"Pak, gimana? Apa kita bisa pergi ke kantor Pak Darius sekarang juga? Beliau baru saja menghubungi saya."
Felix tadinya memang bantu mengantarkan Lucas pergi ke rumah sakit untuk membawa Deasy yang tiba-tiba tidak sadarkan diri.
Sementara Lucas menemani Deasy yang mendapat penanganan medis dari tim dokter di ruang instalasi gawat darurat, Felix memilih untuk menunggu sang atasan di mobil. Namun, setelah enam puluh menit berlalu, Lucas tidak kunjung jua kembali ke mobil.
Felix tentu merasa heran. Karena memang sore ini ada janji bertemu dengan Darius Tanuwidja yang merupakan ayah dari Lucas, ia lantas memilih untuk menyusul. Begitu memasuki loby rumah sakit, dirinya malah mendapati Lucas yang tengah terduduk diam, menunduk di depan ruang IGD, seolah sedang memikirkan suatu masalah yang berat.
"Pak ..." panggil Felix dengan suara sedikit keras. Tapi, Lucas tidak sedikit pun menggubrisnya. "Pak Lucas baik-baik aja?"
Lucas yang tadinya bergeming lantas mendongak. Menatap lekat ke arah Felix sembari menampikan ekspresi yang sulit sekali untuk diartikan.
Demi Tuhan, Lucas seperti orang yang kehabisan kata-kata. Gagu. Menggerakkan bibir saja rasanya kelu. Sudah menyiapkan banyak kata, tapi rasanya tidak sanggung untuk diucap.
"Pak?" tegur Felix sekali lagi. "Yang pingsan kan Bu Deasy. Kenapa jadi Pak Lucas yang pucat. Ini sebenarnya ada apa? Pak Lucas ikutan sakit juga?"
Lucas menarik napas panjang. Penuh perhitungan pria itu kemudian menjawab pertanyaan sang asisten.
"Felix ... ini gawat. Demi apa pun, ini gawat."
Felix terkesiap. Pria itu balas menatap dengan ekspresi penuh tanya. Mana ia paham apa yang baru saja Lucas katakan. Dirinya bahkan bertanya-tanya, memang hal apa yang dimaksud gawat oleh bosnya tersebut.
"Apanya yang gawat, Pak? Sakitnya Bu Deasy parah? Atau gimana?"
Lucas menggeleng. Bangkit dari duduknya, ia lantas mengambil posisi begitu dekat dengan sang asisten lalu berbicara dengan setengah berbisik.
"Ternyata Deasy hamil."
"Oh, jadi Bu Deasy pingsan karena sedang dalam masa hamil," sahut Felix begitu santai dan tanpa beban. Lalu beberapa detik berselang, pria itu melotot seolah baru sadar berita apa yang baru saja Lucas sampaikan kepadanya. "Apa, Pak? Bu Deasy hamil?!"
"Hush!" Lucas menegur sembari melotot.
"Maaf, Pak. Saya serius shock. Jadi, Bu Deasy saat ini tengah hamil?"
Lucas kali ini mengangguk. Menangkup wajahnya dengan kedua tangan sembari menggeram. Ia tampak bingung sendiri harus bertindak seperti apa.
Sebenarnya, sedari awal tanpa sengaja meniduri Deasy dan sadar kalau dirinya tidak sekali pun memakai pengaman, Lucas sudah mengantisipasi hal seperti ini bisa saja terjadi.
Makanya ia beberapa kali meyakinkan Deasy kalau terjadi sesuatu pada wanita itu, sebagai gentleman dirinya siap untuk bertanggung jawab. Hanya saja, Lucas sama sekali tidak menyangka kalau hal yang ia khawatirkan malah terjadi begitu cepat.
Sedang tugas yang ayahnya beri belum selesai ia kerjakan. Pernikahan bersama Davina juga belum berhasil dirinya batalkan. Lantas, mana bisa seenaknya ia menikahi Deasy begitu saja.
Sementara Felix juga tak kalah shock. Ia tahu benar apa yang sudah terjadi pada Lucas dan Deasy beberapa waktu belakangan. Dari soal Lucas yang berbaik hati mengantar Deasy pulang karena dalam keadaan mabuk berat. Hingga soal peristiwa fatal yang sudah melibatkan keduanya.
"Felix ..." panggil Lucas dengan suara pelan. Dirinya saat ini mirip sekali seperti orang yang sedang linglung. Untung saja tidak gila. "Saya harus gimana? Deasy lagi hamil sekarang. Nanti kalau dia sudah sadar, saya harus ngomong apa?"
"Siapa tau aja Bu Deasy hamil bukan anak Pak Lucas."
Lucas menggeleng. Mendongak, kemudian balas menatap ke arah sang asisten. Dalam hati kecilnya, ia menampik kalau Deasy hamil anak pria lain.
Lucas ingat benar dirinya yang sudah memperawani wanita itu. Ia tidak lupa juga kalau mereka bahkan sudah dua kali melakukan hubungan suami istri yang bahkan jaraknya tidak begitu jauh.
"Nggak. Saya yakin dia hamil karena apa yang sudah dua kali kami berdua lakukan. Kamu lihat sendiri juga bagaimana dia mencari bukti dan meyakinkan kalau sudah ditiduri oleh Lucas Tanuwidja. Itu membuktikan kalau cuma Lucas Fernando dan Lucas Tanuwidja yang sudah make out sama dia. Lagi pula, memang saya yang sudah ambil keperawanan dia."
Felix mengangguk. Masuk akal juga dengan apa yang sudah atasannya kemukakan. Pikirnya, kalau Deasy memang tidak tidur dengan pria lain, sudah dipastikan janin yang ada di dalam perut wanita itu adalah darah daging Lucas, atasannya.
"Ternyata Pak Lucas topcer juga," gumam Felix tidak sengaja dan langsung mengundang decakan Lucas.
"Felix! Sempat-sempatnya kamu komen begini."
"Maaf, Pak. Keceplosan. Sebenarnya, kalau saja hubungan Pak Lucas dan Bu Deasy resmi, pasti Pak Darius senang dalam waktu dekat bakal punya cucu. Tapi, yang jadi masalah sekarang, Pak Lucas saat ini statusnya sudah bertunangan dengan nona Davina. Mana boleh orang-orang tau kalau Pak Lucas menghamili perempuan lain. Bisa-bisa keluarga besar Tanuwidja malu."
Bahu Lucas merosot jatuh. Kepalanya mendadak pening memikirkan langkah apa yang harus ditempuh. Namun, belum lagi jalan keluar ia temukan, ponselnya berdering. Ada nama sang ayah terlihat memanggil.
"Astaga, Felix. Ini saya harus bagaimana? Saya pastikan nggak bakal lari dari tanggung jawab. Hanya saja, ini langkah awalnya saya harus gimana supaya semuanya aman terkendali?"
"Iu Pak Darius udah berulang kali telpon. Saran saya, mending Pak Lucas langsung samperin aja. Pasti beliau emang udah tunggu kedatangan Pak Lucas karena ada hal penting yang mau dibicarakan segera."
Felix kembali mengingatkan. Pria itu meminta Lucas untuk segera bangkit dari duduknya untuk kemudian bergegas.
"Terus, kalau saya pergi, Deasy gimana? Dia aja belum sadar juga sampai detik ini. Kalau dia tau dalam kondisi hamil dan tanya macam-macam gimana?"
Felix nampak berpikir cepat. Berusaha mencari jalan keluar untuk menghandle sementara masalah rumit yang tengah terjadi pada sang atasan.
"Pak Lucas pergi aja duluan. Bu Deasy biar saya yang urus."
"Tapi ...kalau nanti ada apa-apa, gimana?"
Lucas merasa tidak tega. Mau bagaimana pun, Deasy sampai pingsan dan sekarang hamil, itu karena ulah perbuatannya juga.
"Udah ... Percaya sama saya, Pak. Nanti saya yang urus gimana. Selebihnya nanti kita bicarakan di rumah Pak Lucas setelah selesai menghadap Pak Darius. Saya tau Pak Lucas bukan tipe laki-laki yang suka lepas tanggung jawab. Nanti sama-sama kita pikirkan berdua langkah apa yang selanjutnya harus diambil. Sebisa mungkin semuanya tidak keluar jalur."
Mendengar penjelasan Felix, Lucas berusaha untuk menurut. Ia pun pada akhirnya memilih pergi meninggalkan rumah sakit walaupun perasaannya sama sekali tidak tenang. Bayangkan saja, ada wanita yang kini tengah mengandung darah dagingnya. Demi apa pun, Lucas pokoknya 1000% yakin Deasy memang sedang hamil anaknya.
Sementara itu, Deasy yang sedari tadi berada di bilik pemeriksaan pelan-pelan mulai sadar. Begitu menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit, ia pun langsung bangkit dan memanggil petugas medis yang sedari tadi berjaga, menungguinya.
"Suster, apa saya sudah lama berada di sini?"
Perawat jaga mengangguk. Bahkan bantu menuntun Deasy yang hendak turun dari tempat tidur.
"Mba sudah lumayan lama di sini. Tadi sampai di rumah sakit dalam keadaan nggak sadarkan diri."
"Suster tau siapa antar saya ke rumah sakit?"
Perawat tersebut mengangguk.
"Ada dua orang laki-laki tadi yang mengantarkan Mba ke rumah sakit. Umurnya keliatan sepantaran. Yang satu pakai kaca mata, yang satunya lagi tinggi putih. Tapi, yang tinggi putih begitu selesai antar langsung pergi. Sekarang, sisa yang pakai kaca mata aja lagi nungguin Mba di depan ruangan."
Deasy nampak meraba-raba. Berusaha mengingat siapa orang kantor yang ciri-cirinya seperti perawat jelaskan kepadanya barusan. Seingatnya, ada banyak staff yang memakai kaca mata dan berpostur tinggi putih di Alexis. Lantas, siapa yang perawat ini maksudkan.
"Terus ini saya udah boleh pulang?"
"Boleh, Mba. Dokter sudah periksa juga kok."
"Tapi, kondisi saya baik-baik aja, kan? Maksudnya, nggak menghkhawatirkan walaupun seingat saya sebelumnya sempat mendadak pusing terus nggak sadarkan diri."
Deasy sendiri sebenarnya bingung karena mendadak pening kemudian hilang kesadaran. Tapi, setelah bangun, ia tidak merasakan sesuatu yang berbeda atau aneh dalam dirinya.
"Setalah diperiksa tadi, dokter mendiagnosa kalau Mba kurang darah. Kadar haemoglobin Mba juga rendah. Jadi, sama dokter diresepkan obat untuk menambah dan menaikkan kadar haemoglobin."
Perawat lantas memberikan bungkusan berisi berbagai macam obat kepada Deasy. Kemudian kembali memberi penjelasan sebelum membiarkan wanita itu pergi meninggalkan ruangan.
"Ini obat yang harus Mba minum dan habiskan."
"Untuk biaya penanganan medis dan obat, saya bisa langsung ke bagian administrasi, kan?" tanya Deasy meyakinkan sebelum melangkah keluar.
"Obat dan biaya rumah sakit sudah dibayar lunas sama laki-laki yang sedang menunggu mba di luar. Jadi, nggak perlu khawatir dan bisa langsung pulang."
Deasy semakin penasaran ingin bertemu. Bertanya-tanya siapa sebenarnya sosok yang sudah mengantar, mengcover biaya rumah sakit dan kini tengah menunggunya.
"Kalau begitu terima kasih banyak, Sus."
"Sama-sama. Saya doakan Mba dan calon bayi di kandungan Mba sehat selalu."
Tadinya, Deasy ingin melangkah pergi. Namun, kalimat terakhir yang perawat ucapkan berhasil membuatnya terperanjat dengan amat sangat.
"Hah? A-apa, sus? Calon bayi? Kandungan?"
Perawat yang mengantar Deasy langsung tersenyum begitu lebar.
"Iya, Mba. Jadi, apa yang terjadi sama Mba ini memang biasa dan umumnya terjadi pada Ibu hamil. Atau jangan-jangan Mba nggak tau kalau saat ini sedang dalam keadaan hamil?"
Deasy ternganga. Ia pun refleks menggeleng. Ekspresinya bingung yang ia tunjukkan ini kembali mengundang senyum dari perawat yang berada di depannya.
"Jadi, Mba ini ternyata hamil. Umur kandungannya saat ini menginjak minggu ke tujuh. Saya ucapkan selamat ya. Semoga Ibu dan calon bayinya sehat selalu."
Deasy serasa disambar petir. Dengan polosnya, ia malah membawa satu tangannya. Mencubit pipi sebelah kanan, berharap saat ini dirinya masih berada di alam mimpi.
Ya Tuhan, ini nyata.
Aku hamil.
Sambil melangkah dengan linglung keluar dari bilik UGD, ia tampak diam seribu bahasa. Bukannya apa, bingung sekaligus pusing karena apa yang ditakutkan Velove selama ini pada akhirnya benar kejadian juga.
Mau taruh di mana mukaku?
Terus ini anak siapa, ya ampun.
Lantas, timbul pertanyaan dalam benak Deasy. Kepada siapa dirinya harus meminta pertanggung jawaban? Lucas Fernando, kah?
Ya Tuhan ... kenapa cobaan hidup sampai segini nya.
Batin Deasy seketika bergejolak hebat. Pikirnya, tidak lucu sekali kalau harus menikah dengan pria cupu itu.
"Bu Deasy ...."
Sibuk melamun, terdengar seseorang yang menegur kemudian mendekat. Mengangkat wajah, Deasy mendapati seorang pria yang pernah dirinya lihat sebelumnya.
"I-iya?"
"Perkenalkan, saya Felix, asisten Pak Lucas. Saya ditugaskan buat menemani dan mengantar Bu Deasy untuk kembali pulang."
Mengenyampingkan rasa pusing dan bingung yang tengah ia rasakan, Deasy teringat ucapan perawat saat berada di bilik ruang IGD. Menurut cerita, ada dua orang yang tadi mengantarnya ke rumah sakit. Lantas, siapa sosok satunya? Apakah Lucas Tanuwidja, bosnya?
"Terima kasih banyak Pak Felix atas bantuannya sudah mengantar saya ke rumah sakit. Ini Pak Felix sendirian saja?"
Felix menggeleng.
"Tadinya saya ke sini bersama Pak Lucas. Tapi, karena ada keperluan yang mendadak, beliau pergi duluan. Jadi, saya yang ditugaskan untuk menunggu dan mengantar Bu Deasy setelah selesai pemeriksaan."
Deasy kemudian mengangguk. Lalu tak lama mendadak panik. Dalam benaknya sungguh bahaya kalau Lucas Tanuwidja tau apa yang terjadi padanya saat ini.
"Tapi, Pak Lucas nggak sampai ketemu dokter segala macam, kan?"
Felix sekali lagi menggeleng.
"Pak Lucas di sini sebentar aja Bu Deasy. Beliau cuma antar, kemudian langsung pergi. Saya sendiri dari tadi cuma menunggu di sini."
Deasy sedikit bernapas lega. Dengan kepala yang terasa ingin pecah, dirinya pun memutuskan untuk segera pulang. Sambil berpikir tindakan apa yang harus ia lakukan setelah ini.