“Oh, itu ngasih duit ke Pak Gamal. Hadiah buat Gema. Gue nggak bisa datang hari ini, jadi gue trasnfer uang saja,”
“Sepuluh juta?”
“Kenapa? Salah dengan jumlah itu? Papa kasih lima puluh juta sama rumah. Dia juga nggak bisa datang karena ada undangan di Manokawari,”
Igor menggelengkan kepalanya saat memandang Fani.
“Apa yang ada di kepala lu, Fan? Nggak biasanya cemburu. Ampuun. Udah nikah juga orangnya,”
Igor tertawa kecil. Lalu keduanya melangkah menuju kamar.
Igor tampak bersiap-siap hendak pergi. Diraihnya jaket hitam yang tergeletak di atas tempat tidur, dan memakainya. Sementara Fani yang masih dengan lingerinya terus memeluk Igor, seakan-akan Igor tidak boleh lepas darinya sedetikpun.
“Lu manja banget hari ini?” rutuk Igor sambil meraih kepala Fani, mendekapnya dan mengecupnya. Fani tertawa kecil. Fani memang wanita yang sangat mengerti Igor. Igor sangat menyayanginya.
Fani tersenyum tipis. Sambil membantu membawakan ransel Igor, dia menemani Igor melangkah menuju ruang depan.
Namun keduanya terkejut bukan kepalang ketika melihat sosok perempuan berjilbab tertidur pulas di sofa ruang tamu apartmen.
***
Acara pernikahan Hanif dan Sarah di adakan di sebuah gedung mewah. Sudah banyak sekali tamu-tamu berdatangan di depan gedung tersebut. Tamu-tamu undangan dari berbagai kalangan, dari masyarakat setempat hingga kelas atas. Karena Pak Subhan Abbas adalah ketua RT di lingkungannya.
Yang mengharukan adalah nama Gemma Aulia Hassan masih menghiasi di seluruh papan bunga yang berjejer di depan gedung. Juga di dalam gedung. Pun suvenir pernikahan masih tercatat nama Gemma dengan sangat jelas. Sepertinya para tamu belum mengetahui kabar teranyar mengenai pernikahan tersebut.
Dan tibalah acara utama di gedung mewah itu...
Seketika gedung riuh tatkala mendengar Hanif mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan jelas. Semua terkejut saat mendengar nama pengantin perempuan ‘Sarah Hassan Youdha binti Batara Adimas Youdha’ menggema kuat di gedung mewah.
Sontak Rema Hassan, mama Sarah menangis sesenggukkan saat melihat suaminya menjabat tangan Hanif dengan mantap. Dia tidak menyangka pernikahan itu adalah pernikahan anak bungsunya sendiri, bukan keponakannya.
Nasrah dengan semangat mendampingi Sarah melangkah menuju pelaminan setelah ijab kabul selesai diucapkan. Dipegangnya kuat-kuat lengan Sarah. Khawatir Sarah lemah, karena sedari subuh Sarah tidak henti-hentinya menangis memikirkan nasib Gema.
Sarah cantik sekali. Gaun yang seharusnya dipakai Gema melekat indah di tubuhnya yang seksi. Kepalanya juga kini sudah mantap berbalut hijab. Hanif pun terperangah dibuatnya. Senyumannya sangat lebar, menyambut sang istri dengan penuh suka cita.
Pernikahan itu penuh haru biru. Semua menangis, tidak terkecuali Hanif. Apalagi saat dia mencium kening Sarah.
“Terima kasih, Sarah. Kamu penyelamat hidup aku,” ujar Hanif penuh haru. Sarah menangis. “Aku mencintaimu, Hanif. Aku akan membuat kamu bahagia sampai mati,” bisik Sarah sungguh-sungguh. Hanif tersenyum. Dia tidak lagi sedih. Sebaliknya. Dia amat bahagia. Lalu tangisnya memuncak saat terdengar suara lirih Kiyai Luthfi Kamil mendoakan pernikahannya. Doa yang juga diiringi tangisan di seluruh tamu undangan. Seakan mereka mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
***
Igor perlahan membalikkan tubuh yang terbaring lelah di sofa apartemennya. Lalu dia dan Fani saling pandang tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Bukannya dia seharusnya,” ujar Fani yang terperangah melihat Gema yang masih tertidur pulas.
Igor lalu meraih ponselnya yang ada di sakunya, dia hendak menghubungi Gamal. Namun sejenak niatnya tertunda saat pandangannya tersita ke tulang pipi Gema yang memar kebiruan.
Tidak lama Gema terbangun. Dia kaget sekali saat dilihatnya dua orang mengamatinya dengan pandangan serius. Gema langsung duduk memeluk dua lututnya dan memandang dua orang itu takut-takut.
“Kenapa kamu ke sini?” tanya Igor penuh curiga.
“Gema nggak mau nikah,” jawab Gema.
Igor lalu membungkuk, dipegangnya dagu gadis berjilbab itu sambil mengamati memar biru di pipi kiri, juga merah di bola mata kirinya. Gema menatapnya takut-takut. Sekujur tubuhnya tiba-tiba saja bergetar hebat. Saking ketakutannya.
“Siapa yang melakukannya?” tanya Igor dengan tatapan tajam. Dia tidak pernah menampar atau memukul perempuan meski sering bermain cantik dengan perempuan. Igor sebaliknya, sangat memanjakan perempuan, hingga perempuan-perempuan merasa bosan dengannya.
“Mama,” jawab Gema lirih.
“F...ck,” carut Igor sambil melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 8.45. Ditatapnya lagi Gema, lalu mencarut lagi. Berulang-ulang. Fani turut cemas melihat gelagat Igor. Antara cemas, gelisah, kesal, dan juga marah, Karena memikirkan janji dengan kliennya yang datang jauh dari Jerman.
“Kamu ikut Om,” ujar Igor gusar. Sedikit menyentak tangan Gema.
“Jangan kembalikan Gema ke rumah, Om. Gema nggak mau pulaaaang,” mohon Gema setengah berteriak. Gema berusaha menepis tangan kokoh Igor.
“Kamu nggak bisa tinggal di sini! Om carikan kos buat kamu!”
“Igor,” Fani sepertinya ingin mencegah. Dia merasa iba dengan Gema. Dipegangnya bahu Igor, tapi Igor menepisnya.
“Ikut! Cepat!”
Fani tidak kuasa menahan langkah Igor yang menarik kuat lengan Gema. Gema pun menurut.
***
“Naik!”
“Gema takut naik motor, Om,”
“Naik!”
“Gema takuuut,”
Igor lalu turun dari motornya. Lalu diangkatnya tubuh Gema dan mendudukkannya di bagian belakang motor besarnya. Gema hendak turun dan berontak. Tapi tangan Igor menahan perut Gema agar tetap duduk di belakangnya.
“Tetap di situ!” ketus Igor. Lalu diraihnya tas Gema dan meletakkannya di dadanya. Igor lalu menyalakan mesin motornya dan berlalu dari parkiran apartemennya. Namun, tampaknya dia berhenti sesaat tepat di pos satpam.
Seorang satpam yang tampak mengenalnya muncul dari pos.
“Pinjam helm, Pak,” seru Igor, menyuruh bapak itu memakaikan helm ke kepala Gema.
Di perjalanan, Gema ragu-ragu memeluk pinggang Igor. Karena Igor mengendarai motor cukup kencang. Igor yang menyadari keraguan Gema, meraih dua tangan Gema untuk memeluknya erat.
“Masih jauh, peluk Om kuat-kuat,” perintah Igor. Suaranya mulai melunak.
Igor menghela napasnya. Perasaannya tidak karuan. Kesal, marah, juga jengkel. Gema benar-benar mengganggu harinya kali ini. Entah apa yang berikutnya terjadi. Dia tidak mau membayangkannya. Yang ada di pikirannya adalah meletakkan Gema jauh-jauh dari pandangannya.
***
Igor memarkirkan motornya di parkiran plaza Kuningan, Jakarta Selatan. Dia turun duluan.
“Turun. Kenapa masih duduk di situ,” ujar Igor kasar saat melihat Gema yang masih saja duduk di atas motornya.
Gema membuka helmnya. Mukanya nampak memelas. Lututnya terlihat gemetar.
Igor menggelengkan kepalanya. Dipeluknya Gema, membimbingnya untuk turun. Gema terus saja menurut sambil memegang dua pundak Igor.
“Kamu nggak pernah naik motor?” tanya Igor akhirnya.
Gema mengangguk. Igor sedikit berdecak. Lalu memegang kepalanya. Sedikit pusing melanda kepalanya. Bukan pusing karena sakit, tapi pusing memikirkan dara jelita Gema yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Kemudian mereka berdua memasuki Plaza. Menuju sebuah café.
“Kamu duduk di sini dulu. Om ada janji sama klien Om,” ujar Igor sambil meletakkan tas ransel milik Gema di atas meja di hadapan Gema.
“Nih. Buat jajan. Kamu makan dulu,” suruh Igor sambil melempar dua lembar uang merah di hadapan Gema. Gema meraihnya dengan sedikit senyum tipis. Dia memang lapar.
Ternyata klien yang dimaksud Igor sudah datang duduk rapi di sudut café yang mereka singgahi. Igor disambut hangat oleh kliennya itu.
Sementara Gema beranjak dari duduknya menuju kasir. Dia memesan makanan. Dan Igor terus sesekali mengawasi gadis berjilbab itu sambil bercakap-cakap dengan kliennya.
Bersambung