"ELANGGG GANTENG! ELANG BAIKK! NENGOK DONG BENTAR KE BELAKANG, PACARNYA KETINGGALAN NIH!"
Elang tetap berjalan dengan tenang tanpa mau repot untuk menuruti permintaan cewek yang berteriak cempreng di belakangnya itu. Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana serta mulut yang senantiasa mengunyah permen karet oh ayolah cewek mana yang tidak tertarik mendekat?
"ELANNGGG ASTAGA PERGI MULU NANTI KALAU GUE YANG PERGI LO NYARIIN!"
"Elang oh Elang kenapa kau tak mau berhenti. Ayolahhh tengok cewek cantik di belakangmu ini. Percayalah nanti engkau akan jatuh cinta. Huh! Masih nggak mau ya?"
Aina lalu melambatkan langkahnya sambil bergumam memikirkan apa yang harus dia lakukan agar Elang mau berbalik badan dan menghampirinya. Pura-pura pingsan? Ah itu udah mainstream. Terjun dari sini ke lantai bawah? Gila aja itu mah terlalu anti mainstream! Lalu apa?
"Ayooo berpikir!" geram Aina berpikir keras hingga secara tiba-tiba sebuah ide brilian muncul di kepalanya. Kalau sedang berada dalam film kartun pasti di atas kepala Aina sudah ada bohlam lampu yang menyala terang. "Aha! Akhirnya ide gue berguna juga!"
Kini sekuat tenaga Aina menutup mulutnya tak mau ada sedikit suara pun yang keluar. Semua orang yang ada di koridor itu semakin menatap Aina aneh. Bagaimana tidak, Aina berlari mendekati Elang dan berjalan tanpa suara di belakangnya. Membuntuti Elang secara diam.
Sepertinya ide yang Aina sebut brilian tadi berhasil. Elang berhasil merasakan keanehan. Ke mana perginya suara memekakkan telinga tadi? Bukannya menoleh ke belakang untuk memastikan, Elang malah tersenyum tipis bersorak dalam hati, bersyukur karena Aina, mungkin tak lagi mengikutinya. Namun kenapa semua orang seperti berusaha menahan tawa? Dikira Elang ini badut?
Di balik keheranan Elang, di sana ada kegilaan Aina. Lihatlah Aina yang dengan berani meledek Elang dari belakang. Jari-jari di kedua tangannya dia angkat tinggi-tinggi membentuk peace lalu dia dekatkan ke kepala Elang, jika dilihat dari depan Elang seperti mempunyai dua tanduk, atau empat?
Tak berhenti sampai di situ keusilan Aina, cewek yang merasa geram karena Elang begitu cuek juga dengan kurang ajarnya berani menoel telinga Elang, tepat saat Elang berdecak sedikit berbalik badan Aina langsung dengan cepat pindah kembali di belakang Elang. Sampai sini Elang sadar jika Aina tak akan pernah pergi darinya. Tatapan Elang menajam. Cowok itu menarik nafasnya dalam dengan kasar hingga terdengar suara. Sementara di belakang sana Aina sudah waspada sendiri. Takut.
"Keluar lo sekarang!" suruh Elang dengan membentak. Dia tau kalau Aina masih ada di sekitarnya.
"Gue hitung sampai tiga ya?"
Aina semakin kuat mengigit jemarinya, bagaimana kalau Elang menghukumnya? Bagaimana kalau Elang semakin membencinya? Astaga kenapa ide brilian Aina sama sekali tak membantu, yang ada malah semakin memperburuk. Ayolah harus apa Aina sekarang?
"Satu." Elang mulai berhitung sesekali melirik ke sekitar mencari sosok Aina.
"Dua."
Please jangan langsung ke dua! Lompat ke nomor sepuluh dulu dong! Aina berteriak histeris di dalam hatinya. Matanya pun sedikit tertutup takut.
"Aina? Keluar!" Suara Elang naik satu oktaf.
"Gue nggak lagi ajak lo main petak umpet ya?" katanya dengan begitu dingin.
"Nggak mau keluar? Oke, ti—" Elang dengan sengaja menggantung kata tiganya, namun sampai di sini Aina tak juga muncul. Apa cewek itu telah benar-benar pergi? Rasanya tidak, Elang masih merasakan jelas kehadirannya.
"Tig—"
"AH IYA IYA GUE KALAH!"
Akhirnya dengan ogah-ogahan Aina keluar dari persembunyiannya. Dengan wajah ditekuk lesu Aina berjalan dan sekarang posisi mereka adalah saling berhadapan, namun Aina menunduk tak berani menatap Elang, sementara Elang telah menatapnya tajam. Jika saja Aina ini sekecil kucing, mungkin sekarang Elang sudah mengangkat cewek itu dan membuangnya di pasar. Memang siapa yang mau dengan kucing nakal seperti Aina?
"Maaf Elang," lirih Aina.
Terdengar helaan nafas kasar dari Elang. Cowok itu juga mengusap wajahnya.
"Elang marah ya?" tanya Aina perlahan mengangkat pandangannya. Saat itu juga tatapan mereka bertemu namun hanya sesaat karena Elang dengan cepat memalingkan muka.
"Lo sih lagian gue panggil juga nggak nengok, giliran diisengin gini marah!" celoteh Aina.
"Lang, lo itu kenapa sih kalau sama gue jutek mulu? Marah-marah mulu, nggak capek apa kayak gitu terus?"
Masih tak mendapatkan jawaban. Elang masih anteng diem di tempatnya sambil sesekali melihat Aina membeo. Jika Aina juga melihatnya, Elang langsung membuang muka.
"Lang, kata orang itu jangan terlalu benci nanti kena karma dan bencinya bakal berubah menjadi cinta! Lo mau kejadian kayak gitu?" Lihat, bahkan untuk menatap saja enggan, sesakit itu rasanya jika menjadi Aina.
"Lo nggak mau ngomong tapi masih tetep di sini, seolah ngasih gue harapan kalau suatu saat nanti lo pasti akan nunggu gue, membuat langkah kita sejajar hingga ke pelaminan."
Masih mendapatkan respon yang sama, Aina yang bingung mau berkata apa lagi hanya bisa membuang napasnya keras. Cewek itu juga memutar kedua bola matanya jengah. Elang begitu menyebalkan. Apa tidak ada hati dan perasaan di dalam tubuhnya?
Elang yang melihat Aina tak lagi berbicara pun langsung menegakkan tubuhnya, menatap dalam cewek di hadapannya itu.
"Udah ngomelnya?" tanya Elang dingin.
Aina jelas tersentak, cepat-cepat dia melihat Elang tapi setelah tau tatapan Elang bagaimana, Aina segera berpaling dan meneguk ludahnya meski begitu susah. Demi apa pun Elang sangat menyeramkan.
"Na, gue nggak tau harus kasih tau lo dengan cara apa lagi, stop ngejar gue Na! Bukannya dapat malah lo nanti yang cape, lo yang bakalan sakit sendiri," ucap Elang.
"Gue sebagai cowok nggak suka dikejar, dan lo nggak seharusnya ngejar gue karena udah pasti gue nggak bakal pernah suka hal itu."
"Gue juga nggak suka sama cewek murahan yang rela jatuhin harga dirinya di depan cowok. Lo itu bodoh Na, diluar sana banyak yang berusaha jual harga diri dengan mahal, tapi di sini lo malah kasih dengan gratis seolah harga diri nggak lagi ada harganya di mata lo."
Aina benar-benar tercekat. Hatinya terasa begitu sakit setiap mendengar kalimat yang keluar dari mulut Elang untuknya. Rasanya seperti diremas kuat, sesak yang Aina rasakan, malu juga. Mata Aina mulai memanas. Kenapa Elang harus begitu jujur dalam mengutarakan perasaannya?
Elang yang sudah tak mengerti lagi harus berbuat apa, hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Setelah itu Elang langsung berbalik badan pergi meninggalkan Aina. Namun harus beberapa langkah, Elang harus kembali berhenti karena suara cewek itu.
"Apa salah Lang jika gue ingin memperjuangkan cinta? Apa salah jika gue berusaha menyalurkan rasa yang gue rasakan?"
"Lo nggak bisa paksa gue untuk berhenti mencintai seseorang Lang, lo nggak bisa atur perasaan gue."
Di depan sana Elang tersenyum miring bahkan terkekeh. Mereka semua yang melihat kejadian itu langsung mengangkat ponsel tinggi-tinggi, layaknya kameramen profesional, mereka menyuting perdebatan Aina sebagus mungkin agar terlihat enak saat di posting nanti.
"Lo tau apa yang salah?" tanya Elang dari depan sana tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.
"Cara lo memperjuangkan cinta itu yang salah. Gue emang nggak bisa paksa lo, tapi lo yang harus paksa diri lo sendiri agar sadar kalau cinta yang lo bilang itu hanya sebuah pemanis dalam kehidupan."
"Berhenti Na, berhenti buat gue menyakiti perasaan lo lebih dari ini. Gue cowok, dan gue lahir dari rahim seorang perempuan, gue emang nggak tau rasa sakitnya gimana, hanya saja gue berusaha untuk nggak membuat lo ngerasain sakit itu dua kali."
Puas mengatakan semua itu, Elang langsung kembali berjalan pergi. Masih membeku di tempatnya, Aina berusaha keras untuk mencerna tiap kata yang keluar dari mulut Elang. Membiarkan otaknya berpikir keras.
Elang! Kenapa mendapatkanmu harus sesulit ini? Kamu memang nyata tapi tak berasa, kamu seperti awan yang hanya bisa dilihat tanpa bisa diraih. Kamu itu angan yang sangat jauh untuk digapai.
Kenyataanya semakin tinggi seseorang terbang maka resiko sakit saat terjatuh juga semakin besar. Begitu juga dengan yang Aina rasakan, semakin tinggi dia menaruh harapan untuk Elang, semakin besar pula peluang sakit hati yang nanti Aina dapatkan.
Aina berusaha tersenyum di balik tangisnya. "Apa gue harus nyerah sekarang?" ungkapnya, tapi setelah itu dengan cepat Aina menggeleng. "Enggak! Ini masih terlalu cepat. Perjuangan lo masih panjang Aina! Ayo menyerah jangan semangat—ehh aduh kebalik! Ayo semangat jangan menyerah!" katanya berusaha menyemangamati diri sendiri. "Hubungan nggak akan berjalan jika nggak ada yang memulai dan mulai sekarang gue harus memulainya."
Sambil kembali berharap jika pihak satunya tak berusaha mengakhiri.
***
"Emang ya nih cewek nggak ada urat malu apa gimana sih? Duhhhh Aina kenapa b**o banget coba? Padahal dia cantik, baik, nggak kurang cowok yang mau sama dia, tapi kenapa dia malah cari cowok yang nggak suka sama dia? Emang ya cewek kalau bodoh udah sejak lahir sulit banget ilanginnya, heran gue!"
Devan yang melihatnya kekasihnya terus menggerutu karena sikap Aina hanya bisa tersenyum. Devan juga kaget ketika melihat ada sebuah video yang menyebar tentang Aina dan Elang yang tengah beradu argumen di koridor. Cowok itu yakin pasti video tersebut sudah bertengger manis di semua ponsel murid SMA Garuda.
"Elang juga! Ngapain sih bangun tembok tinggi-tinggi? Ck, mau lo lari sejauh apa pun tapi kalau jodoh lo emang sudah ada di Aina lo bisa apa Elang?! Ya ampun nggak habis pikir sama nih anak dua, yang satunya gencer banget buat mendekat yang satunya gencer banget buat menjauh agar nggak tersentuh."
Video yang Salsa tonton akhirnya selesai. Cewek itu kemudian meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja. Sekarang Salsa sedang berada di dalam kelas dengan Devan yang duduk di depannya. Sejak kembali dari kantin yang mereka lakukan hanyalah membicarakan Aina dengan segala tingkah ajaibnya seolah pembahasan tentang cewek itu tak pernah ada habisnya.
"Udahlah Sal, ngapain kamu repot ngurusin cinta orang. Mau gimana pun itu hak Aina buat suka sama siapa aja, dipaksa kayak apa pun kalau Aina ngerasa cocoknya sama Elang ya kita bisa apa?" kata Devan kepada Salsa.
Begitulah Salsa, terlalu khawatir dengan orang di sekitarnya. Perhatian Salsa terlalu berlebihan, kadang Salsa pernah terlalu memikirkan orang lain tanpa pernah memikirkan dirinya sendiri hingga membuatnya sakit. Devan membenci sikap Salsa yang seperti itu. Care boleh, tapi baik sewajarnya saja.
Salsa pun mengangguki perkataan Devan. Penat Salsa dengan Aina dan Elang, keduanya sama-sama batu!
***
"Ngaso bentar Bay, capek gue, engap!"
Bayu setuju dengan Naufal. Cowok itu lalu menyuruh teman-temannya yang lain untuk istirahat. Cukup lama mereka bermain hingga lupa waktu. Sejak setengah jam sebelum istirahat hingga tinggal beberapa menit istirahat selesai, Bayu dan Naufal sudah berada di lapangan basket untuk main sekaligus latihan melatih skil yang selama ini telah mereka pelajari.
Bayu berjalan mendekati Naufal yang telah terlebih dahulu duduk di tepi lapangan sambil membuka bajunya, membiarkan semua orang menikmati keindahan tubuh atletis Naufal.
"Niat banget buat cewek-cewek keliyengan," celetuk Bayu bukan tanpa Alasan. Karena gara-gara Naufal membuka bajunya semua cewek yang tak sengaja maupun yang sengaja lewat berteriak histeris.
Siapa memangnya yang tak tertarik dengan abs milik Naufal?
"Gue gerah Bay, rasanya mau pingsan!" kata Naufal dengan nafasnya yang sudah terengah-engah.
"Salah lo sendiri terlalu ngoyoh! Gue udah bilang dari awal, Pal, mainnya santui aja, eh lo malah mengerahkan semua tenaga kek mau lomba internasional aja!" omel Bayu.
"Ck, biasanya gue nggak gini kok."
"Yaa mungkin aja lo udah terlalu capek."
Naufal hanya mengangguk saja. "Gara-gara gue banyak pikiran kali ya? Tapi ngaruh nggak sih?" tanya Naufal.
Bayu mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Nggak tau gue, emang lo lagi mikirin apa dah?"
"Ataya," jawab Naufal pelan.
"Dia lagi? Pal, mau sekeras apa pun lo berusaha bertahan dan memperbaiki tetep aja nggak bakal bisa bersatu. Lo sama Ataya itu berbeda Nopal! Udalah move on!"
Naufal menghela nafasnya kasar. "Terlalu cinta malah bikin sakit ternyata."
"Itu lo tau! Udah ah kelas yok ngadem," ajak Bayu sambil berdiri.
Melihat Naufal yang tak bergerak membuat Bayu menatap cowok itu datar. "Ayoo Pal ah elah!"
"Bentar lah Bay, sumpah pala gue pusing banget njing! Lo mau gue pingsan di jalan?" balas Naufal.
Memang sih wajah cowok itu juga terlihat sangat pucat. Kasihan juga kalau dipaksa.
"Yaudah deh tunggu sini aja gue beliin lo minum," kaya Bayu.
Naufal pun tersenyum kepada cowok itu. "Gitu kek dari tadi, udah buruan sana sebelum gue mati."
"Hati-hati! Jaga tuh mulut jangan asal jeplak! Ada malaikat lewat diaminin mampus lo!"
"HAHA! Iye sorry posesip amat lo!"