7. Perjanjian William dan Lisa

1550 Kata
Sebuah mobil masuk ke halaman rumah Harley setelah Pak Johan membukakan pintu gerbang. William keluar dari dalam mobilnya, lalu bertanya pada Pak Johan. "Apa Mr. Harley ada di dalam?" "Ada, Pak," jawab pria paruh baya itu. Mendengar jawabannya, William lantas masuk. Suasana sepi dan sunyi menyapanya tatkala kedua kaki pria itu berdiri di ruang tamu. William melangkah lebih ke dalam, hingga akhirnya dia mendengar suara Aisya yang sangat asyik bermain air bersama Maira di halaman belakang. Pria itu bergegas untuk menghampiri, melewati sofa yang diduduki Harley, dan tiba di halaman belakang. Harley yang barusan menyadari seseorang melangkah pun menoleh ke belakang. Dilihatnya bayangan William yang sudah sampai di pintu kaca halaman belakang rumahnya. Pria itu memiringkan kepala tak habis pikir. "Dia tidak melihatku? Apa tubuhku sekecil itu." Harley menggelengkan kepala tak peduli. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. "Beruntung sebab dia sudah menjadi bagian keluarga. Kalau saja tamu asing sudah kupastikan wajahnya bonyok karena main masuk sembarangan ke rumah orang." Sementara itu di halaman belakang, Aisya melihat papanya yang saat ini sudah berdiri di pinggir kolam renang. "Papaa!" teriak gadis kecil itu, keriangan. Maira menoleh sebab mendengar Aisya memanggil papanya. Dia melihat William di sana. "Apa Mr. Harley sedang istirahat tidur siang?" Pria itu bertanya sebab sejak tadi dia tidak melihat Harley. Maira menautkan kedua alis, lalu memiringkan kepala untuk melihat ke ruang tengah melalui jendela-jendela kaca yang membatasi halaman dengan rumah. "Dia masih mengurus pekerjaannya di ruang tengah, kau tidak melihatnya di sana?" tanya Maira kembali. William menoleh untuk melihat ke arah yang Maira lihat. "Oh, aku tidak tau kalau dia duduk di sana," kata William yang baru menyadari keberadaan Harley. "Di mana Lisa?" tanya pria itu lagi. Dia juga belum melihat Lisa sejak menginjakkan kaki di rumah ini. Maira mendongak untuk melihat ke atas, ke balkon belakang kamar Lisa. "Sepertinya kondisi istrimu sedang tidak sehat, apa dia sakit?" tanya Maira. William sempat mendongak juga untuk melihat balkon kamar yang dilihat Maira. Dia tahu kalau itu adalah kamar Lisa, istrinya. "Sakit?" Pria itu membeo. "Lebih baik kau hampiri dia di kamarnya," suruh Maira. Untuk sejenak William bergeming. Kemudian dia melangkah menuju ke kamar Lisa, hendak melihat sendiri apa yang sedang terjadi pada istrinya. Sekalian mengingatkan wanita itu tentang kesepakatan yang sudah mereka buat. William pun sempat berpikir jika Lisa ingin menggugatnya. Di depan pintu kamar Lisa, William mengetuk pintu. Lisa yang sedang mengemasi beberapa pakaian untuk dibawa ke rumahnya pun menoleh. "Aisya sudah selesai berenangnya?" tanya wanita itu dengan sedikit berteriak. Dia mengira jika Aisya sudah ingin mengganti pakaian sebab kedinginan. Segera Lisa bergegas untuk membukakan pintu. Dia menunduk agar bisa langsung melihat Aisya yang ukuran tubuhnya lebih rendah darinya. Namun ketika membuka pintu, Lisa terkejut sebab orang di depan sana lebih besar dan lebih tinggi darinya. Spontan wanita itu menarik napas dari mulut, lalu menghela dalam. Mengapa suaminya bisa sampai di rumah kakaknya, dari mana William tau jika dia berada di sini, juga sejak kapan pria itu berdiri di depan pintu kamarnya, pikir Lisa. "Kapan Mas William sampai? Dari mana Mas William tau kalau aku ada di sini?" tanya wanita yang sudah berstatus istri itu. "Kakakmu yang memberitahu," jawab William. "Oh." Lisa terpaku beberapa saat. "Padahal aku tidak menyuruhnya untuk memberitahumu," ucap wanita itu sedikit khawatir. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau mau pergi ke sini?" Lisa menatap pria itu sebelum akhirnya kembali untuk mengemasi beberapa lembar pakaiannya. "Aisya yang meminta untuk main ke sini," jawabnya. William menghela samar. Kemudian pria itu melangkah masuk untuk membicarakan masalah ini pada Lisa. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanya William. "Memindahkan baju yang bisa aku pakai untuk di rumah," jawab Lisa tanpa mendongak ke arah pria itu. "Bukan tentang baju," kata William. "Kau tidak lupa dengan perjanjian kita bukan?" Gerakan tangan Lisa terhenti seketika. Meski memang dia tidak pernah lupa dengan hal itu, tetapi setiap kali pertanyaan tentang itu muncul dari bibir suaminya goresan luka terasa di dadanya. Lisa mendongak untuk menatap pria itu. "Aku tidak lupa," jawabnya. "Aku pergi ke sini sebab permintaan Aisya. Tidak ada kaitannya dengan perjanjian. Bukankah Mas William tau kalau aku menyayangi Aisya," jelas wanita itu sebelum melanjutkan kegiatannya. Meski perih Lisa rasakan di relung hatinya, tetapi wanita itu ikhlas mengatakan apa yang memang dia rasakan pada Aisya. Semua itu karena Lisa tau bagaimana rasanya tidak memiliki ibu. Dia tidak ingin melihat gadis kecil yang selalu berusaha untuk ceria itu bersedih. William menghela napas lega, menyadari bahwa tidak ada yang harus dikhawatirkan tentang perjanjian mereka. Sebuah perjanjian yang telah mereka sepakati, tentang William yang tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis untuk Lisa, dan tentang Lisa yang sangat menyayangi Aisya dan ingin gadis kecil itu menjadi putrinya, begitupun dengan Aisya yang sangat menginginkan seorang ibu. Perjanjian dua pihak itu telah mereka tanda tangani sebelum pernikahan digelar. Awalnya Lisa berpikir jika William tidak akan seperti itu terus-menerus sebab dia tahu bahwa lelaki tidak akan kuat untuk tidak menyentuh seorang wanita yang tinggal satu atap dengannya, apalagi jika sudah berstatus sebagai istri. Namun sekarang Lisa sadar bahwa William tidak masuk ke dalam kategori laki-laki yang seperti itu. Pria itu mendaratkan b****g di sisi ranjang milik Lisa. "Ponselmu rusak?" tanyanya. Lisa sempat melirik ketika mendengar suara tubuh yang menghempas kasur. "Ternyata kakakku yang memberitahumu," kata wanita itu, terjawab sudah kebingungannya tentang William yang bisa berada di sini. "Kau bisa langsung memberitahuku tentang hal itu. Aku bisa jika hanya untuk memperbaiki ponselmu," kata William. Lisa diam, tidak merespon lagi. Memang, semua kebutuhan lain dalam rumah tangga mampu dipenuhi oleh William. Pria itu hanya tidak bisa memberikan kebahagiaan biologis untuk Lisa. "Apa pakaianmu di rumah tidak cukup sampai harus membawa baju-baju lamamu?" William bertanya lagi. Namun Lisa tetap diam, tidak berselera untuk menjawab pertanyaan suaminya, yang tetap tidak akan mengubah pola pikirnya. "Lisa, aku bertanya padamu," kata William. "Kenapa Mas William bertanya? Mas William bahkan tidak pernah peduli dengan apa yang aku pakai," kata Lisa setelah mendecak geram. Wanita itu bangkit untuk mencari pakaian ganti di lemari. Dia merasa gerah sebab seharian belum mengganti pakaian. Lisa sudah ingin membuka bajunya. Namun gerakannya itu terhenti sebab mendengar suara William. "Apa yang kau lakukan?" "Mengganti baju," jawab Lisa dengan kedua tangan terhenti sebelum membuat seluruh baju yang menutup tubuhnya terlepas. William sudah hendak protes dengan kedua mata yang membesar. Beruntung Lisa sudah mengeluarkan kalimatnya lebih dulu. "Kalau Mas William tidak mau lihat silahkan keluar, ini kamarku," kata Lisa dengan kedua mata yang juga membesar, mengusir suaminya, membuat pria itu tercekat dan menelan dalam-dalam kalimatnya yang belum sempat keluar. William mendengus sebelum akhirnya bangkit dan melangkah keluar dari kamar Lisa. Pria itu menutup pintu kamar istrinya dengan sedikit bantingan. Lisa mendelik heran. "Apa dia marah?" pikir wanita itu. Helaan napas lolos dari hidung dan mulutnya. "Untuk apa dia marah. Memang lebih baik begitu, mengusirnya lebih dulu daripada dia keluar dengan sendirinya." *** Maira baru saja selesai membantu Aisya bilas. Wanita itu tampak sedang memakaikan handuk di tubuh mungil Aisya. "Mau Tante Maira atau mama yang pakaikan baju untuk Aisya?" tanyanya. "Mama," jawab Aisya. "Ya udah, Aisya hati-hati naik tangganya ya," kata Maira, membiarkan gadis kecil itu menghampiri ibunya seorang diri. Sementara Maira memutuskan untuk menghampiri suaminya. Dilihatnya pria itu tertidur dengan tubuh bersandar di sofa, kelelahan. Maira terkekeh, tiba-tiba saja niat jahil melintas di kepalanya. Wanita itu mencabut bulu kemoceng yang tergeletak di meja. Kemudian menggelitik telapak kaki suaminya yang mengangkat dan naik ke atas meja menggunakan bulu itu. Kaki Harley bergerak sebab merasa terganggu. Namun kedua mata pria itu masih terpejam dengan kedua tangan terlipat di depan perut. Hal itu membuat Maira mempercepat gerakan bulu kemocengnya. Harley menarik kakinya dan terbangun. Pria itu menegakkan tubuh dan melihat ulah istrinya. Maira terkekeh menyadari ekspresi terkejut dan wajah kantuk suaminya. Tak tega dia melihat raut itu. Namun perasaan geli menyerang perutnya. "Kau ini," geram pria itu. Dengan cepat Harley menangkap tubuh istrinya dan membawa wanita itu untuk ikut tidur dengannya. Maira masih terkekeh di pelukan suaminya. Dia melihat Harley yang sudah kembali memejamkan mata. Sepertinya pria itu benar-benar kelelahan. Maira pun membantunya agar kembali tertidur dengan mengusap-usap kepala pria itu. *** Aisya sudah hampir tiba di depan kamar ibunya. Gadis kecil itu melihat papanya yang berdiri di depan pintu yang tertutup, membuatnya bertanya penasaran. "Papa ngapain berdiri di depan pintu kamar mama?" tanya Aisya. William menoleh setelah suara putrinya itu terdengar. "Oh, Aisya." Dilihatnya gadis kecil itu menghampiri. "Papa sama mama lagi main petak umpet lagi?" tanya gadis kecil itu. Aisya membuka pintu kamar mamanya sebelum William sempat beralasan dan melarang gadis kecil itu untuk membuka pintu kamar Lisa. "Aisya tung--- Hah!" Buru-buru Lisa menutup tubuhnya yang tidak berbalut apa-apa selain celana dalam dan bra. Pintu kamar itu dibuka oleh Aisya, dan William yang tidak sempat melarang Aisya terlanjur melihat ke dalam kamar. Pria itu segera mengalihkan tatapan dan menyuruh Aisya masuk lalu menutup pintunya kembali. Aisya yang terkejut menggembungkan pipi. Dia sudah berada di dalam kamar namanya, sedangkan papanya di luar. "Mama malu ya dilihat sama Papa?" tanya gadis kecil itu. "Em, hehe." Lisa salah tingkah dan buru-buru mengambil handuk untuk membalut tubuh. "Aisya sudah kedinginan ya?" Segera Lisa menyiapkan baju untuk putrinya. Dia mendahulukan Aisya dibandingkan dirinya. "Sini, Sayang." Lisa menyuruh Aisya mendekat agar bisa dipakaikan baju. Selama itu pula dia berpikir tentang William yang mengapa masih berdiri di depan pintu kamarnya. Lisa pikir pria itu sudah pergi dari sana setelah membanting pintu kamarnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN