Hari ini Jay tidak masuk kuliah. Dia sekeluarga akan berburu untuk persediaan makanan selama sebulan. Berbeda dengan keluarga Kim yang memiliki hutan pribadi di belakang rumah megah mereka dan hanya tinggal mengambil persediaan dari sana, keluarga Jung lebih suka berburu. Bagi mereka, berburu adalah olahraga favorit mereka. Kegiatan tersebut juga mampu menghilangkan stress yang melanda.
Tempat favorit perburuan seluruh keluarga vampir di Korea adalah Gunung Baekdu. Di sana banyak spesies hewan yang memiliki aroma darah yang menggiurkan. Selain itu, bagi Jay hutan ini memiliki banyak kenangan indah sekaligus menyakitkan bersama mendiang kekasihnya dulu, Park Haeryung. Di sini pula dia bertemu dengan reinkarnasi Haeryung yang merupakan keturunan gumiho.
Saat itu, Jay sedang asyik berburu babi hutan. Sebenarnya dia bisa saja langsung menerkam babi itu dan menyedot darahnya. Namun, Jay lebih suka bermain-main dulu dengan mangsanya. Dia mengamati babi tersebut dari jauh kemudian bermain petak umpet dengannya. Hari itu menjadi hari yang cukup sial bagi Jay karena dia tidak sadar telah mengejar babi sampai ke perbatasan daerah vampir dan gumiho.
Sedikit informasi, Gunung Baekdu memang dijaga oleh roh gumiho dan para keturunannya. Sejak berabad-abad lalu, tepatnya setelah kedatangan bangsa vampir ke daratan Korea, terjadi pertarungan yang cukup sengit antara gumiho dan vampir yang berakhir seri. Akhirnya, sebuah perjanjian pun tercipta di mana mau tak mau gumiho membagi daerah kekuasaan mereka dengan vampir. Daerah perbatasan ini bagaikan DMZ yang membatasi Korea Selatan dan Korea Utara.
Bagi siapapun yang melanggar batas wilayah ini maka bangsa yang menjadi penguasanya berhak melenyapkan pihak tersebut. Namun, hari itu Jay beruntung karena yang menjaga perbatasan saat itu adalah gadis gumiho yang merupakan reinkarnasi Haeryung. Dia bermurah hati membiarkan Jay hidup karena saat itu Jay hanya hampir melanggar batas, tapi dia juga mengancam kalau tidak akan membiarkan Jay lain kali jika pemuda itu kembali teledor.
Saat itu Jay tidak banyak berkutik karena selain dia memang salah, dia juga terpaku oleh kemiripan gadis itu dengan Haeryung. Sayangnya, hal ini juga membuatnya lengah dan tidak sempat menanyakan nama si gadis gumiho. Itulah yang mendasari Jay menelusuri hutan sampai ke perbatasan untuk bertemu kembali dengannya. Terdengar gila memang, tapi Jay bertekad harus tahu namanya. Ya, hanya nama. Tidak boleh lebih.
Jay sudah sampai di perbatasan daerah vampir dan serigala. Pemuda itu sengaja memisahkan diri dari ayah, ibu, dan kakaknya, Chrysie agar mereka tidak curiga dengan keberadaannya di tempat yang cukup terlarang ini. Hasrat berburunya dikalahkan oleh hasrat ingin bertemu kembali dengan si gadis gumiho.
Srek! Srek!
Di tengah pencarian dan penantian terhadap sosok cantik keturunan gumiho tersebut, Jay mendengar suara pergerakan di sekitar semak-semak. Entah itu makhluk apa, Jay belum dapat memastikan. Namun, perlahan dia mencium aroma yang sudah dikenalinya. Aroma yang membuatnya tersenyum lebar.
Seekor rubah bermata keemasan muncul dari semak-semak. Perlahan makhluk itu mengubah bentuknya menjadi seorang gadis cantik. Ya, sosok itulah yang Jay tunggu sejak tadi. Si gadis gumiho.
“Wah, kau ke sini lagi rupanya?” Suara feminin itu pun mengalun. Gadis berambut pirang panjang itu bersedekap sambil memicing menatap Jay. “Kau tidak sedang melanggar perbatasan lagi, bukan?”
Jay terkekeh dan menggeleng. “Jangan salah sangka dulu. Aku tidak melanggar batas wilayah kok. Aku memang sedang berdiri di sini saja.” Menunggumu lebih tepatnya, Jay menambahkan dalam hati.
Si gadis masih setia memicing saat kembali bertanya, “Dan untuk apa kau berdiri di situ? Kau tidak sedang menungguku, kan?”
“Memang iya.”
Jawaban Jay yang blak-blakan langsung menuai keterkejutan sang lawan bicara. Tatapannya pun semakin terlihat curiga.
Jay buru-buru mengklarifikasi, “Jangan salah sangka dulu. Aku ke sini memang mencari dan menunggumu, tapi tenang saja tujuanku baik kok. Aku hanya ingin … membalas kebaikanmu.” Jay menggigit bagian dalam pipinya usai mengatakan hal tersebut. Entah kenapa dia menjadi gugup sekarang. Andai dia masih manusia biasa, mungkin jantungnya sudah berdebar tak karuan saat ini.
Kali ini gadis di hadapannya tampak menaikkan alis, seolah sedang menilai. Dia pun memerhatikan penampilan Jay dari ujung kepala hingga kaki. Sikapnya ini membuat Jay semakin gugup.
“Memang kau ingin membalas kebaikanku dengan apa?” Akhirnya sang gadis pun membuka mulutnya untuk bertanya. Dia kelihatan tertarik sekarang, terlihat dari caranya menatap Jay penuh minat.
Jay mengangkat bahu. “Aku akan melakukan apa pun yang kau minta—asal masih yang wajar-wajar saja.”
Kalimat terakhir Jay membuat gadis itu terkekeh. “Baru kali ini aku bertemu dengan vampir sepertimu. Padahal bangsa kita bermusuhan, tapi kau justru datang dan ingin membalas kebaikanku.”
“Aku juga baru kali ini bertemu gumiho yang baik hati seperti dirimu. Kalau itu bukan kau, mungkin aku sudah lenyap hari itu. Itulah mengapa aku ingin membalas kebaikan hatimu. Bagaimanapun, aku pernah menjadi manusia dan manusia mengenal apa itu balas budi.”
Gadis itu mengangguk-angguk. “Jadi, kau mengesampingkan jiwa vampirmu demi aku?”
Jay tampak sedikit ragu saat mengangguk dan menjawab, “Bisa dibilang seperti itu. Lagi pula, aku juga tidak suka berutang budi.”
Sang gadis terdiam dan menatap Jay intens. Begitu pula dengan Jay yang membalas tatapan sang lawan bicara.
“Kau dari Seoul, kan?” Gadis itu bertanya dan langsung diangguki oleh Jay. Senyumnya pun terkembang sambil melanjutkan, “Temui aku besok di kafe Starway jam 7 malam. Aku ingin kau menraktirku kopi.”
Jay menaikkan alisnya. “Itu saja?”
Si gadis gumiho mengangguk. “Kita bisa mengobrol setelah itu sebagai bonus.” Dia pun bersiap mengubah kembali wujudnya menjadi gumiho, tapi suara Jay menghentikannya.
“Eh, tapi siapa namamu? Kita belum ber—“
“Chaeyoung. Park Chaeyoung.” Dan gadis itu pun mengubah wujudnya menjadi gumiho lalu berlari masuk kembali ke dalam hutan.
Dan pada saat itulah Jay tersenyum dengan begitu lebar, sejenak melupakan fakta bahwa dia sudah menggali kuburannya sendiri dengan kebodohannya. Ya, kebodohan karena alih-alih menanyakan nama, dia justru menawarkan hal yang lebih pada gadis itu—Park Chaeyoung.
*****
Karena Jay tidak masuk kuliah, Nara pun berangkat ke kampus seorang diri menaiki Audi-nya. Hari ini penampilannya sedikit berbeda karena dia kembali mewarnai rambutnya menjadi pink. Oh, Nara memang suka begitu. Dia hobi mengganti warna rambutnya tergantung mood dan kali ini sepertinya dia sedang berbunga-bunga.
Saat Nara tiba, rupanya keadaan kelas sudah cukup ramai. Dilihatnya Jihee sudah duduk di meja kebesaran mereka. Namun, raut gadis cantik itu tampak lesu dan tidak bersemangat sama sekali, padahal ini adalah kelas Hoon—kelas favoritnya.
“Ada apa dengan wajahmu itu?” tanya Nara sambil meletakkan p****t di samping Jihee yang duduk sambil membuka-buka diktatnya tanpa minat.
JIhee meliriknya sekilas. “Chaeri belum masuk juga.”
Mendengar jawaban sang sahabat, Nara pun mendengus. Sejatinya dia juga bertanya-tanya mengenai absennya Chaeri selama beberapa hari ini. Nara sudah mencoba mengendus aroma gadis itu, tapi hasilnya nihil. Ini pertama kalinya Chaeri absen selama berhari-hari, bahkan tanpa kabar sama sekali. Gadis itu tidak pernah begini sebelumnya. Itu sebabnya dia dan Jihee begitu khawatir.
“Mungkin dia memang sedang ingin sendiri, Ji. Nanti kalau dia sudah lebih baik atau membutuhkan teman bicara dia pasti akan menghubungi kita.” Nara mencoba menenangkan Jihee. Oh, sebenarnya dia payah sekali dalam hal seperti ini, tapi tidak ada salahnya mencoba, bukan? Dia tidak ingin mood buruk Jihee menular padanya.
Jihee menutup diktatnya dan menghempaskan tubuh ke sandaran kursi. Gadis berambut hitam itu mengembuskan napas panjang kemudian. “Semoga dia memang baik-baik saja, ya. Aku sungguh khawatir padanya.”
Nara mengusap bahu Jihee sambil mengangguk dan tersenyum tipis, mencoba menenangkan.
“Selamat pagi, semuanya!”
Sapaan khas itu sontak mencuri atensi Nara. Gadis vampir tersebut menoleh ke sumber suara dan tersenyum lebar. Dia pun mengeluarkan tumpukan kertas dari dalam tasnya kemudian bangkit dari kursi, berniat menghampiri meja dosen. Kertas-kertas itu adalah kuis mahasiswa Hoon yang mengambil mata kuliah lain. Sebagai grader, Nara tentu mendapat tugas untuk memeriksanya.
Saat Nara mendekat, Hoon tampak memerhatikannya dengan raut yang tampak sedikit kaget. Nara menebak kalau itu karena warna rambutnya.
“Kau mengganti warna rambutmu?” tanya Hoon lirih dengan nada yang sedikit menggoda.
Nara tersenyum menanggapi. “Ya. Saya ingin ganti suasana saja, Prof.”
Hoon mengangguk dan kembali bertanya, “Jadi, warna rambutmu menandakan suasana hatimu?”
“Maybe yes, maybe no.” Nara tersenyum miring di ujung kalimatnya. “Omong-omong, ini adalah kuis yang Profesor minta saya untuk periksa. Hasilnya cukup memuaskan untuk materi sejauh itu.”
Hoon terkesiap dan mengangguk-angguk. Sambil tersenyum dia katakan, “Terima kasih, Kim Nara. Kalau begitu, kau boleh kembali ke kursimu.”
Nara pun mengangguk singkat dan kembali ke kursinya dengan senyum manis terkembang di wajahnya. Sikapnya ini membuat Jihee memicing menatapnya.
“Apa-apaan itu?” tanya Jihee penuh selidik. Nara menatapnya bertanya-tanya, berlagak seolah tak paham dengan maksud pertanyaan sang sahabat, padahal dia tahu betul apa artinya.
Jihee berdecak gemas. “Kau dan Prof. Kang. Kalian sedang apa tadi? Flirting?” Yang ditanggapi Nara dengan kekehan tanpa suara. Jihee merengut. “Jangan bilang targetmu selanjutnya adalah dia?”
Kali ini Nara menanggapi Jihee dengan mengangkat bahu tak acuh. Jihee sudah hampir melancarkan protes sebelum akhirnya Nara berujar, “Sudahlah, daripada membicarakan itu, kita dengarkan saja materinya. Kau tidak mau mengulang tahun depan, bukan?”
Yang mau tak mau membuat Jihee terpaksa bungkam. Gadis itu pun kembali memusatkan atensi ke depan, di mana Hoon sedang menjelaskan materi kuliah pada pertemuan kali ini.
Nara melakukan hal yang sama. Dia mulai memperhatikan materi Hoon sambil tersenyum begitu lebar dan tatapannya tampak memuja sosok tampan di depan sana.
*****
Kelas pun berakhir. Jihee yang mengambil mata kuliah berbeda dengan Nara pun buru-buru pergi ke kelas selanjutnya, sedangkan Nara yang baru ada kelas satu jam lagi sengaja berlama-lama membereskan bukunya karena ingin bicara dengan Hoon setelah yang lain pergi.
Sepertinya Hoon dapat menebak isi pikiran Nara karena pria itu juga terlihat mengulur-ulur waktunya di kelas. Dia bahkan tersenyum hangat saat Nara terlihat mendekat.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” begitulah kata Hoon saat Nara hendak membuka mulutnya untuk berbasa-basi. Mau tak mau, si Gadis Kim pun mengangguk sebagai respons.
“Tanyakan saja, Prof.”
“Park Chaeri. Kau teman dekatnya, bukan? Kenapa akhir-akhir dia tidak masuk kelas? Dia bahkan tidak mengumpulkan tugas minggu lalu. Apa terjadi sesuatu?” Hoon tampak penasaran sekaligus khawatir. Hal ini membuat Nara yang awalnya bersikap santai pun terkesiap.
“Oh, untuk itu saya juga tidak tahu-menahu, Prof. Saya dan Jihee masih mencari tahu. Kami juga sangat mengkhawatirkan dia.”
Hoon mengangguk mengerti. “Semoga dia tidak apa-apa, ya.”
Nara hanya bisa mengangguk dan tersenyum sebagai respons. Seharusnya dia merasa cemburu karena Hoon mengkhawatirkan Chaeri seperti saat lelaki itu menolong Nara tempo hari, tapi entah kenapa hal tersebut tidak dirasakan olehnya. Nara justru dibuat kagum oleh sikap Hoon yang begitu memedulikan orang-orang di sekitarnya.
“Oh ya,” Hoon tampak terkesiap usai mengingat sesuatu. “Pakaianmu sudah kering dan bisa diambil. Tadinya aku ingin membawakannya, tapi kurasa tidak akan etis jika aku melakukan itu di kampus. Aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman. Jadi ….”
Nara yang mengerti lekas mengangguk. “Saya akan mengambilnya nanti sepulang kuliah.”
Jawaban Nara membuat Hoon tersenyum tipis dan mengangguk. “In case aku belum pulang nanti saat kau datang ke flat, pakaianmu sudah kutitipkan pada Ilana. Jadi, kau bisa langsung ke unitnya saja.”
“Baik, Prof.”
“Kalau begitu, aku ke kelas selanjutnya dulu. Sampai bertemu lagi, Kim Nara.”
Nara mengangguk sopan sebagai bentuk hormatnya, tapi begitu Hoon sudah tidak berada dalam jangkauan mata, dia pun tersenyum lebar. Sungguh, Nara begitu senang karena hubungannya dan Hoon membaik sekarang. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lebih keras lagi agar berhasil menaklukkan si Pria Kang seutuhnya.