17. Deasy Stress Sendiri

1915 Kata
Sudah tiga hari ini Deasy mengurung diri di kamar apartemennya. Memanfaatkan momen karena sebelumnya sempat tiba-tiba tidak sadarkan diri, ia pun memilih untuk tidak bekerja dengan alasan sakit. Padahal, di unit nya, kondisi fisik Deasy dalam keadaan baik-baik saja. Hanya kejiwaannya yang beberapa waktu belakangan nampak terguncang hebat setelah mendengar apa yang tim medis diagnosakan kepadanya. "Kamu hamil, Deasy! Ingat kamu H A M I L," ejanya dengan penekanan. "Akhirnya apa yang ditakutkan kejadian juga. Terus, ini kamu mau minta tanggung jawab sama siapa?" Sudah tidak terhitung dirinya merapalkan kalimat itu. Berulang kali Deasy berusaha menampik kenyataan kalau dirinya kini tengah berbadan dua. Banyak hal juga terlintas dalam benaknya. Dari soal mencari calon ayah untuk mendampingi serta bertanggung jawab. Membayar suami sewaan atau pilihan terburuknya yaitu menggugurkan janin di dalam perutnya. Pokoknya dari semua pilihan yang terlintas, Deasy tidak sekali pun berharap atau mau kalau ujung-ujungnya harus menikah dengan Lucas Fernando. "Nggak," geleng wanita itu berulang kali. "Mau kiamat sekali pun, aku nggak mau nikah sama Lucas Fernando. Enak aja!" Deasy masih saja keras kepala. Padahal sebelum tahu dirinya hamil, Lucas sudah menawarkan diri untuk bertanggung jawab, tapi ia menolak mentah-mentah. Dan sekarang, setelah benar kejadian, dirinya masih saja keras hati. "Deasy!!!" Asyik melamun, dari arah pintu unit apartemen terdengar panggilan setengah berteriak dari wanita yang begitu Deasy kenal. Menoleh, benar feelingnya. Ada sosok Velove yang melenggang masuk dan langsung mengambil posisi duduk tanpa perlu dipersilakan terlebih dahulu. Lagi pula, bukan perkara sulit juga untuk Velove bisa mudah masuk, sedari awal tinggal di apartemen Park Avenue, wanita itu memang sengaja Deasy beri kunci akses apartemen agar mudah bila hendak berkunjung. Beberapa hari ini, sahabat Deasy itu memang sibuk menghubungi. Dari sekedar mengirim pesan singkat sampai akhirnya menelpon. Tapi, karena alasan ingin merenung dan menenangkan diri, Deasy abaikan semuanya tanpa terkecuali. "Kamu kenapa sih? Sakit? Nggak enak badan? Nggak enak hati? Kenapa pesan dan telponku nggak ada yang kamu angkat satu pun? Kamu marah? Atau gimana?" Baru sampai saja Velove sudah mencecar dengan begitu banyak pertanyaan. Kepala Deasy yang terasa pening semakin ingin pecah akibat ocehan sahabatnya tersebut. Bahkan, ketika Deasy enggan menyahut, Velove dengan serta merta meraih wajah Deasy. Memalingkannya agar mereka salinh berhadapan. "Des, kamu kenapa? Kalau ada masalah, cerita aja seperti biasa." Deasy hanya mampu menarik napas dalam. Memandangi wajah Velove untuk beberapa saat, sebelum akhirnya berbicara. "Aku hamil, Ve." Hanya kalimat itu yang mampu Deasy ucapkan. Namun, bukannya terkejut atau mungkin terperanjat, Velove setelahnya malah bersikap biasa saja. Seolah-olah kehamilan Deasy ini adalah hal yang biasa. "Oh, jadi berapa hari ini menghilang dari peredaran karena kamu galau lagi hamil?" Deasy menoleh. Ia tidak habis pikir mendengar tanggapan Velove yang kentara sekali menunjukkan sikap begitu santai kepadanya. "Ve ... ini aku hamil loh. Bisa-bisanya kamu santai begitu." Velove menarik sudut bibirnya. Menyunggingkan senyum, wanita itu membalas dengan ekspresi sama seperti sebelumnya. "Terus kamu maunya aku bersikap gimana? Nangis? Atau Ketawa-ketawa? Lagian, dari awal aku udah tekankan ke kamu untuk hati-hati. Karena mau tiga, dua, atau sekali aja berhubungan badan, kalau nggak pakai pengaman, ada potensi sebesar 90% kamu bakal hamil. Dan sekarang? Omonganku terbukti benar. Makanya, kalau main jangan kejauhan. Ingat pulang, Des. Sekarang? Repot sendiri, kan?" Deasy mendesah panjang. Bukannya dihibur, dirinya malah dapat ceramah panjang lebar. "Please deh Velove Arianna Salim. Aku ini lagi butuh support bukan ceramah. Kamu nggak kasian sama nasib aku? Nggak ada sama sekali woman support woman nya. Malah kayak yang keliatan senang banget aku dapat musibah begini." "No!" Velove dengan serta merta menggeleng. "ini bukan musibah, Des. Ini tuh anugrah. Berita bagus. Lagi pula, kenapa juga harus dikasihani? Kamu juga dalam keadaan sehat walafiat gitu. Kalau pun pengen minta pertanggung jawaban, kamu tinggal hubungi laki-laki yang udah hamilin kamu. Bukannya kata kamu dia udah berulang kali ngomong siap bertanggung jawab kalau di kemudian hari kamu kenapa-kenapa. Terus, apa yang perlu aku prihatinkan?" Rasa-rasanya Deasy ingin gila saja. Sumpah demi apa pun, sikap Velove saat ini begitu menyebalkan. Fix ini pasti Velove jafi menyebalkan karen ketularan Erwin, suaminya. "Kamu rela aku nikah sama cowok yang ---" "Jelek dan cupu? Kenapa harus nggak rela? Kalau aku jadi kamu, mending aku terima aja tawaran dia buat tanggung jawab. Ketimbang itu bayi nggak ada bapaknya. Lebih kasihan dan lebih malu lagi." Deasy berdecak. Mana ia setuju kalau harus menikah dengan Lucas, pria yang sama sekali dirinya tidak suka. Macam tidak ada pria lain saja di dunia ini. "Mending aku sewa orang buat jadi suami sementara. Yang penting ini bayi ada bapaknya, kan?" "Ribet banget sewa orang segala," decak Velove mematahkan argumen Deasy untuk kesekian kalinya. "Bapak biologisnya bahkan jelas-jelas siap bertanggung jawab. Kamu kenapa malah denial terus, sih? Ini bapaknya masih hidup dan siap kapan aja jadi suami kamu." "Nggak mau, Velove. Pokoknya aku nggak mau! Dari pada harus ribet nikah sama bawahan aku yang super cupu dan nggak banget itu, mending aku gugurin aja janin di perutku." Velove menggeleng keras. Tentu saja tidak habis pikir dengan jalan pikiran Deasy saat ini. Bisa-bisanya wanita itu begitu santai ingin menghilangkan nyawa tidak berdosa yang bersemayam di perutnya. "Kamu waras nggak, sih?" tanya Velove dengan nada tidak suka. Wanita itu menatap tajam. Seolah ingin menguliti Deasy yang sedang duduk di depannya. "Kamu buatnya aja udah dosa besar. Sekarang, udah kejadian, kamu mau seenaknya buang gitu aja? Kamu punya otak nggak? Itu yang di perut kamu, darah dagingmu, Deasy Vendela!" kata Velove penuh amarah. Wanita itu terang-terangan meluapkan emosi serta kekesalannya. "Di luar sana, bahkan banyak yang bersusah payah usaha biar bisa punya anak, tapi sama Tuhan nggak kunjung di kasih. Dan kamu? Bisa dapat anak dengan mudahnya, malah mau dibuang gitu aja." "Ini beda kasus, Velove," debat Deasy tidak terima. "Mereka-mereka yang berharap anak di luar sana, buatnya dengan senang hati. Atas dasar suka sama suka dan dengan pasangan hidup mereka. Bukan seperti aku yang nggak sengaja dan bahkan melakukannya dengan orang yang nggak sama sekali aku suka." "Biar kata nggak suka, tapi kamu menikmatinya, kan? Buktinya sampai dua kali make out. Dengan orang yang sama pula. Itu artinya apa? Kamu emang berjodoh sama dia." "Arghhhhh!!!" Deasy menggeram kesal. Kehabisan kata-kata menanggapi ucapan Velove yang begitu menohok. "Udah, nggak usah gila pakai kepikiran mau gugurin segala macam. Dosa dan bahaya, Des!" kata Velove kembali mengingatkan. "Kalau kamu emang nggak suka, nanti begitu lahir, itu bayi kamu kasih aja ke aku. Nanti, biar aku yang rawat dan besarkan. Ketimbang di gugurkan. Kasihan." Deasy langsung menoleh. Ditatapnya Velove lekat-lekat. "Kamu suruh aku pertahankan janin ini? Aku pasti bakal malu banget, Ve. Apa kata orang kalau mereka semua tau aku lagi mengandung anak seorang Lucas Fernando. Sekarang aku masih bisa tutupi kehamilanku. Tapi, nanti, saat kandungannya berumur empat atau lima bulan, semua orang pasti bakal tau dan curiga." "Lebih malu lagi kalau kamu hamil tapi nggak ada bapaknya," sahut Velove segera. Ini si Deasy otaknya geser atau gimana, sih? "Lagi pula, kamu itu lucu, ya. Kemarin, buatnya aja kamu nggak malu sama Tuhan. Pakai pamer pula rasanya nikmat, nikmat, nikmat. Sekarang, udah dikasih bonus calon bayi sama yang maha kuasa, kamu malah malu sama omongan orang-orang. Aku nggak habis thinking sama jalan pikiranmu itu gimana." Deasy mendesah panjang. Siapa saja, tolong bawa pergi Velove sekarang juga dari hadapannya. Ini, bukannya tenang, dirinya malah dibuat semakin stress mendengar ocehan sekaligus omelan Velove yang tidak berhenti-berhenti. Mana lama-kelamaan kedengarannya makin julid dan nyinyir juga. "Oke ... aku nggak bakal gugurkan bayi dalam perutku ini. Tapi, aku tetap nggak bersedia kalau ujung-ujungnya harus menikah dengan Lucas. Pokoknya aku nggak mau!" "Segitu menjijikkanya kah Lucas Fernando ini di mata kamu? Jangan sesumbar, Des. Takutnya aja Tuhan murka, besok-besok kamu yang bakal ngejar-ngejar dia. Ingat! Bukan perkara sulit buat Tuhan merubah perasaan kamu ke dia. Lagian, benci dan cinta itu bedanya tipis banget." Deasy mendelik. Pokoknya ia sudah bulat dengan keputusannya. "Dihh! Biarin. Sampai kiamat, aku nggak bakal mau nikah apalagi sampai suka sama dia." Velove mengangguk. Malas berdebat, dirinya menyudahi saja obrolan yang tidak ada ujungnya ini. "Terserah kamu setelah ini mau gimana. Yang pasti, awas aja kalau kamu sampai nekat gugurkan calon bayi di dalam perutmu itu. Awas aja! Aku nggak bakal tinggal diam biarin kamu buat dosa besar." Deasy hanya berdeham malas. Sudah tidak berminat lagi menanggapi ocehan Velove yang terus saja memojokkannya. "Ya sudah, aku pulang dulu. Kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, segera hubungi aku. Besok malam, kamu harus ke dokter kandungan buat check ulang kehamilan kamu. Tenang aja, nanti aku yang bakal temani." Deasy mengangguk saja. Membiarkan Velove yang bersiap untuk pergi dari unit apartemennya. "Ingat, Des! Jangan macam-macam." "Hmm ..." "Pokoknya awas aja kamu nekat sampai coba-coba gugurkan kandungan kamu." "Iya, Velove. Iya! Aku tau." "Awas aja. Aku bakal terus pantau kondisi kamu." Velove kemudian pergi meninggalkan Deasy sendiri. Namun, belum ada lima menit pintu unit apartemen tertutup, terdengar suara bel kembali berdering. "Astaga, Velove! Mau apalagi, sih? Tenang aja, aku nggak bakal gugurkan kandunganku!" Begitu membuka pintu unit apartemennya, Deasy langsung menyambar dengan kata-kata yang sama, seolah muak dengan Velove yang terus saja memberi peringatan. Namun, saat kata-kata dari mulutnya selesai terlontar, dirinya malah terlonjak kaget. Bukan sosok Velove yang berdiri di depannya. Melainkan sosok pria yang begitu ia kenal. "L-lucas." Pria berkemeja hitam itu mengerjap bingung. "A-apa? Barusan Bu Deasy ngomong apa? ibu sedang hamil?" Deasy melotot. Salahnya sendiri berbicara sembarangan tanpa melihat kanan kiri terlebih dahulu. Alhasil, rahasia yang harusnya ia tutup rapat-rapat, malah kini ketahuan oleh pria yang sebenarnya paling ingin dirinya hindari. "Nggak. Kamu salah dengar," sanggah Deasy. Lalu berusaha menutup pintu unit apartemennya. "Lain kali aja kalau mau bertamu. Saya sakit dan mau istirahat." Lucas tidak membiarkan Deasy menutup pintu unit apartemennya. Sengaja menghadang, lalu melangkah masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu. "Kamu kok main masuk aja? Saya sama sekali nggak persilahkan kamu masuk," protes Deasy tidak suka. "Nggak mungkin kan saya ngobrol di depan pintu soal Bu Deasy yang lagi hamil? Bu Deasy mau tetangga kamar ibu pada dengar semua?" Deasy meneguk ludahnya. Mati kutu dengan sahutan yang baru saja Lucas lontarkan. "To the point aja kamu mau ngapain ke sini?" "Tadinya saya ke sini untuk urusan pekerjaan. Tapi, setelah tau bu Deasy ternyata hamil, saya berubah pikiran." "Maksud kamu? Lagian, siapa yang hamil?" "Bu Deasy. Tadi Ibu sendiri yang ngomong, kan?" "Kamu salah dengar." "Nggak," geleng Lucas. "Saya memang sudah menduga hal ini pasti terjadi. Itu sebabnya dari awal saya sudah menawarkan diri untuk tanggung jawab, Bu." Deasy menggeleng. Dirinya masih teguh akan pendiriannya untuk tidak menerima tawaran Lucas untuk bertanggung jawab apalagi sampai menikah dengan pria itu. "Nggak. Saya nggak butuh tanggung jawab kamu." "Tapi, ada calon anak saya di dalam perut ibu yang harus saya pikirkan dan perhatikan." "Nggak perlu," tolak Deasy sekali lagi. "Kamu nggak perlu repot-repot tanggung jawab. Anggap aja kita nggak pernah melakukan apa-apa. Dan anggap juga saya nggak pernah hamil anak kamu." "Mana bisa gitu, Bu," protes Lucas tidak terima. "Kenapa nggak bisa?" "Mau gimana pun, ada calon anak saya di sana," tunjuk Lucas tepat ke arah perut Deasy. "Itu sebabnya, saya harus tanggung jawab." "Eh, Lucas. Strawberry mangga donat, Sorry saya nggak minat. Pokoknya, mau gimana pun saya nggak mau nikah sama kamu." Deasy kemudian menarik lengan Lucas kuat-kuat. Menarik pria itu, lalu membawanya untuk segera keluar dari unit apartemennya. "Mau saya hamil anak kamu atau bukan, pokoknya jangan pernah mimpi saya mau terima kamu." "Tapi, Bu ----" Belum lagi sempat Lucas menyelesaikan ucapannya, Deasy sudah menutup pintu. Membuat Lucas hanya mampu mendesah sembari merapalkan doa dalam hati. "Tunggu aja kamu, Deasy. Awas besok-besok kamu yang kejar-kejar aku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN