Nicko baru memasuki kantor departemen arsitek. Di dalam, sudah ada Diana dan Rhea yang saling menghadap komputernya. Ia memang datang bersama Rhea tadi, tapi ia harus menahan langkahnya, agar tidak masuk ke kantor bersama Rhea.
Nicko yang sudah berada di dalam, hanya berjalan mendekat ke arah mejanya. Tidak menyapa kedua junior yang sedang bekerja. Diana menoleh ke arah Nicko yang baru datang
"Pagi, Pak Nicko?" sapa Diana.
"Pagi." Nicko membalas ala kadarnya.
"Pak Nicko, ngomong-ngomong, saya sedang merancang desain untuk proyek baru. Saya merasa gugup, karena pertama kali diberi tanggung jawab. Apa, dulu pak Nicko juga merasa begitu untuk pertama kali?"
"Ya. Aku juga gugup."
"Pak, kalau misalkan nanti ada sesuatu yang tidak saya mengerti, apa saya bisa bertanya pada Pak Nicko?"
"Bertanyalah pada Candra. Jangan padaku. Candra sangat baik, dalam mendesain di proyek baru ini," jawab Nicko santai.
Diana merapatkan kedua bibirnya dan menaikkan alisnya. Sembari membuang nafasnya. Ia lalu akhirnya berdiri dan meninggalkan kantor sebentar.
Sehingga, saat ini hanya ada Rhea dan Nicko berdua saja di kantor. Rhea masih nampak serius melihat komputernya. Sedangkan Nicko, diam-diam curi pandang ke arah Rhea.
Nicko teringat tiket dari Edwin yang ia ambil kemarin. Meskipun jadwal tiket itu masih Minggu depan, rasanya Nicko ingin mengatakannya sekarang juga. Nicko menarik nafas panjang, hanya untuk ingin mengajak Rhea menonton.
"Rhe," panggil Nicko. Rhea menoleh ke arah Nicko.
Tiba-tiba, ponsel Nicko berdering. Membuat kalimatnya terputus. Rhea pun juga bisa melihat ponsel Nicko yang diletakkan di atas meja. Ada panggilan dari pak Krisna. Membuat Nicko mendesah berat.
"Sebentar. Ada telepon dari pak Krisna," ujar Nicko.
Kenapa pak Krisna menelpon di saat yang tidak tepat seperti ini? Nicko dengan berat hati dan terpaksa, akhirnya mengangkat panggilan pak Krisna. Ia mengusap kursor berwarna hijau, kemudian me-loud speaker suaranya.
"Halo, Pak?"
"Nick. Ada masalah besar!" Suara pak Krisna terdengar panik. Nicko dan Rhea yang sama-sama bisa saling mendengarnya itu, hanya saling pandang dengan menautkan alisnya.
***
"Kita dianggap tidak memahami pihak owner, di B4. Karena saat kau mengerjakan ulang proyek itu, kau belum berdiskusi dengan mereka. Sehingga mereka menganggap, kalau bangunan itu, sama sekali tidak sesuai dengan kebutuhan mereka."
Begitulah penjelasan singkat dari pak Krisna sekitar lima belas menit yang lalu. Saat ini, Rhea dan Nicko menuju ke B4. Di sana, mereka bertemu dengan owner yang baru saja melakukan komplain pada pak Krisna.
"Kami tidak akan membayar sepeserpun atas kerjamu. Ini benar-benar di luar tanda tangan kontrak!" ujar salah seorang laki-laki dari tiga, diantaranya adalah owner gedung B4.
"Tidak bisa begitu. Kontrak sudah ditandatangani dan tidak bisa memutus perjanjian kontrak," sanggah Nicko yang masih berusaha tenang.
"Kami, sama sekali belum membaca kontrak sebelumnya. Kami hanya tanda tangan karena waktu yang sempit. Apa jangan-jangan, kamu hanya ingin menjebak kami?"
"Kenapa sembarangan berbicara begitu!" Nicko segera berdiri terpancing emosi. Rhea yang ada di sampingnya, segera memegangi lengan Nicko. Berusaha menenangkannya kembali.
"Sabar ... Sabarlah dulu," lirih Rhea pada Nicko. Nicko lalu hanya menghela nafas dan kembali duduk.
"Pak. Apa Anda tahu alasan gedung ini roboh sebelumnya?" tanya Rhea yang ganti mengambil alih bicara.
"Tentu saja karena pekerjaan kalian yang tidak becus!"
"Anda seorang yang berpendidikan tinggi. Apa Anda bisa berbicara dengan sedikit memperhatikan manner yang baik? Atau paling tidak, tidak perlu memakai emosi," ujar Rhea.
"Sekarang bagaimana kamu menyelesaikan ini?" Owner laki-laki itu tadi, menurunkan nada bicaranya.
"Saya sebagai perwakilan PT. Baeda ingin memberitahu, gedung ini roboh karena struktur pondasi dasar tidak sesuai. Jika Anda menginginkan bangunan yang dirancang sama seperti yang dulu, itu artinya Anda sendiri yang sudah merusak struktur bangunan itu sejak awal."
Nicko diam mendengar Rhea berbicara. Sama halnya dengan laki-laki yang ada di depannya. Jujur saja, Rhea lebih baik saat menjelaskan maksud yang ingin disampaikan daripada dirinya.
"Sebagai gantinya, pak Nicko sudah sangat membantu dalam rancangan bangunan sebisa mungkin, karena dirancang dengan efektif dan ekonomis. Bagi pihak korporat seperti Anda, itu sama sekali bukan berarti apa-apa," lanjut Rhea.
Membuat Nicko menoleh ke arahnya. Hati Nicko semakin tergetar mendengar kalimat Rhea. Rhea saat ini, sedang membela Nicko. Sama halnya, membuat lawan bicaranya menjadi terdiam.
***
Rhea dan Nicko berjalan masuk ke dalam kantor. Mereka baru pulang dari B4, dan menyudahi pertemuan dengan para owner. Tidak terasa, bahwa hari sudah sore dan jam kerja sudah habis.
Rhea berjalan ke arah mejanya. Nicko yang ada di belakangnya pun mengikuti Rhea berjalan ke arah mejanya. Membuat Rhea heran melihatnya. Kenapa Nicko tidak kembali ke mejanya sendiri?
"Ada apa? Kenapa kamu mengikutiku?" tanya Rhea. Nicko membutuhkan waktu menjawab di sela-sela ia berpikir.
"Bagaimana, kamu bisa melakukannya?" tanya Nicko dengan nada pelan. Membuat Rhea fokus melihatnya. Sepertinya, wajah Nicko serius kali ini.
"Soal apa?"
"Tadi, kamu bisa membuat mereka diam dan mengerti."
"Aku hanya bicara yang sebenarnya. Bukankah memang seperti itu kenyataannya?"
"Aku iri padamu," ungkap Nicko, membuat Rhea menautkan kedua alisnya.
"Iri? Iri kenapa?"
"Kamu sangat lancar berkomunikasi. Bisa membuat orang lain memahami apa yang ingin kamu katakan," kata Nicko. Rhea tersenyum mendengarnya.
"Semua itu butuh proses," jawabnya masih dengan tersenyum manis.
"Aku, merasa sangat terbantu."
"Tidak masalah. Katakan saja, aku sudah membalas hutangku karena kamu juga pernah membantuku saat aku membuat masalah di C2 kemarin," kata Rhea lagi. Mereka berdua kemudian saling melempar senyum.
Nicko merasakan hal aneh. Dengan berkomunikasi baik dengan Rhea seperti ini, bisa membuat hatinya berdebar, kemudian tenang. Mungkinkah, ini waktu yang tepat baginya untuk mengajak Rhea melihat bioskop?
"Ini, sudah waktunya pulang. Aku akan membereskan barangku," ujar Rhea sembari menata beberapa dokumennya yang ada di atas meja kerjanya. Nicko yang masih di tempat, memperhatikan Rhea yang sedang berberes.
"Aku pulang dulu," kata Rhea yang sudah berdiri dan mengambil tasnya.
"Eh, Rhe!" panggil Nicko saat Rhea sudah akan melangkah pergi. "Ke sini sebentar," pintanya.
"Ada apa?" Rhea berjalan mendekat ke arah Nicko.
"Hari Sabtu, apa kamu ada waktu?" tanya Nicko dengan ragu-ragu. Rhea nampak berpikir dengan memutar matanya ke atas.
"Aku belum tahu? Memangnya ada apa? Apa, ini soal laporan hasil presentasiku?"
"Bukan ... Bukan."
"Atau soal hasil report dokumentasi C2? Aku bilang kan ...."
"Rhe. Aku sekarang tidak sedang membicarakan soal pekerjaan," potong Nicko. Membuat Rhea menatapnya.
"Jadi, soal apa?"
"Di hari Sabtu itu ...." Nicko menghentikan sendiri kalimatnya. Ia berusaha keras untuk mengatakan maksudnya.
"Oh, tunggu!" Membuat Nicko menatap Rhea. "Bukankah hari Sabtu adalah tanggal dua puluh satu Oktober? Hari ulang tahunmu, kan?" ujar Rhea.
"Hahaha ... Iya. Betul." Nicko tertawa canggung. Padahal, bukan itu yang ingin Nicko katakan.
"Jadi, ada apa hari Sabtu?"
"Sabtu nanti ...."
"Pak Nicko dan Rhea masih belum pulang juga?"
Tiba-tiba, suara Anton muncul. Wisnu juga bersamanya, memasuki kantor. Membuat Rhea menoleh ke arah pintu. Nicko memalingkan wajahnya dengan kesal. Lagi-lagi, ada saja halangan.
"Ini aku mau pulang," jawab Rhea.
"Bagaimana di B4 tadi? Katanya ada masalah?" tanya Wisnu.
"Syukurlah sudah teratasi," jawab Rhea.
"Syukurlah kalau begitu." Anton dan Wisnu ikut lega. Mereka kemudian melihat ke arah Nicko yang masih terdiam memalingkan wajah. Membuat mereka heran.
"Pak Nicko, apa sedang sakit? Kenapa diam saja?" tanya Wisnu cemas. Nicko segera mengangkat kepala dan melihat ke arah mereka.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Nicko yang memaksakan senyumnya.
"Oh iya! Tadi bukankah pak Nicko ingin mengatakan sesuatu padaku? Soal Minggu depan. Apa?" tanya Rhea yang membuat Nicko terhenyak. Mana mungkin Nicko mengatakannya di depan Wisnu dan Anton seperti ini?!
"Kapan-kapan saja kita bicarakan. Sekarang sudah waktunya pulang. Pulanglah!" tukas Nicko yang segera berjalan ke arah mejanya dengan datar.
Rhea menautkan kedua alisnya heran. Melihat sikap Nicko yang mendadak dingin itu, membuatnya merasa aneh. Padahal, sekian detik yang lalu, Nicko masih bisa berbicara dengan baik.
"Pak Nicko ... Pak Nicko. Kenapa tidak bisa berbicara sedikit lembut pada perempuan?!" kata Anton. Nicko hanya diam dan kembali menatap komputernya dengan pandangan serius.
"Sudah ... Sudah. Kalau pak Nicko sudah bekerja seperti itu, dia pasti tidak akan menjawab kita," tambah Wisnu.
"Ya sudah. Kita juga akan pulang. Rhe, kita berjalan bersama ke depan ya," ajak Anton.
Rhea pun hanya tersenyum sembari mengangguk. Mereka sekali lagi berpamitan dengan Nicko. Nicko hanya menanggapinya dengan "hmm ..."
Setelah mereka bertiga berjalan keluar bersama-sama, Nicko memperhatikan mereka menjauh. Ketiganya nampak berjalan sambil mengobrol santai. Nicko lalu hanya bisa menutup kedua matanya sambil menghela nafas beratnya.