Seorang pria mengulurkan tangan untuk menerima ponsel Lisa yang rusak. Mereka sudah berada di sebuah toko ponsel sekarang.
"Tunggu sebentar ya," ucap pria itu, ramah. Lisa membalas senyumnya, lalu duduk di kursi yang tersedia di depan meja kaca panjang toko itu.
Aisya duduk di sebelah papanya, tepatnya di bangku panjang dekat tembok. Sejak tadi gadis kecil itu memandangi punggung ibunya yang saat ini sedang berbicara dengan sales toko.
"Papa," sahut Aisya.
"Hm," jawab William, tetapi kedua mata pria itu tetap fokus pada ponsel di tangannya.
Aisya mengerucutkan bibir sebab papanya itu tak menoleh ke arahnya. "Papa."
"Iya, Aisya Sayang," jawab William sekali lagi. Namun tetap saja dia tak menoleh pada putrinya, apalagi pada istrinya yang tampak semakin asyik mengobrol dengan sales toko itu.
"Atas nama siapa?"
"Lisa."
"Oke, Lisa. Nama yang cantik, persis seperti orangnya." Pria itu menulis nama Lisa di nota, sedangkan Lisa bergeming curiga.
"Umur?"
Kini Lisa menautkan kedua alisnya, bingung, untuk apa sales itu menanyakan umurnya?
"Umur?"
"Tidak, aku hanya bercanda." Sales itu tertawa kecil.
"Oh, hehe …." Terpaksa Lisa menyunggingkan senyum.
"Boleh minta nomor teleponnya?" ucap sales itu lagi.
Untuk kedua kalinya kening Lisa berkerut. Sejak awal berinteraksi dengan pria itu, Lisa sudah melihat ada tatapan yang tidak biasa. Namun Lisa tidak mempermasalahkannya, tapi semakin ke sini, perilaku sales itu semakin ngentarain.
"Ponsel saya--"
"Tidak perlu diperbaiki ponselnya." Suara itu berasal dari pria yang saat ini sudah berdiri di samping Lisa. "Kau pilih saja ponsel yang baru," ucap William, entah sejak kapan dia mendengar obrolan mereka.
"Oh." Lisa terkejut. Dia sempat menatap William dan sales itu bergantian. Terlihat jelas aura rival di antara mereka.
"Mama." Aisya menarik-narik ujung baju Lisa agar wanita itu menoleh ke arahnya. "Yang ini bagus," ucapnya seraya menunjuk salah satu ponsel yang terpajang di meja kaca tatkala Lisa menoleh ke arahnya.
"Aisya suka yang ini?"
Gadis kecil itu mengangguk antusias untuk menjawab pertanyaan mamanya. Hal itu membuat Lisa segera meminta pria di depannya untuk mengambil ponsel itu.
"Boleh tolong ambilkan yang ini," pintanya.
Dengan hati-hati sales itu mengambilkan ponsel yang diminta Lisa. Sesekali dia melirik pria yang tetap berdiri di samping wanita itu, tampak sangat mengintimidasi. Dia masih tidak percaya jika pria itu adalah suami pelanggannya. Awalnya dia pikir Lisa datang sendirian.
"Sudah?" William bertanya pada istri dan anaknya yang tampak masih melihat-lihat ponsel di sana. Dia sudah tidak ingin berlama-lama lagi di tempat itu.
Lisa yang menyadari nada bicara dan tatapan William pun seakan mengerti apa yang dipikirkan pria itu, membuatnya tersenyum di dalam hati. Segera dia memutuskan untuk mengambil ponsel yang sudah dipilih Aisya. Jujur, sebenarnya Lisa masih ingin berlama-lama. Bukan sebab sales itu, melainkan sebab dia senang menyadari William cemburu atas dirinya.
"Sudah," jawab Lisa.
"Bungkus yang ini," ucap William, menyuruh sales itu untuk segera membungkus ponsel yang dipilih istrinya.
William mengeluarkan dompet dari saku jasnya, lalu memberikan cek pada sales di depan mereka. Setelah Lisa menerima plastik berisi kotak sekaligus ponsel, Aisya menuntun ibunya agar segera melangkah bersamanya. Karena toko ponsel itu letaknya di dalam mall, Aisya menuntun Lisa menuju ke tempat jualan es krim cone.
William menyusul mereka setelah menyelesaikan transaksi pembelian ponsel. Pria itu kembali mengeluarkan dompet untuk membayar es krim yang dibeli Aisya.
"Kau tidak ingin beli juga?" tanyanya pada Lisa.
"Aku?" Lisa menunjuk dirinya sendiri.
"Kalau tidak mau tidak apa."
"Mau!" sambar Lisa, membuat siapa saja yang mendengar menoleh ke arah mereka.
Wanita itu menutup mulutnya, malu. Bahkan William sendiri pun terkejut mendengar suara istrinya yang tiba-tiba itu.
"Pesan satu lagi," ucap William pada seseorang yang berada di dalam box berbentuk es krim di depan mereka.
Lisa menunduk dengan kedua pipi memerah. Wanita itu malu bukan main. Aisya yang berada di sebelahnya pun terkekeh sambil memakan es krimnya.
Setelah membelikan es krim untuk anak dan istrinya, William mengajak mereka pulang. Aisya berjalan di antara papa dan mamanya, kedua tangannya di tuntun oleh William di sebelah kanan dan Lisa di sebelah kiri, membuatnya riang, sungguh Aisya sangat senang.
Pun dengan Lisa, betapa bahagianya dia, padahal William hanya membelikannya satu cone es krim. Ternyata hari ini tak terlalu buruk. Ponsel Lisa yang rusak justru mendatangkan sedikit kenangan kecil untuk terus diingat.
***
Hari pun berganti. Harley teringat tentang kemurungan istrinya yang ingin sekali menjadi pengajar di Yayasan Insan Pelita. Belakangan ini, tak jarang dia melihat Maira yang hanya berguling-guling tak semangat.
Saat Harley belum membuka mata sebab tertidur lagi setelah salat subuh, dia kembali menemukan istrinya yang berbaring di sebelahnya. Namun meskipun dia menemukan istrinya itu berbaring, ajaibnya, semua urusan pekerjaan rumah sudah diselesaikan oleh Maira.
Istrinya itu selalu bangun subuh, memasak sarapan untuknya, membersihkan rumah yang sebenarnya sudah sangat bersih, lalu menyiram tanaman. Setiap pukul tujuh pagi semua pekerjaan rumah sudah Maira bereskan, sehingga mereka bisa sarapan bersama.
Kemudian, setelah sarapan, tak jarang Harley membuka laptop untuk mengurus pekerjaan. Pria itu memang tidak pernah berangkat pagi ke kantor, paling cepat Harley berangkat pukul sembilan. Dan ketika pria itu sedang berkutat dengan laptop, Maira hanya bisa berguling-guling tidak jelas di sebelahnya. Saat bosan mulai melanda, barulah Maira bergelayutan memeluk tubuh suaminya, menerobos masuk ke pangkuan pria itu, dan melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Harley.
Dia menyadari ke-gabut-an istrinya. Hal itu lah yang kini membuat Harley berada di Yayasan Insan Pelita, tepatnya di ruangan HRD. Pria itu hendak bertemu dengan wanita yang mengurus penerimaan tenaga didik baru. Bukan untuk menyogok, melainkan untuk memperingati wanita itu agar melakukan seleksi dengan adil.
Harley sudah berhasil mendapat informasi tentangnya, ternyata HRD di sana tak jarang menerima suap dari pada pendaftar.
"Aku selalu menghargai setiap peserta yang mendaftar di sini," ucap wanita yang diketahui bernama Cherry. Dia sedang berhadapan dengan Mr. Harley saat ini.
"Benarkah? Lalu ini?" Harley mengeluarkan sebuah formulir pendaftaran yang dibuat oleh Cherry, khusus untuk para pendaftar yang ingin berada satu langkah lebih jauh dari pendaftar yang lain.
Kedua mata wanita itu membulat sempurna. "Em, Tuan Harley." Cherry sedikit merendahkan suaranya seraya menegakkan tubuhnya.
"Apa tujuan Anda datang kemari? Apa ada yang bisa saya bantu? Apa pun itu akan saya lakukan," ucapnya dengan senyum yang sangat manis, seolah membujuk agar pria itu tidak memperpanjang masalah ini.
Harley melipat kedua tangannya di depan perut. "Cukup sederhana. Humaira Umayah."
Cherry bergeming beberapa saat sebelum akhirnya mengerti maksud Harley. "Oh, Maira Umayah, aku ingat, dia salah satu pendaftar di sini." Lagi-lagi Cherry melempar senyum manis pada pria itu.
Segera wanita itu membuka laci mejanya untuk mencari berkas milik Maira. Namun, setebal berkas yang bertumpuk di sana, Cherry tidak menemukan berkas milik Maira. Sampai akhirnya dia teringat.
"Mohon ditunggu sebentar," ucapnya sebelum bangkit dari kursi dan melipir menuju bak s*ampah.
Cherry mengambil sebuah map yang bertumpuk dengan map lainnya di kotak itu. Benar, dia telah membuang berkas-berkas yang tidak diperlukan milik para pendaftar yang tidak memberikan uang padanya. Wanita itu melempar senyum kaku tatkala kedua mata Harley mengintimidasi.
"A-aku akan membereskan ini. Tuan tidak perlu khawatir," ucap Cherry diiringi dengan tawa membujuk.
Harley sudah hendak bangkit dari tempat duduknya. Namun sebelum itu dia sempat memberi peringatan pada wanita itu.
"Aku kemari untuk memperingati mu, bukan untuk meminta bantuanmu. Kau harus lebih transparan dalam menerima tenaga didik karena kau tidak tahu betapa keras kerja mereka untuk bisa diterima. Aku tidak akan melaporkanmu kepada siapapun selagi kau tidak mengulangi perbuatan curang seperti ini."
Harley meninggalkan wanita itu setelah berhasil membuatnya terancam. Jika sudah begini, tentunya Cherry tidak ada pilihan lain selain menerima Maira, meski sebenarnya Harley tidak meminta secara langsung. Memang benar-benar boss yang pandai memanipulasi situasi dan kondisi tanpa harus membuat persetujuan.
***
Maira berada di kolam renang belakang rumahnya siang itu. Mendung menghiasi langit, tetapi wanita itu masih asyik latihan berenang. Sejak tadi dia tidak tahu harus melakukan apa, sampai akhirnya ide untuk belajar berenang bersarang di kepalanya.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu menahannya, bersamaan dengan itu kepala Maira masuk ke dalam air untuk berenang. Hampir saja dia berhasil. Namun, tubuhnya yang tiba-tiba ditarik membuatnya gagal.
"Hwaah, Mas Kean …!" protes Maira terkejut. Dia pikir orang lain yang telah menarik tubuhnya.
Pria itu tertawa. "Sedang apa kau sendirian di sini?"
"Belajar berenang."
"Kau bisa?"
"Tidak, maka dari itu aku belajar Mamasku tersayang," godanya.
Harley terkekeh. "Kemari, aku ajari."
***