Dibukanya lemari baju. Kosong sebagian. Laci-laci, juga kosong sebagian. Gema menghilang.
“GEMAAAA…!!!”
Bu Nayura memekik panjang. Saat tidak ditemukannya Gema di kamarnya shubuh Sabtu itu. Dia panik. Berlarian ke kamarnya, membangunkan suaminya.
Gamal terperangah hebat saat melihat wajah penuh air mata Nayura. Ikut sedikit panik saat Nayura memberitahunya bahwa Gema sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Kemudian dua pasutri itu mengelilingi rumah dalam gelap. Memanggil-manggil nama anak gadisnya. Suara mereka sangat kencang. Apalagi Nayura, suaranya yang memekik membangunkan para tetangga sekitar.
Ada beberapa tetangga terdekat memenuhi pekarangan rumah Pak Gamal waktu menjelang subuh itu. Wajah-wajah prihatin memandang Gamal dan Nayura. Nayura dibopong salah satu ibu yang berada di dekatnya. Dia sangat lemas. Sementara Gamal, suaminya, tampak tengah bercaka-cakap dengan para tetangga dengan wajah sangat khawatir.
“Assalamu’alaikum, Pak Subhan. Saya ingin memberitahukan kepada Anda dengan sangat berat hati. Tidak ada pernikahan hari ini. Gema, anak saya ... menghilang,”
***
Sabtu Pukul 5 00 pagi.
Bu Flora langsung menghambur ke tubuh Hanif yang baru saja menunaikan ibadah sholat Shubuh. Dipeluknya dan dikecupnya wajah anaknya itu bertubi-tubi. Dengan wajah penuh air mata dia katakan kepada Hanif bahwa pernikahannya sepertinya akan batal hari ini.
“Jangan khawatir, Umi. Tetap ada pernikahan hari ini. Aku akan menikahi Sarah Hassan Youdha, sepupu Gema,”
Bu Flora Nash terkejut bukan main. Ditatapnya wajah tenang Hanif.
Tak lama kemudian, hampir semua ponsel dan telepon berdering di kediaman Subhan Abbas. Semua sibuk, juga panik. Dan yang paling bahagia hari itu adalah Nasrah, kakak Hanif. Dia tampak semangat, cekatan dan sibuk. Sampai-sampai Hanif terharu melihatnya.
Tidak menunggu lama, kendaraan-kendaraan mewah pun berdatangan ke rumah kediaman Subhan Abbas subuh itu juga.
Bani Abbas sepakat Hanif menikah dengan Sarah.
***
Sarah meraih ponselnya yang berdering kencang subuh itu.
“Sarah, kamu terbaik,” ujar Nasrah. Setelah itu, tidak ada kata-kata yang terdengar. Hanya tangisan haru. Juga Sarah, tidak sanggup membalas kata-kata Nasrah.
Diraihnya seluruh jilbab yang diberikan Gema sebelumnya yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Didekapnya dan menciumnya. Lalu diambilnya salah satu jilbab berwarna hijau muda, jilbab pertama yang dipakaikan Gema ke kepalanya.
“Gemaaa, di mana kamu,” isaknya. Sedih membayangkan Gema yang menghilang entah ke mana.
***
Sabtu, pukul 8. 15 pagi.
Igor dan Fani bercanda di dapur apartemen. Dua sejoli itu saling berpelukan dan berciuman. Sepertinya mereka melewati jumat malam dengan sangat indah. Sesekali terdengar tawa manja dari Fani. Wanita itu terus menggoda Igor agar tidak segera pergi darinya.
“Gue ada janji jam sembilan, Fan. Ada klien dari Munich, tertarik mau invest di perusahaan gue,” ujar Igor sambil mengangkat tubuh mungil Fani dan meletakkannya di atas meja makan. Diremasnya paha kekasih hatinya itu dan menatap wajah mulus Fani penuh cinta. Dia terus berusaha membujuk Fani agar tidak sedih dengan rencana kepergiannya pagi itu.
Pandangan Fani tertuju ke layar ponsel Igor yang berbunyi kecil. Ada sebuah notif di benda yang tergeletak di samping tubuh mungilnya.
“Apa nih? Pernikahan Gema? Maksudnya?”
Fani membaca sebuah notif yang tertera di layar ponsel Igor.
Bersambung