Hal Tidak Terduga

1414 Kata
Nicko hanya mengerjapkan kedua matanya kebingungan. Di hadapannya, Diana tersipu setelah bertanya soal jam tangan yang diberikannya. Jadi, terjawablah semuanya. Nicko masih nampak kesulitan menelan air yang ada di mulutnya. "Saya tidak tahu selera pak Nicko seperti apa? Tapi saya harap, Pak Nicko menyukainya," kata Diana masih dengan ekspresi yang sama. Nicko masih mengerjap, syok. "Pak. Sebenarnya, saya menyukai Pak Nicko. Saya mengatakan ini, karena saya hanya ingin Pak Nicko tahu perasaan saya." Diana Masih dengan senyum-senyum malu. Nicko tidak menjawabnya. Kemudian, ia mengambil kotak yang ada di dalam lacinya. Menyodorkannya ke atas meja, dan memberikannya pada Diana. "Ambillah kembali," kata Nicko datar. Membuat Diana menautkan kedua alisnya. "Pak Nicko, saya pikir pak Nicko akan menerimanya." "Aku sudah punya jam tangan sendiri." "Pak. Saya tahu, Pak Nicko sudah punya jam tangan sendiri. Tapi, ini adalah ulang tahun pak Nicko," kata Diana lagi. Membuat Nicko melihat ke arahnya. "Dari mana kamu tahu ini ulang tahunku?" tanya Nicko. "Itu tidak penting. Tapi, saya hanya ingin memberi hadiah pak Nicko." "Tidak perlu melakukan hal-hal seperti ini. Lagi pula, jam tangan ini sangat mahal." "Tapi ini tulus pemberian dari saya, Pak." "Lebih baik kamu fokus bekerja saja. Tidak perlu melakukan sesuatu yang tidak perlu." "Pak. Saya menyukai Pak Nicko, dan memberikan jam hadiah ini, bukan berarti saya tidak fokus bekerja," sanggah Diana yang mulai cemas dan menautkan kedua alisnya. "Sudahlah. Ambil saja kembali." Nicko sudah tidak ingin berdebat. Ia yang memang selalu dingin setiap harinya, memberikan ekspresi sama, untuk mengembalikan jam tersebut. "Pak, tapi bisakah Pak Nicko ...." Diana menghentikan kalimatnya sendiri. Ia melihat Nicko yang sudah fokus di depan komputernya. Sama sekali tidak peduli. Diana tahu, Nicko pasti tidak akan menerima jam tangan pemberian darinya. Membuat Diana menggigit bibirnya karena kesal. Diana lalu mengambil jam tangan di atas meja Nicko dengan kasar. Ia berbalik dan berjalan keluar dengan menahan kekesalan. Nicko melihat Diana berjalan keluar. Ketika Diana sudah tidak ada di kantor, Nicko memejamkan kedua matanya. Ia menghela nafas dan menundukkan kepalanya yang mendadak menjadi berat. "Kenapa bisa ada kesalah pahaman seperti ini?" gumam Nicko dengan kecewa. Sedangkan, Diana yang pergi keluar, berjalan menghentakkan kakinya. Entah mau ke mana, ia tidak tahu. Yang jelas, hal memalukan dan menyebalkan yang ia terima dari Nicko saat ini, ingin membuatnya menjauh dari Nicko. Sejauh-jauhnya. Ketika Diana melewati belokan di koridor, ia yang buru-buru, menabrak seseorang. Ia pun tersentak. Membuat jam tangan di dalam kotak yang ia pegang juga ikut jatuh. Ternyata, Diana menabrak Candra. "Kamu ini! Kenapa seenaknya menabrak seseorang?! Apa kamu buta?!" tukas Diana yang kesal. Membuat Candra menautkan kedua alisnya. "Lihatlah. Siapa yang seharusnya marah di sini?" tanggap Candra. Candra melihat kotak yang baru dibawa Diana jatuh. Membuat Candra mengambilnya. Ia lalu membuka kotak itu, dan melihat ada jam tangan bagus di dalamnya. "Wah, lihatlah jam tangan yang mahal ini? Tapi, sepertinya ini jam tangan laki-laki?" "Buang saja!" tukas Diana menebas kotak tersebut dari tangan Candra, sehingga jam tangan itu kembali jatuh. Membuat Candra nampak tersentak. Candra kemudian menatap Diana dengan santai. "Diana, aku memberitahumu sebagai juniorku. Sampai kapan kamu berlaku judes seperti ini? Kamu ini seorang perempuan, bersikap lembutlah sedikit. Kalau tidak, maka tidak akan ada laki-laki yang mau denganmu. Jadi ...." "Minggir!" potong Diana, sembari mendorong Candra. Candra dibuat terkejut untuk kedua kalinya. Ia sedikit melangkah mundur, karena dorongan Diana cukup kuat. Untung ia bisa menahan dirinya, supaya tidak terjatuh. Diana meneruskan jalannya dengan setengah berlari karena kesal. "Dasar perempuan judes! Kenapa dia tidak mengikuti saranku?" gumam Candra berbicara sendiri. "Hei! Kamu benar-benar mau membuang jam tangan yang mahal ini?!" teriak Candra pada Diana yang sudah jauh. Tentu saja, Diana tidak akan menjawabnya. "Kalau diam, berarti iya." Candra menjawab sendiri pertanyaannya. Ia kemudian menaikkan kedua bahunya dan berlalu pergi sambil membawa jam tangan dari Diana. *** Suasana kantor nampak tenang. Hari kerja, sudah hampir selesai. Tinggal beberapa menit lagi, jam pulang akan dimulai. Namun, semua orang yang ada di kantor, sepertinya masih nampak serius. Nicko juga terus menatap komputernya. Tapi, pikirannya merancu tidak jelas. Dari tadi juga, ia diam-diam melihat ke arah Rhea yang seratus persen fokus pada pekerjaannya. Membuatnya hanya bisa menghela nafas panjang. "Permisi?" Tiba-tiba, suara seorang laki-laki dari arah pintu kantor, membuat semuanya menoleh. Bersamaan dengan beberapa ketukan dari laki-laki itu. Ternyata seorang kurir pengantar barang. "Ini, pesanan untuk pak Nicko Arkana," ujar laki-laki itu dengan membawa satu buah kotak besar di tangannya. Semuanya pun gantian menoleh ke arah Nicko. "Saya tidak pesan apapun?" tanya Nicko sembari berdiri dan berjalan ke arah kurir tersebut. "Ini pesanan Bu Diana, untuk Anda," jawab kurir tersebut. Otomatis, semuanya terhenyak kaget. Kurir tersebut membawa kotak kue ulang tahun. Semua arsitek yang ada di sana, menoleh ke arah Diana. Sedangkan Diana, tetap menatap ke arah komputernya. "Silahkan." Kurir tadi memberikan kotak kue itu pada Nicko. Sehingga mau tidak mau, Nicko menerimanya. "Terima kasih," jawab Nicko. "Wah, lihat siapa yang sedang bahagia ini?" Candra ikut berdiri dan berjalan ke arah Nicko yang menaruh kue itu di atas meja. "Apa ini? Kue ulang tahun ya?" Anton dan Wisnu juga ikut berjalan mendekat. "Benar juga! Hari ini kan ulang tahun Nicko!" seru Candra. "Benarkah? Wah, selamat ya Pak Nicko!" Wisnu ikut menimpali dengan bahagia. "Di, Rhe. Bergabunglah ke sini!" pinta Candra. Rhea pun berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke arah semua orang berkumpul. Namun, Diana tetap tidak bergerak. Terus diam dan melihat ke arah komputernya. "Di, kenapa kamu diam tanpa ekspresi seperti itu? Ini kue darimu, harusnya kamu yang membukanya?" tanya Candra. "Iya, Di. Bukalah untuk pak Nicko," tambah Anton dan Wisnu. "Itu memang dariku, tapi bukan aku yang ulang tahun. Bukalah sendiri!" tukas Diana dengan wajah cemberut. Sedangkan Nicko, hanya mengulas senyumnya sedikit. Sejujurnya, ia juga merasa sedikit bersalah dengan Diana. "Sudah ... Sudah. Ayo, lebih baik kita makan kuenya!" Wisnu mencoba mencairkan suasana. Mereka kemudian memotong-motong kuenya. Membagikannya ke dalam piring-piring kecil yang juga satu paket dari dalam box cake tadi. Nicko memberikan satu piring kecil pada Diana. "Terima kasih, untuk kuenya," ujar Nicko datar. Sedangkan, Diana yang gantian diam dan tidak merespon karena masih kesal. Nicko kembali untuk ikut makan kue. Anton, Wisnu dan Candra sudah antri untuk makan kue. Termasuk Rhea di sana. Tiba-tiba, ponsel Rhea berbunyi. Rhea berjalan ke arah ponselnya yang bergetar di atas meja kerjanya. Rhea kemudian mengangkat ponselnya. Melihat Rhea berbicara melalui ponsel, Nicko memperhatikannya. Nicko memotongkan satu potong kue. Ia membawanya mendekat ke arah Rhea. Rhea masih berbicara di dalam telepon. Sehingga Nicko menunggunya di belakang Rhea. "Tenang saja. Mungkin sebentar lagi aku akan pulang. Ya. Aku tutup dulu." Rhea memutus panggilan teleponnya. Rhea kembali menaruh ponsel di atas meja kerjanya. Kemudian, ia berbalik. Saat berbalik, ia melihat Nicko sudah tepat berdiri di hadapannya. Membuat mereka saling pandang dalam waktu sekian detik. "Ini, makanlah kuenya," kata Nicko memberikannya pada Rhea. "Terima kasih," jawab Rhea datar, sembari mengambil kue dan langsung menjauh lagi dari Nicko. "Rhe!" panggil Nicko pada Rhea, membuat Rhea berhenti sebentar. "Apa, mama yang sedang menelponmu?" tanya Nicko lagi. "Itu urusanku. Aku masih ingat betul soal kita harus menjaga jarak," jawab Rhea. Kemudian, ia berjalan membaur pada teman-teman arsitek yang lain. Nicko mengerjapkan matanya kebingungan. Sikap Rhea padanya sekarang selalu dingin. Apa lagi, ada salah paham seperti ini. Padahal, tadi Nicko hanya berniat bercanda. Tapi, Rhea justru menganggapnya serius. Nicko pun hanya bisa menghela nafas dan mengikuti Rhea untuk mendekat pada yang lain. "Wah, kuenya enak sekali!" kata Anton. "Di! Terima kasih, untuk kuenya ya!" seru Wisnu pada Diana. "Hm ...," jawab Diana singkat. "Aku pikir, yang membeli kue untuk ulang tahunmu, Rhea," kata Candra. "Rhea? Memangnya kenapa harus Rhea?" tanya Anton. "Apa jangan-jangan, pak Nicko dan Rhea sedang pacaran?!" Anton dan Wisnu yang dari tadi penasaran. Apa lagi Diana. Ia jadi menoleh ke arah mereka. "Tidak mungkin!" sanggah Rhea cepat. Membuat Nicko menoleh ke arah Rhea. "Kenapa tidak mungkin?" ujar Nicko. Membuat Rhea menoleh ke arah Nicko. Mereka berdua kembali saling pandang. "Wooo ... Ada apa dengan pak Nicko?" goda Anton lagi. Yang lain pun ikut menggoda mereka. "Rhe?!" Tiba-tiba dari arah pintu, terdengar suara laki-laki sedang memanggil Rhea. Membuat semua orang menoleh ke arah pintu. Di pintu, berdiri seorang laki-laki tampan yang baru saja memanggil Rhea. "Lukas?" Rhea membalas menyapanya. "Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Rhea yang berjalan mendekat ke arah laki-laki tadi. Semua yang ada di sana, memperhatikan sosok tampan laki-laki itu. Termasuk Nicko. Ada pandangan tajam dari Nicko begitu melihat Rhea menyambut laki-laki itu. "Rhe!" panggil Candra. "Siapa?" tanyanya. Rhea berbalik ke arah semua orang. "Oh, kenalkan. Aku Lukas. Pacar Rhea," jawab laki-laki tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN