Wajah-wajah serius mendengar penjelasan Igor yang memimpin rapat pagi itu. Pak Gamal tampak mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar setiap kata yang ke luar dari mulut Igor. Akhirnya dia berkesimpulan bahwa Igor adalah tipe pemimpin yang mau mendengar setiap keluhan dan pendapat bawahannya, karena apa yang disampaikan Igor kala itu sama persis dengan apa yang dia utarakan sebelumnya di hari pertama dia bertemu dengan Igor. Menurutnya, tidak salah Pak Radhit mengusulkan Igor menggantikannya. Terlepas dari gaya hidupnya yang glamour, Pak Gamal menyukai cara Igor memimpin perusahaan meski baru beberapa hari.
Hanya saja memang, di setiap saat Fani datang mengunjungi Igor di sore hari, hati Pak Gamal sama sekali tidak dapat menerimanya. Namun, lagi-lagi mengingat banyaknya orang-orang yang bekerja di perusahaan itu, Pak Gamal pun urung mengeluh ke Pak Radhit mengenai hal ini.
“Saya secara pribadi ingin mengundang Pak Igor untuk menghadiri acara pernikahan anak saya, Gema,”
Pak Gamal meski dia tahu usia Igor jauh lebih muda dari usianya dan sudah menganggap Papa Igor sahabat, dia tetap bersikap professional.
Igor meraih undangan yang bertulis tinta emas dengan hati-hati. Mimik wajahnya sedikit berubah serius. Nama Gema saja yang tersita di pandangannya, tidak nama calon suami Gema.
“Hm, Sabtu ini, Pak Gamal?” Igor bertanya. Pak Gamal mengangguk.
“Mudah-mudahan saya bisa datang. Soalnya, saya juga ada janji dengan klien saya dari Munich,” ujar Igor selanjutnya sambil meletakkan undangan di atas meja kerjanya.
“Butuh apa, Pak Gamal?” lanjutnya bertanya sambil menulis sebuah memo di buku catatan kecilnya.
Pak Gamal tergelak. Sedikit berdecak.
“Nggak usah dipikirkan,” balas Pak Gamal segan.
***
Ternyata perihal pernikahan Gema cukup menyita pikiran Igor. Dia membayangkan gadis cantik itu yang berpakaian seragam sekolah menikah? Apa tidak terlalu muda untuk menikah? Kira-kira berapa usia Gema sekarang? Igor seperti mengingat-ingat wajah dan tubuh tinggi indah Gema yang terbalut pakaian yang longgar. Namun wajahnya berubah muram kala mengingat Gema yang pernah mengamatinya b******u dengan Fani di kantor di suatu sore. Igor menggelengkan kepalanya.
“Kenapa, Gor. Lu kayak mikirin sesuatu?” tanya Fani yang sedang tiduran di sebelah Igor. Igor mengelus pundak polos Fani dan menoleh ke arah Fani.
“Ck, yah, seputar pekerjaan. Banyak yang gue pikirin, Fan. Ternyata banyak hal yang belum dibereskan Papa gue. Dia malah santai-santai sekarang, nungguin yang di Kolombo beres,” keluh Igor sambil terus mengelus-ngelus pundak Fani dan mengecup kepala kekasihnya itu mesra.
“O, eh tadi gue liat ada undangan pernikahan di atas meja kerja lu. Pernikahan siapa?”
Igor sedikit terkesiap. Dasar perempuan, tahu saja sebenarnya yang dipikirkan lelaki. Meski sebenarnya dia tidak tahu.
“Anak Pak Gamal, Gema,” Igor seperti berat menyebut nama gadis itu.
Fani mengernyitkan dahinya. Lalu menghadapkan tubuhnya yang tak berbaju ke hadapan Igor sambil sedikit memperbaiki selimutnya.
“Gema? Yang anak sekolahan itu?”
Igor mengangguk.
“Ih, muda banget. Berapa sih umurnya?”
Igor mencibir.
“Kelas sebelas. Kira-kira berapa usianya?”
“Kok lu tau dia kelas sebelas?”
Duh, Igor keceplosan.
“Gema itu akrab sama Papa. Pas gue ke rumah Gamal dia sempat ngobrol sama papa sebentar, ditanya kelas berapa, dia bilang kelas sebelas,” jelas Igor.
Fani tergelak.
“Duh. Masih ingat aja percakapan. Padahal udah lama banget, nggak biasanya,”
“Lu cemburu? Haha, udah mau nikah anaknya. Fani … Fani. Ada-ada aja lu,”
Fani tersenyum. Sedikit merasa naif. Mungkin karena sempat bertemu Gema sebentar saat dia mengunjungi Igor di kantornya di BSD. Menurut pendapatnya, Gema memang luar biasa cantik, tinggi lagi. Sopan juga. Fani agak minder waktu itu.
“Kalo kelas sebelas berarti usianya sekitar tujuh belas atau depalan belas gitu. Yah … muda banget dong,”
Lagi-lagi Igor mencibir. 17 tahun? Muda sekali. Menikah? Igor menggelengkan kepalanya. Tidak ada kamus menikah di hidupnya.
Fani kembali ke posisinya semula, meringkuk miring membelakangi Igor. Dia seperti mencoba menutup matanya untuk tidur. Tapi sebenarnya pikirannya tertuju ke nasib Gema. Ada rasa cemburu hebat. Gema muda, tapi menikah. Statusnya akan jelas. Tidak seperti dirinya, tidak menikah, tapi kenapa harus terus menerus memiliki kewajiban melayani napsu Igor. Dia tahu dia dan Igor memang saling mencintai dan saling membutuhkan. Sebenarnya sudah cukup syarat untuk menikah. Tapi Igor tidak menginginkannya. Dan bersikeras tidak menginginkannya. Sama sekali. Igor tidak normal, tapi dia cinta. Dia tidak bisa lepas dari sosok Igor.
Fani terus mencoba menutup matanya. Kapan ini berakhir? Dia tidak tahu. Sampai matikah? Fani ngeri membayangkannya. Sementara memang tidak satupun yang mendukungnya, termasuk Pak Radhit, papa Igor. Keluarganya sendiri saja sudah angkat tangan. Mereka tahu, tapi pasrah. Fani akui dia memang keras kepala.
Tidak lama, Fani merasa tangan Igor memeluk penuh tubuhnya, mengecup pundaknya. Hangat. Lagi-lagi dia merasa Igor adalah beban sekaligus kesenangannya. Fani sungguh bimbang sekarang.
***
Gema terus mengompres memar di tulang pipi sebelah kiri dengan perlahan. Ternyata tamparan dari mamanya cukup keras. Hingga beberapa hari ini belum juga hilang memarnya. Masih terasa nyeri. Tamparan ini hanya sekali dia terima di sepanjang usianya. Mamanya tidak pernah melakukannya sebelumnya.
Gema berusaha menenangkan dirinya. Dia tidak dendam. Hanya saja dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia mesti menikah lusa ini.
Gema benar-benar mengatur siasatnya dengan amat sempurna. Ada sebuah tas yang cukup besar yang dia letakkan di bawah tempat tidurnya.
“Mama minta maaf, sayang. Tidak bermaksud memukul kamu,”
Gema sedikit terperangah saat dilihatnya mamanya berdiri menyender di sisi pintu kamarnya yang terbuka. Bu Nayura merasa bersalah saat melihat Gema sedang mengompres memar pipinya di depan cermin.
Gema tersenyum mengangguk. Setelah itu, pandangannya nanar ketika mamanya berlalu.
Hubungan Gema dan mamanya baik. Tapi karena Gema sangat pendiam dan hanya mau bicara hal-hal yang seperlunya saja, jadi hubungan mereka terlihat tidak begitu dekat. Bu Nayura pun juga tidak khawatir dengan itu karena menurutnya selama ini Gema adalah gadis yang penurut. Malah sering dia merasa bangga di setiap kali melihat punggung Gema meninggalkan rumah menuju sekolah. Gema yang tinggi, memiliki langkah anggun, cantik lagi. Dan saat itu pula doa-doa dari dirinya meluncur deras agar Gema selalu dilindungi dan mendapat pendamping yang menyayanginya suatu hari.
Gema sayang mamanya. Dia tidak pernah melakukan hal-hal yang dibenci mamanya selama ini. Tapi kali ini, dia benar-benar tidak bisa terima. Menikah? Duh lagi-lagi kata-kata itu menghujam mukanya. Lebih menyakitkan ketimbang saat menerima tamparan keras dari mamanya.
Awalnya baik Bu Nayura atau Pak Gamal belum mau menikahkan Gema. Di samping usia Gema masih sangat muda, sikap Gema yang masih kekanak-kanakan, juga Gema yang pasti keberatan. Tapi, karena memang keluarga besar Subhan Abbas sangat serius bahkan sudah bersedia memberi jaminan besar kepada hidup Gema selanjutnya, dan juga pria yang akan menikahi Gema adalah pria yang sangat sempurna, cerdas, alim dan bersahaja. Nayura dan Gamal pun berubah pikiran. Menerima tawaran itu. Terlebih, ini adalah amanat dari Kiyai Luthfi Kamil yang sangat disegani, meski pada acara keluarga besar, Kiyai Luthfi tidak hadir. Entah apa yang menyebabkan ketidakhadiran sang alim ulama itu. Padahal menurut tradisi dan kebiasaan keluarga besar Kamil, beliau biasanya menyempatkan untuk hadir meski hanya sesaat.
Bersambung