Bab 16

2036 Kata
Perpustakaan bukan merupakan salah satu tempat yang disukainya. Bahkan tak pernah terlintas dalam benaknya untuk pergi secara suka rela ke tempat yang dipenuhi tumpukan buku ini. Sejak kecil, ia selalu menolak permintaan Tuan Callisto yang setiap kali mengajar pasti memilih perpustakaan sebagai kelas. Ia lebih menyukai tempat terbuka, lebih menyukai praktek langsung daripada teori yang menurutnya sangat menyebalkan. Ia tidak pernah bersemangat setiap kali diberikan materi, meskipun itu pelajaran kesukaannya. Selaku mendatangi perpustakaan dalam terpaksa. Ia tidak menyukai semua yang ada dalam tempat itu. Tidak menyukai yang dilihatnya, sejauh mata memandang hanya buku saja yang tampak. Ia sangat tidak menyukai aroma buku-buku tua di perpustakaan. Mereka membuatnya bersin. Ia alergi ada debu yang menempel pada buku-buku itu. Namun, kali ini ia datang tanpa paksaan. Tak peduli dengan debu ataupun bau apek yang menyengat, ia tetap berada di sini, mencari buku yang kemungkinan memuat informasi tentang sihir dan para penggunanya, yang terlupakan. Ia ingat, mendiang Ades dulu pernah menceritakan tentang orang-orang itu, orang-orang yang terbuang karena ambisi mereka, orang-orang yang mendapatkan hukuman alami dari Ameris berupa kurungan di Lembah Kematian. Nama yang terdengar menakutkan. tapi Lembah Kematian tidak semenakutkan itu, hanya saja sangat sulit untuk dijangkau. Tidak ada yang visa masuk atau keluar dengan sesuka hati mereka. Beberapa kali Ades menceritakan tentang orang-orang penghuni Lembah Kematian, padanya. Dulu, ia tidak memercayainya, ia menganggap mereka tidak ada. Sekarang, ia baru percaya jika orang-orang terkutuk itu ada. Wajah datar Antares sedikit berkeringat. Ketidaksukaannya terhadap perpustakaan membuat tubuhnya bereaksi, salah satunya dengan mengeluarkan keringat berlebih. Sama seperti tempat lainnya di kastil Amethys, perpustakaan juga dilengkapi penyejuk udara alami, selain dibuat oleh sihir. Sangat menggelikan jika ia berkeringat di tempat yang sama sejuknya seperti di aula dan ruang makan. Tanpa mengusap keringat yang menuruni rahangnya, Antares kembali memusatkan pikiran. Ia harus menemukan buku itu, dan menunjukkannya kepada Tuan Callisto agar guru sihirnya itu tahu dan dapat menyimpulkan seperti apa kekuatan yang dimiliki musuh mereka. Antares yakin buku itu masih berada di sini. Tersimpan di salah satu sudutnya. Sebenarnya ia bisa saja mencarinya menggunakan kedua tangannya, atau bahasa kerennya manual. Namun, itu akan memakan banyak waktu, ia tidak memilikinya sebanyak itu. Menggunakan fokus pikiran memang memerlukan tenaga yang lumayan banyak, tapi akan mempersingkat waktu. Ia harus segera mendapatkan buku itu dan memberikannya pada Tuan Callisto. Masalah keamanan merupakan masalah yang serius. Tak hanya mereka yang memiliki kekuatan sihir saja yang berada di kastil ini, penduduk yang tidak memiliki kekuatan apa-apa juga berlindung di sini. Antares, kau berada di mana? Aku sudah memindahkan Fresya ke kamarnya sendiri. Antares berdecak, membuka matanya dengan cepat. Konsentrasi yang susah payah dibangunnya, hilang begitu saja. Semuanya karena ulah guru sihirnya yang menyebut nama gadisnya. Aarrgghhh! Jangan menggangguku, Callisto! Antares kembali berusaha memusatkan pikirannya. Ia terus mencoba membayangkan isi buku itu agar buku muncul ke permukaan dengan sendirinya. Memang terdengar tidak mungkin, tapi di Ameris yang penuh dengan sihir hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Apalagi Antares adalah pria yang memiliki ilmu sihir tertinggi dan terkuat di Ameris. Semua bisa dilakukannya dengan berkonsentrasi, dan jika ia sudah terbiasa maka ia bisa melakukannya hanya dengan satu kerjapan mata. Astaga, Ares! Aku sedang tidak ingin berdebat, katakan saja di mana kau berada! Kau tahu, 'kan, keadaan sedang gawat sekarang? Antares menarik napas panjang, membuka matanya perlahan. Seandainya saja pria tua itu berada di depannya sekarang, sudah akan dicekiknya lehernya agar dia tidak bisa bertanya lagi. Sungguh. apa yang dilakukan pria itu itu sangat mengganggu. Untung saja ia sudah menemukan buku yang dicarinya sehingga ia tudak perlu mengulang kembali pencariannya dari awal. Antares mengangkat tangan, meraih buku yang mengambang di depannya. Jangan menggangguku lagi, Pak Tua! Aku bisa menjaga diriku sendiri. Pak Tua? Tentu saja. Tuan Callisto merupakan manusia tertua di planet mereka, hanya terlihat awet muda saja. Mereka tidak abadi, hanya memiliki umur panjang dan awet muda saja, dan itu hanya berlaku bagi planet yang memiliki penyangga. Itu sebabnya Ganmate menyerang Ameris, Putri Miranda, memimpin Ganmate menginginkan umur panjang dan awet muda seperti mereka. Tidak sadar jika itu hanya dimiliki oleh Ameris. Kau berada di aula, 'kan? Tetaplah di sana, aku akan mendatangimu Antares meletakkan buku pada sebuah penyangga setinggi satu setengah meter. Ia langsung membukanya, tanpa membersihkan debu yang menempel. Biarlah nanti Tuan Callisto yang melakukannya, pria itu tentu akan dengan senang hati membersihkannya. Tuan Callisto sangat mencintai buku sampai-sampai dulu ia pernah berpikir jika dia akan menikahinya. Terdengar konyol memang, tapi bukankah setiap pikiran anak kecil itu memang selalu membuat tertawa? Di halaman keseratus ia menemukannya, penjelasan tentang bayangan bermata merah yang menyerang Fresya. Dia bernama Nereida, seorang wanita yang berusia ribuan tahun dan memiliki ilmu sihir sebanding dengan yang dimiliki Tuan Callisto. Tak heran dia dapat menembus perisai perlindungan di ruang penyimpanan mahkota, kekuatannya sehebat itu. Omong-omong, Nereida adalah adik seperguruan Tuan Callisto. Wanita itu dihukum dengan diasingkan ke Lembah Kematian karena terbukti sudah menghabisi beberapa pengawal dan menerobos masuk ke dalam kastil Amethys. Nereida berambisi untuk menjadi penyangga utama dan menguasai Ameris. Antares tersenyum. Ia menutup bukunya, kemudian keluar dari perpustakaan yang bagaikan penjara bawah tanah baginya. Ia membawa serta bukunya untuk ditunjukkan kepada Tuan Callisto dan yang lainnya. Seperti yang dikatakan Tuan Callisto tadi, keadaan sedang gawat. Mereka semua harus mengetahui siapa yang mereka hadapi. Hanya dalam sekejap mata Antares sudah berada di depan pintu aula yang terbuka. Ia melangkahkan kaki masuk ke sana, lebih lebar dari biasanya. Tak terlihat empat orang gadis belia teman Fresya, sepertinya keempatnya masih berada di kamar Fresya, menungguinya yang kemungkinan masih belum sadarkan diri. Tenaga Fresya terkuras, dia hampir kehabisan tenaga. Seandainya saja ia tidak datang, kemungkinan besar Fresya akan tewas. Bukan karena balasan serangan Nereida, melainkan karena kehabisan tenaga. Fresya memang merupakan salah satu yang terpilih dapat menggunakan kekuatannya di dekat mahkota Putri Emery, hanya saja dia masih belum dapat mengendalikannya. Dia menggunakan tenaga yang besar hanya untuk sebuah serangan dengan satu sihir. "Dari mana saja kau, Antares?" tanya Tuan Callisto setelah pria berpakaian serba hitam itu berdiri tepat di depannya. Jubah hitamnya melambai, dan jatuh beberapa saat setelah dia berhenti melangkah. "Di saat seperti ini, tidak seharusnya kau mematikan sistem pendeteksi yang ada padamu." "Sudah kubilang aku bisa menjaga diriku sendiri, kau tak perlu mengkhawatirkanku," sahut Antares datar seperti biasanya. Carora berdecak. Sahabat masa kecilnya masih saja terlihat menyebalkan. "Berhentilah menyombongkan diri, Antares!" geramnya. "Kau memang memiliki sihir terhebat di Ameris, tapi tetap saja kau tidak akan bisa menghadapi semuanya sendirian!" Carora nyaris memekik saking kesalnya. Seandainya saja kekuatan sihirnya melebihi Antares, atau setidaknya sejajar, dia tidak akan segan-segan menyerangnya. Sekedar untuk memberinya peringatan. "Yang pasti aku tidak membutuhkan bantuanmu." Carora menggeram tertahan. Kesabarannya yang hanya sedikit, semakin diperburuk dengan apa yang dikatakan pria es itu. Dia beruntung Astro uang memiliki kekuatan es segera menyentuh punggungnya, menyalurkan hawa dingin melalui sentuhannya sehingga hatinya yang tadi terbakar, padam seketika. Carora mengembuskan napas lega melalui rongga hidungnya, meski tetap melayangkan tatapan membunuh pada Antares. "Kupikir kita di sini untuk saling membantu dan menjaga satu sama lain, bukan selalu bertengkar karena hal-hal kecil yang sangat tidak penting." Mata biru Tuan Callisto mengintimidasi Antares dan Carora. "Hentikan perdebatan kalian, mulailah serius menghadapi semuanya!" Antares memutar bola mata jengah. Ia melemparkan buku yang dibawanya dari perpustakaan ke depan Tuan Callisto. Buku itu mengambang, membuka halamannya satu demi satu. "Buku apa ini, Antares?" Tuan Callisto tidak dapat menutupi keheranannya. Ia baru pertama kali melihat buku ini. "Kau menemukannya di perpustakaan?" "Buku itu berisi penjelasan tentang musuh yang kita hadapi." Antares tidak menjawab pertanyaan Tuan Callisto, ia justru memberi tahu mereka yang menurutnya penting. "Namanya Nereida. Kau pasti masih ingat dengannya, bukan, Callisto? Adik seperguruanmu yang dilemparkan Ameris ke Lembah Kematian." *** Lenguhan pelan dan tertahan mengagetkan empat orang gadis yang sejak tadi berdiam diri, duduk di dua sisi tempat tidur kosong Fresya. Serentak mereka menoleh ke asal suara yang berasal dari Fresya yang masih belum sadarkan diri. Matanya masih terpejam rapat, meskipun bergerak-gerak dengan liar yang menandakan jika pemilik mata sudah sadar, tapi mata biru itu masih belum terbuka. Thea menggenggam tangan Fresya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan mengusap bahunya. Pegangan tangannya tak terlepas sejak mereka tiba di kamar ini ketika Fresya sudah dipindahkan dari kamar Antares. Melihat mata Fresya bergerak, juga merasakan pergerakan jari yang berada di dalam genggamannya, Thea bangkit. Dia memajukan tubuh, memeriksa keadaan Fresya lebih jauh. "Fre, apa kau baik-baik saja?" Thea bertanya dengan berbisik. "Apa yang kau rasakan? Bisakah kau membuka matamu?" Beberapa saat mata itu masih bergerak-gerak tanpa terbuka. Keringat mulai membasahi pelipis Fresya, seolah dia sedang dilanda mimpi buruk. "Apa yang dirasakannya?" tanya Lucia penasaran. "Apakah ada di antara kita yang bisa membaca pikiran?" Usia Lucia memang lebih tua dari beberapa bulan dari Fresya, dia yang paling muda kedua setelah gadis berambut pirang yang masih tak sadarkan diri. Namun, soal kepolosan, Lucia yang pertama. Dia selalu mengatakan apa yang ada di kepalanya tanpa berpikir terlebih dahulu. Tak jarang dia membuat teman-temannya kesal. Seperti sekarang. Thea berdecak. Dia yang paling tidak bisa menahan emosi tentu saja kesal. Lucia sudah tahu, tidak ada kekuatan semacam itu di Ameris yang dasarnya adalah kekuatan sihir. Mereka bukan mutan, bukan Profesor X atau Jean Grey yang bisa membaca pikiran. "Kupikir kau sudah tahu tentang itu, Lucy. Sejak awal!" Nada suara Thea meninggi. "Tidak ada yang namanya membaca pikiran di antara kita ataupun yang lainnya. Ini Ameris, bukan film X-Men!" belalaknya. Tita meringiis, Anne mengulum senyum. Memang sangat memusingkan setiap kali berurusan dengan kepolosan Lucia. "A ... aku hanya bertanya, Thea." Lucia gugup. Mereka semua sudah tahu bagaimana sifat Thea. Kekuatan sihir yang dimilikinya tidak sesuai dengan sifatnya yang mudah naik darah. "Mungkin saja, 'kan, salah satu di antara kita memilikinya." Thea menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Dia harus menimbun kesabaran lebih banyak lagi. Tak hanya Antares yang membuatnya kesal dan selalu menguras kesabarannya, Lucia juga demikian. "Jika pun ada, aku harap orang itu bukan aku." Ia menggeleng, kembali memfokuskan perhatiannya pada sepupunya yang tengah menggelengkan kepalanya. "Fresya, apa kau dengar suaraku? Kumohon, buka matamu!" pintanya serak. Kekhawatirannya pada adik sepupunya membuat dadanya sesak. Matanya memanas dipenuhi bulir-bulir air mata. Anne yang berada di sebelahnya, mengusap bahunya memberi kekuatan. "Aku yakin Fresya baik-baik saja," katanya menenangkan. "Kita semua tahu dia gadis yang kuat. Jika tidak, Putri Emery tidak akan memberikan kuasa untuk memimpin kita, padanya." Sekali lagi Thea menarik napas panjang. Air matanya sudah jatuh satu-satu, membasahi tangan Fresya yang berada dalam genggamannya. Sejak kecil mereka selalu bersama, Fresya lebih sering pulang ke rumahnya dibanding ke rumah keluarganya sendiri. Kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka, sangat jarang berada di rumah sehingga Fresya lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya. Mereka seperti saudara kembar dan nyaris tak terpisahkan. Mereka juga sering berbagi cerita, masuk ke sekolah dan klub yang sama. Fresya tak hanya pemimpin mereka di sini, dia juga ketua klub anggar di sekolah mereka. Fresya selalu ceria. Selalu tersenyum meskipun hatinya tengah terluka. Dia masih ingat saat hari ulang tahunnya ke lima belas satu tahun yang lalu. Fresya kecewa karena kedua orang tuanya tidak bisa hadir, bahkan untuk memberi selamat melalui telepon saja pun mereka tidak sempat. Mereka merayakan ulang tahun Fresya hanya berdua, bermain kembang api sampai tiba pergantian hari. Esoknya, Fresya bangun dengan wajah kembali ceria. Senyum manis sudah menghiasi bibirnya seperti hari-hari biasanya. "Aku yakin kau pasti kuat, Fre. Tunjukkan pada kami kekuatanmu itu.Bangun sekarang, buka matamu!" pinta Thea sedih. Suaranya serak dan bergetar karena tangis yang semakin deras. Anne memeluknya. Selama mengenal Thea beberapa bulan ini, tak pernah dia melihatnya menangis seperti sekarang. Pastilah Fresya sangat berharga baginya sampai-sampai Thea menumpahkan air mata untuknya. Jari-jari itu kembali terlihat bergerak. Mata yang tadi diam, sekarang kembali melakukan gerakan pelan. Beberapa detik kemudian, kelopak mata itu tebuka, menampilkan mata indah Fresya yang bersinar tak secerah biasanya. Sinar yang redup setelah beberapa jam terpejam. "Fre, kau sudah sadar?" Thea memeluknya erat, menciumi wajah Fresya dengan linangan air mata. "Thea, apa yang terjadi padaku?" tanya Fresya lemah. Suaranya jiga terdengar serak dan lirih. "Aku berada di mana? Apa aku sidah mati?" "Jangan berkata seperti itu!" Tangis Thea pecah lagi. "Kau berada di kamarmu. "Apa kau ingat apa yang terjadi?" tanyanya. "Kata Antares, kau bertempur melawan penyusup sendirian. Kau terluka karena itu." "Antares?" ulang Fresya lirih. Perlahan semua ingatan masuki kepalanya. Dia ingat apa yang terjadi. Antares yang menolongnya. Ares-nya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN