Waktu pernikahan tinggal enam hari. Gema sudah tidak masuk sekolah lagi. Dua keluarga sepakat untuk memberhentikan sementara Gema dari sekolah untuk ‘masa pingit’ menjelang pernikahan. Bukan main sedih hati Gema. Dia tidak menyangka keduaorangtuanya sangat ‘kejam’ terhadap dirinya. Dia menyadari bahwa dirinya memang tidak begitu pintar di sekolah, tapi bukan berarti dia tidak sanggup belajar. Malah dia ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mamanya sudah mengatakan bahwa dia bisa saja terus sekolah walaupun menikah. Namun Gema tidak yakin dengan itu, menurutnya Hanif bukan tipe pria yang memberi kebebasan kepada pasangannya. Buktinya, dia sudah berani ‘memaksa’ untuk segera menikah.
Gema terus saja melakukan pelacakan kediaman Igor Kashawan. Entah kenapa susah sekali mendapatkan informasi tentang makhluk dengan tatapan sadis namun penuh misteri itu. Tidak satupun muncul dari internet. Baik medsos, atau jaringan lainnya. Gema hampir putus asa. Nama Tiffany pun tidak luput dari pelacakannya. Tapi lagi-lagi nihil.
Drrrt. Drrrrt
“Apa kabar, Gema?”
“Buruk. Kamu lagi apa, Sarah?”
Terdengar helaan napas dari Sarah.
“Di kamarlah. Tiduran. Aku liat kamu online semalaman,”
“Kamu juga nggak bisa tidur ya? Apalagi aku,”
“Aku tidur sih. Kamu yang nggak kayaknya. Soalnya pas aku terbangun pukul 4 pagi, kamu masih Online,”
Gema mendengus.
“Ngapain online?”
“Cari info,”
“Info apa?”
“Secret. Kamu nggak boleh tau,”
“Hm, jangan, Gema. Kamu nggak boleh gitu. Kasihan nanti orang tua kamu. Malu kalau kamu benar-benar ingin sesuatu terjadi di hari pernikahan kamu,”
Gema diam. Baginya berbahaya jika rencananya dibocorkan Sarah.
“Sarah, kamu tau kenapa pernikahan aku dipercepat?”
“Aku nggak tau. Aku juga nggak menghubungi Nasrah. Nasrah juga tidak nelpon-nelpon aku. Mungkin dia kecewa karena akhirnya Hanif kekeh milih mempercepat pernikahannya. Yah, soalnya dia tau banget kan kalo kamu nggak suka Hanif.”
Tiba-tiba pandangan Gema tersita ke sebuah foto pernikahan di layar komputernya. Wajah Igor dan seorang wanita bule.
“Sarah. Kamu bantu aku. Kamu harus siap,”
“Apa-apaan kamu?”
“Aku tidak ingin menikah dengan Hanif. Kamu harus bantu aku,”
Gema lalu mengakhiri panggilannya. Pandangannya tertuju ke foto pernikahan Igor dan perempuan yang bernama Nancy Wales di layar komputernya. Ada juga foto-foto liburan mereka. Hanya saja, raut wajah Gema kemudian tampak kecewa karena setelah itu tidak banyak informasi mengenai Igor.
Sarah menelpon Gema lagi. Tapi panggilan Sarah tidak lagi dipedulikan Gema.
***
Sarah bingung dengan sikap Gema. Gema tidak lagi mengangkat telponnya. Kini sudah hampir tiga jam dia berusaha menghubungi sepupunya itu, tapi tetap tidak disambut Gema. Sarah sekarang bimbang. Dia memang menyukai Hanif, tapi bukan berarti dia ingin mengambil kesempatan atas ketidaksenangan Gema terhadap pria itu, lalu dia membiarkan Gema mengambil tindakan yang mengarah batalnya pernikahan. Duh Sarah ngeri membayangkan gadis yang usianya lebih muda dua tahun darinya itu melakukan hal-hal di luar batas. Atau apa dia harus cerita ke seseorang perihal rencana gila Gema yang akan kabur? Tapi dia juga tidak ingin Gema membencinya, karena dia adalah satu-satunya yang mengetahui rencana Gema.
Dalam kebimbangan hebat siang itu, tiba-tiba Nasrah menelponnya.
“Hei. Sarah. Gimana? Kamu udah ngobrol-ngobrol ama Gema?”
Nasrah sepertinya tidak ingin berbasa basi lagi.
“Duh. Aku nggak tau harus mulai darimana, Nas,”
“Maksudnya?”
Sarah dilanda bimbang hebat kali ini. Bercerita atau tidak.
“Ngomong dong. Biar aku lega juga,”
Sarah menelan ludahnya.
“Gimana ya?”
Terdengar helaan tidak sabar dari Nasrah.
“Gema mau kabur,” ucap Sarah,
Ah. Akhirnya.
“Appa?” seru Nasrah setengah memekik.
Sarah memejamkan matanya. Maafkan aku, Gema, batinnya.
“Iya, Nas. Tapi duh, sebenarnya dia tidak ingin aku bilang ke siapa-siapa. Duh, aku takut dia bakal benci banget sama aku kalo ini tersebar,”
Sarah cemas sekali. Dia memang menyayangi Gema. Tidak sanggup rasanya membayangkan jika dia dibenci sepupu terdekatnya itu.
“Sarah. Kamu suka kan sama Hanif?” tanya Nasrah di ujung sana.
“I … iya, Nas. Suka. Tapi bukan berarti aku mau gantiin Gema. Aku … aku … ampun. Astaghfirullah,”
“Aku ngerti. Aku janji. Aku nggak akan bilang siapa-siapa tentang rencana Gema. Aku udah mikir, jika seandainya pernikahan Hanif dan Gema terjadi pun, pasti akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku liat Gema itu memang beda,”
Sarah menghela napas lega. Berharap Nasrah tidak akan membocorkan rencana Gema.
“Sarah. Aku mau kamu yang jadi adik ipar aku. Gimana-gimananya, biar aku yang atur. Kamu tenang aja, biar Gema melakukan hal-hal yang dia suka. Kita tunggu sampai di mana dia bermain,”
Sarah kini benar-benar bimbang. Juga tidak nyaman. Akan menikah dengan orang yang sama sekali tidak memiliki perasaan khusus terhadap dirinya. Akan menikah dengan orang yang seharusnya menikah dengan sepupunya.
“Gema, ck kamu,”
Sarah menutup penuh wajahnya.
***
Suatu sore, Gema hendak mengambil minuman dari kulkas di dapur. Sekilas dia melirik Mama dan papanya sedang duduk-duduk di meja makan sambil menikmati minuman hangat dan cemilan sore. Mereka sepertinya terlibat obrolan ringan.
Ada gurat penyesalan di wajah Bu Nayura saat melihat pipi kiri Gema yang membiru. Bekas tamparan yang dilakukannya malam setelah acara lamaran. Ternyata masih membekas.
Tampak Bu Nayura sedikit gelisah saat suaminya sekilas memandang Gema. Tapi dia menghela lega ketika Gema melangkah kembali ke kamarnya yang dekat dari dapur. Pak Gamal tidak menyadarinya.
“Jadi Igor itu sekarang tinggal di apartemennya Pak Radhit yang di Sudirman?” tanya Bu Nayura ke suaminya.
Sejenak langkah Gema tertahan. Lalu dia memposisikan tubuhnya agar tidak terlihat keduaorangtuanya di dinding pembatas antara dapur dan kamarnya. Gema berusaha menguping.
“Iya,”
“Ampun. Jauh banget ke BSD,”
“Si Igor ini suka naik motor gede. Suka travelling ceritanya. Terus, pacarnya itu CEO PR di hotel yang ada di Sudirman,”
“Oh, apa nggak marah Pak Radhit, anaknya kumpul kebo dengan perempuan,”
“Yah, mau gimana lagi. Igor itu kata Pak Radhit sudah sering dimarahi, dikucilin, nggak kapok-kapok. Penyakit, susah sembuhnya,”
“Ah. Ada-ada aja anak orang kaya,”
“Tapi emang si Igor ini kelebihannya di kerjaan. Apa aja yang dikerjain sama dia pasti maju. Ini baru kerja beberapa hari sudah banyak ide-ide buat kesejahteraan para staff tanpa harus mengurangi profit perusahaan. Yah, kayak Pak Radhit, kalo sudah mau donasi, tinggal buang-buang aja duit. Nggak pake mikir,”
“Sayang ya, Pa, hidup kok kayak disia-siain, eman-eman,”
“Kalo Papa liat emang orangnya nggak mau ribet. Yang penting dia senang-senang. Pak Radhit udah nyerah dengan tingkah laku nih anak. Anak satu-satunya lagi. Udah, yang penting kita mikirin gimana nanti lancar acara pernikahan Gema dan Hanif,”
Gema mengerlingkan matanya ketika mendengar kalimat terakhir papanya.
***
Setelah menutup pintu kamarnya dengan amat perlahan, Gema langsung membuka laci meja belajarnya, mencari kunci kartu apartemen Pak Radhit yang pernah Pak Radhit berikan kepadanya.
Yes! Gema berseru girang. Dia bisa tidur nyenyak malam ini.
Bersambung