11. Rumitnya perbedaan

1997 Kata
Bukan kita yang tak bisa bersatu namun jarak kita terlalu jauh. *** Hampir pukul dua belas tengah malam Elang baru sampai di rumah setelah seharian menemani Ibunya. Kini tampilan Elang sudah acak-acakan, cowok itu masih mengenakan seragam sekolah yang berantakan. Setelah memasukkan motor ke dalam garasi, Elang langsung berjalan membuka pintu yang tak terkunci, sesekali Elang mengacak rambutnya, menatap sekeliling yang begitu sepi. Di liriknya ruang kerja Mahen yang masih tertutup rapat yang artinya pria itu belum pulang. Senyuman miring lalu terukir di wajah Elang. Pasti Mahen sedang berada di apartemen dengan wanita-wanita bayarannya. Elang yang sudah terlalu muak dengan kehidupannya sekarang rasanya ingin pergi saja dari rumah, ingin melepaskan diri dari belenggu Mahen yang menjeratnya. Andai semua itu mudah, pasti sudah sejak lama Elang pindah dan menjauh dari rumah ini. Membangun kehidupan baru dengan Ibunya, hanya berdua. Ah tidak, Elang menggeleng, rasanya tidak untuk sekarang karena sekarang Elang masih sangat membutuhkan Mahen, terutama uangnya. "Baru pulang lo jam segini?" Suara itu seketika membuat Elang memutar kepalanya. Dilihatnya Aldove yang berjalan menuruni anak tangga menghampirinya. "Kalau gue pulang jam segini urusannya sama lo apa?" tanya Elang nyolot. "Dari mana aja?" Elang lantas tersenyum miring. "Lo nggak perlu tau," jawabnya kemudian. Saat Elang akan berjalan ke kamar, Aldove dengan cepat menahan lengannya membuat langkah Elang terhenti. Dengan kasar ia menepis tangan Aldove. Cowok dengan baju santai itu kemudian maju beberapa langkah menepis jarak antara dirinya dengan Elang. "Asal lo tau, gara-gara lo minta uang sama Ayah dia jadi nggak kasih jatah ke gue! Maksud lo minta uang segitu banyak buat apa ha?" bentak Aldove marah. "Sekali lagi gue bilang ini semua bukan urusan lo!" balas Elang dengan penuh penekanan. "Urusan lo urusan gue juga, Lang! Gue Abang lo!" "Lo emang Abang gue Al, tapi dulu sebelum lo lebih belain Mahen untuk bebas selingkuh!" ucap terdengar cukup memilukan. "Apa yang ada di otak lo waktu itu ha? Apa lo nggak mikirin Ibu? Dia sekarang sakit Al, sakit hati dan juga mental! Lo juga nggak ada pernah lihat dia. Sekarang giliran sama duit aja lo sebut-sebut saudara, dari dulu ke mana aja gue tanya?" Aldove memalingkan mukanya mencari objek lain sambil mengusap wajahnya kasar. "Soal itu gue minta maaf," lirihnya. "Gue tau gue salah, waktu itu gue marah sama Ibu karena dia lebih sayang sama lo dibanding gue. Gue pikir dengan gue nyakitin Ibu rasa iri gue sama lo bakal ilang, ternyata enggak. Bahkan sekarang Ayah juga lebih royal sama lo," kata Aldove. Aldove terkekeh pelan setelah mengatakan semua itu. "Bahkan sekarang Ayah lebih percaya sama lo buat ngurus perusahaannya dibanding gue." "Gue iri sama lo Lang, gue iri kenapa semua lebih pilih lo ketimbang gue!" Elang sukses dibuat terdiam atas pernyataan Aldove. Jadi selama ini cowok itu iri dengannya? Elang tak pernah berpikir hingga ke sana, lagi pula kenapa Aldove harus iri? Kenyataannya hidup yang Elang rasakan tak semanis yang Aldove lihat! Semua terasa semakin rumit. "Lo salah kalau mikir kayak gitu," balas Elang dengan suara bernada datar. "Ibu nggak kayak yang lo pikir, dia sayang sama kita, Ibu juga sering nanyain lo, dan itu sebabnya kenapa gue marah kalau lo nggak mau datang temuin dia." "Soal Ayah, gue nggak pernah minta Al buat jadi penerus perusahaan. Kalau lo mau lo bisa gantiin poisi gue, karena dari dulu sampai sekarang bisnis bukan passion hidup gue dan lo tau itu kan?" Aldove terdiam, pun dengan Elang. Hanya suara jam dinding yang mendominasi malam itu. Cukup lama hingga suara helaan napas panjang dari Elang berhasil membuat Aldove menatap adiknya itu. "Al, gini deh, kalau emang rasa iri yang buat kita jauh, sekarang lo bebas minta apa pun dari gue. Apa pun! Asal lo mau ikut gue buat Ayah stop mainin perempuan, agar Ayah balik lagi buat Ibu, lo mau kan Al?" "Lo yakin bakal kasih?" Aldove menatap Elang dengan penuh harapan. Elang langsung mengangguk cepat. "Lo mau apa?" "Gue mau Aina." *** Tok! Tok! Tok! "SEBENTAR!" Sahutan dari dalam berhasil membuat tangan Naufal yang kembali akan mengetuk pintu tertahan di udara. Baru ketika mendengar kunci diputar dari dalam Naufal langsung merapikan rambutnya. Tak lama pintu terbuka dan keluar lah wanita paruh baya mengenakan daster motif bunga dengan kain lap kotak-kotak menggantung di bahunya. Wanita itu tersenyum melihat kedatangan Naufal. "Den Naufal cari non Ataya, ya?" tanya wanita tersebut yang Nufal ketahui adalah asisten rumah tangga rumah ini, namanya Bi Wiwi. "Iya Bi, Ataya ada?" "Aduh masih belum pulang den, mungkin sebentar lagi." Mendengar itu sontak alis Naufal terangkat sebelah. "Belum pulang? Emang Ataya ke mana, Bi?" tanyanya. Bi Wiwi lantas tersenyum penuh arti kepada Nufal. "Aden ini gimana, kan sekarang hari minggu, non Ataya sama keluarganya masih ke gereja aden." "Astagfirullah!" Naufal menepuk jidat lalu terkekeh. "Iya bi saya lupa, maaf ya bi." "Yaudah kalau gitu masuk dulu sini den, bibi bikinin minum," kata Bi Wiwi. "Eh enggak usah repot-repot saya nunggu di sini aja, lagian cuma sebentar kok," balas Naufal dengan cepat. "Yakin?" "Iya bi, di sini aja." "Yaudah kalau gitu bibi lanjut kerja di dalam dulu ya? Kalau perlu apa-apa panggil aja." Naufal lalu mengangguk. "Siap bi!" katanya. Bi Wiwi hanya membalas dengan acungan jempol. Setelah Bi Wiwi tak lagi terlihat. Naufal lalu mengambil duduk di salah satu kursi yang ada di dekatnya. Naufal melirik paper bag yang ia bawa. Senyum kecut kini Naufal perlihatkan. Bagaimana dirinya bisa lupa jika sekarang hari minggu. Cowok itu kemudian tertawa singkat, menertawai kebodohannya sendiri. "Perbedaan yang begitu kentara," gumamnya. Saat tengah asih menikmati keindahan taman di depan matanya, Naufal tiba-tiba saja dikejutkan dengan sebuah mobil yang berjalan masuk ke dalam halaman luas rumah Ataya. Mobil itu berhenti di sebelah motor Naufal, setelahnya keluar seorang cewek berparas cantik, dengan kulit putih yang begitu indah saat dipadukan dengan dress putih yang juga dikenakannya. Cewek itu Adalah Ataya, cewek yang sempat mengisi hari-hari Naufal meski tak berlangsung lama. Ataya sendiri bingung atas kehadiran Naufal di rumahnya. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Ataya. Di belakang cewek itu ada kedua orang tuanya yang menggunakan outfit senada dengan dominan warna putih. "Siang om, tante," sapa Naufal dengan sopan kepada kedua orangtua Ataya. "Siang Naufal, om sama tante ke dalam dulu ya?" Naufal hanya mengangguk sembari tersenyum. Setelah itu Ataya langsung menarik tangan Naufal untuk menjauh dari teras rumahnya. Mereka sekarang berdiri di samping motor Naufal. "Fal, kenapa sih kamu ke sini lagi?" Ataya mengulang pertanyaan yang sama. Naufal terhenyak dengan nada bicara Ataya yang sedikit mengandung unsur bentakan. Namun Naufal tetap tersenyum sambil mengangkat paper bag yang dibawanya. "Aku mau kasih ini, kenapa malah kamu kembalikan?" Ataya membuang mukanya sebentar sebelum kembali menatap wajah Naufal. "Please jangan kayak gini terus, Fal! Aku nggak mau dianggap masih ngasih harapan sama kamu!" "Cukup Fal, kita udah nggak bisa kayak dulu lagi, jangan nyiksa aku kayak gini, Fal!" racau Ataya dengan suara tertahan. Melihat itu Naufal langsung maju ingin memeluk Ataya seperti yang sering ia lakukan dulu namun Ataya menghindar membuat kedua tangan Naufal hanya memeluk ruang hampa sementara Ataya menggeleng dari tempatnya sekarang berdiri. "Ataya," panggil Naufal. "Pergi Fal," ucap Ataya. "Aku mau kita balik lagi Ta, aku sayang sama kamu, aku nggak bisa jauh-juauhan terus sama kamu. Kembali ya, Ta?" kata Naufal dengan mata sayu menatap Ataya. Lagi, Ataya menggeleng. "Nggak Fal. Aku juga sayang sama kamu tapi apa yang mau kita lakukan setelah balikan? Kita nggak bisa melawan restu Tuhan, Fal. Jarak kita terlalu besar, jarak kita terlalu dalam, kita nggak akan bisa bersatu," balas Ataya sungguh-sungguh karena itulah kenyataan terbesar yang harus mereka hadapi. "Tapi kita masih bisa hadapi sama-sama Ta, kita bisa cari jalan keluarnya bareng nanti." Naufal tetap kekeuh ingin balikan dengan Ataya meski perbedaan mereka jelas terlihat di depan mata. "Aku nggak bisa, aku nggak sanggup. Kita jalani ini masing-masing, kamu dengan keyakinan kamu dan aku dengan keyakinan aku. Mulai sekarang stop jangan temui aku lagi, jangan menaruh harapan lagi, semuanya udah selesai Fal, kita usai." Ataya menarik nafas panjang, berusaha sebisa mungkin agar tak mengeluarkan air matanya yang sudah menggenang di kelopak mata. Ataya tau ini begitu berat, tak hanya untuk Naufal namun juga untuknya. Bukan hanya Naufal yang masih sayang, Ataya juga demikian. Ataya juga ingin kembali namun Ataya cukup tau batasan untuk tak melangkah lebih jauh agar tak semakin merasakan sakit. "Mending sekarang kamu pulang, Fal," ujar Ataya. "Aku mau sama kamu, Ta, apa aku salah?" tanya Naufal. Apa cowok ini tak mengerti juga? Ataya sampai memalingkan muka enggan terlihat lemah di hadapan mantan kekasihnya itu. "Pergi, lupain aku!" bentak Ataya kemudian. "Di luar sana masih banyak cewek yang lebih dari aku. Masih banyak cewek yang seiman sama kamu, yang baik, yang bisa kamu ajak jalan bareng tentunya di jalan yang sama." "Tapi aku cuma mau kamu!" "Fal! AKU BILANG ENGGAK YA ENGGAK!" Bendungan air mata Ataya pecah. Tangis yang ia tahan keluar begitu saja, aliran kecil akhirnya terlihat di kedua sisi wajah Ataya. "Jangan nangis Ataya," lirih Naufal. Saat Naufal akan mendekat, Ataya kembali mundur sambil menggeleng. Ataya juga menyeka kasar air matanya. "Please pulang sekarang, sebentar lagi zuhur, kalau kamu mau terus di sini kamu mau sholat di mana? Aku punya anjing takutnya malah najis buat kamu. Jadi sekarang cepet pulang." Naufal lalu menghela nafas berat. Cowok itu akhirnya mengangguk. "Tapi terima ini ya?" katanya mengulurkan paper bag dia bawa. Ataya meraih paper bag tersebut dengan cepat. "Aku udah terima, sekarang pulang," balasnya terdengar begitu dingin. Sambil tersenyum kecut Naufal berjalan mundur beberapa langkah. "Assalammu'alaikum, aku pulang. Kamu jangan pernah ninggalin ibadah ya?" pesan Naufal. Ataya mengangguk. "Shalom, kamu juga jangan pernah telat lima waktunya. Aku ke dalam dulu, hati-hati di jalan." *** "Good morning, masa depan." Suara centil itu, siapa lagi pemiliknya kalau bukan Aina Agista. Cewek cantik yang sudah stay di parkiran sejak tiga puluh menit yang lalu hanya untuk menunggu cowok yang katanya masa depan itu. Sungguh berbanding terbalik dengan Aina yang tampak begitu semangat, Elang justru sebaliknya. Dengan sangat ogah-ogahan bercampur malas Elang turun dari atas motornya. Merasa menyesal telah memiliki parkir di tempat ini. Cowok itu lalu melepas helmnya membuat rambut rapinya sedikit berantakan. Melihat hal itu Aina lantas mendekat, baru saja ingin membantu, tangannya telah ditepis terlebih dahulu oleh Elang. "Mau apa?" tanya Elang membentak. Sontak saja Aina menggeleng dan melangkah mundur. "Nggak, tadi cuma refleks." Elang tak membalas, dia langsung melengos pergi begitu saja tanpa menghiraukan suara cempreng Aina yang terus memanggilnya. Elang seakan menutup telinga untuk cewek itu. Elang terus berjalan menuju kelas sambil membiarkan Aina meneriaki namanya di belakang sana. "HUHHH! ELANG b***k YA? DIBILANG TUNGGU JUGA!" Menjadi perhatian semua murid lainnya tak sedikit pun menjadi masalah bagi Aina. Peduli apa Aina dengan orang lain, mengurusi hidup orang lain hanya akan menambah beban pikiran kalau menurut Aina. "ASTAGA BAPAK ELANG BASKARA MAHENDRA! TUNGGUIN DONG SAYANG! SENENG BANGET DEH MAIN KEJAR-KEJARAN KEK FILM INDIA AJA!" Aina terus mengikuti Elang hingga saat melewati depan kelasnya sendiri, Aina langsung berhenti mendadak akibat tarikan seseorang. Kelakuan siapa lagi kalau bukan Salsa. Salsa menarik baju bagian belakang Aina membuat temannya itu jalan di tempat. "Mau ke mana?" tanya Salsa kepada Aina. "Aduhhh Salsa! Ih kamu itu menghambat banget deh!" geram Aina. "Menghambat gigi lo menghambat!" sentak Salsa sambil melepaskan cekalannya secara kasar. Gadis itu lalu memberi tatapan tajam kepada Aina yang sudah merengut kesal di hadapannya. "Ck, lo ah nggak asik! Seneng banget sih lo rusuhin gue sama Elang!" omel Aina. "Eh, bukannya kemarin lo baru marah sama tuh cowok, kenapa sekarang udah balik gatel lagi hm?" tanya Salsa. Aina lantas memutar kedua bola matanya secara bersamaan. "Ampun deh Sal! Lo kan tau sendiri mana bisa gue marah lama-lama sama Elang? Yang ada nih ya, gue marah gue juga yang tersiksa!" Salsa sampai geleng-geleng tak percaya dengan Aina. "Bener-bener ya lo! Masuk kelas sekarang!" "Tapi Elang?" "Masih ada jam istirahat! Sekarang masuk dan buruan piket!" "Sal ..." rengek Aina memelas. "Masuk!" "Ck, iya, iya! Huh! Dasar ratu bucin nggak bisa banget biarin temennya berjuang demi cinta!" gerutu Aina sambil berjalan masuk ke dalam kelas. "GUE DENGER NA!" teriak Salsa dari ambang pintu sambil berkacak pinggang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN