Menjadi Pembantu

1406 Kata
  "Permisi, Nyonya. Kang Sarmin sudah datang." Wanita tua itu berbicara pada seseorang yang sedang duduk, tidak dapat Malika lihat karena terhalang tubuh si wanita tua yang mengantar mereka berdua. Wanita tua itu mengangguk dan bergeser, berjalan menuju ke arah ruangan lain di bagian dalam. Kini dapat Malika lihat, sosok wanita yang sedang duduk di sebuah sofa tunggal besar di sana. Wanita yang sepertinya seusia dengan wanita yang tadi. Namun bisa dilihat perbedaan mencolok dari keduanya. Wanita ini terlihat awet muda meski rambut yang sama-sama putih dan postur tubuh yang terlihat seperti usia tua pada umumnya. Tapi sekali lagi, wanita ini masih nampak cantik menurut Malika. "Selamat siang, Nyonya Abel," sapa Kang Sarmin memberi hormat dengan sedikit membungkuk. "Selamat siang! Apa Kang Sarmin sudah mendapatkan asisten rumah tangga untuk saya? Apakah gadis ini?" tanya wanita yang dipanggil 'nyonya Abel' oleh Kang Sarmin, menoleh pada Malika. "Iya, Nyonya. Betul. Saya sudah membawa calon asisten rumah tangga yang akan bekerja di rumah ini." Kang Sarmin menyuruh Malika maju sedikit ke depan. "Dia Malika, usianya 19 tahun. Lulusan SMP dan merupakan tetangga saya di desa. Bapaknya baru saja meninggal satu minggu yang lalu, dan saat ini ia sedang membutuhkan pekerjaan, Nyonya." "Apakah anaknya rajin?" tanya Nyonya Abel masih memandang Malika. Menyusuri kepala, wajah hingga kaki. Tak ada senyum di wajahnya, meski Malika tahu sepertinya calon majikannya itu adalah orang yang baik. Entahlah gadis itu menilai dari mana. "Saya jamin, Malika ini anak yang rajin dan bisa diandalkan." Kang Sarmin memuji gadis itu, meyakinkan si Nyonya. "Baiklah, sesuai rekomendasi dari teman-teman saya di grup arisan, saya akan mencoba percaya sama kamu. Anak ini akan mulai bekerja hari ini." Nyonya Abel berhenti menatap Malika saat berbicara pada Kang Sarmin. Malika dan Kang Sarmin tersenyum tipis. "Bi Asri!" Nyonya Abel memanggil seseorang dengan wajah menghadap ke arah ruangan dalam. Dan seseorang datang dengan tergopoh-gopoh. Wanita tua tadi yang ternyata bernama Bi Asri. "Bi Asri, ini ... siapa tadi nama kamu?" tanya si Nyonya menatap calon pembantunya. "Malika, Nyonya!" sahut Malika. "Oh iya, Malika!" sela Nyonya Abel. "Mulai hari ini ia akan bekerja di rumah ini. Antarkan ia ke kamarnya dan Bi Asri beritahu pekerjaan apa saja yang harus gadis ini kerjakan!" perintah sang Nyonya. "Baik, Nyonya!" Bi Asri membungkukkan badannya, kemudian menatap Malika dengan senyum di wajah. "Ayo, saya antar ke kamar kamu. Dan saya akan ajak kamu keliling rumah." Bi Asri kembali berkata. "Baik!" jawab Malika. Kemudian gadis itu memandang Kang Sarmin di sebelahnya. "Baiklah Nyonya, kalau begitu saya pamit permisi. Dan maaf, kalo boleh sebentar saja saya ingin bicara dengan Malika di luar." Nyonya Abel mengangguk. Kang Sarmin kemudian memberi kode pada Malika agar mengikutinya. Di depan teras, "Akang pulang sekarang yah, Malika. Kamu baik-baik selama di sini. Akang tahu kamu anaknya rajin, turuti saja apa maunya majikan kamu, sejauh itu masih urusan pekerjaan. Mudah-mudahan kamu betah. Nanti Akang akan tengok kamu kalo datang ke kota lagi." Kang Sarmin pamit pada Malika sembari memberikan sedikit wejangan pada gadis 19 tahun itu. "Baik, Kang. Titip pesan pada Ibu kalo saya sudah sampai di sini dengan selamat. Sekali lagi terimakasih untuk semuanya." "Iya, sama-sama, Malika. Nanti Akang sampaikan pada ibu kamu. Akang pulang yah!" Kang Sarmin melangkahkan kakinya, perlahan meninggalkan rumah besar itu. Malika masih melihat sosok lelaki itu keluar pagar hingga tidak terlihat lagi. Berjalan sedikit cepat kembali memasuki rumah, menuju tempat tadi ia berdiri untuk pertama kalinya bertemu sang majikan. Wanita itu masih duduk di sana dengan sebuah buku tebal --seperti sebuah n****+-- di tangannya, dan kacamata bertengger di atas hidung. "Malika!" panggil Nyonya Abel saat Malika hendak menghampiri Bi Asri. Sontak gadis itu berhenti. "Iya, Nyonya!" "Saya harap kamu bisa bekerja dengan baik di sini. Jangan buat saya kecewa dengan sikap dan tingkah laku kamu nanti." "Baik, saya mengerti!" Malika mengangguk. "Ayo!" ajak Bi Asri setelah sang Nyonya selesai bicara. "Iya, Bi!" sahut Malika dan mengikuti kemana arah kaki wanita tua itu berjalan. Melewati ruangan demi ruangan yang nampak luas dengan hiasan-hiasan dinding yang terlihat cantik, semakin dalam ke arah belakang mereka melangkah. Bi Asri berhenti, tepat di depan sebuah pintu di dekat dapur kotor. Ya, dapur kotor! Bukan hal yang aneh, rumah-rumah mewah dan besar, pasti akan memiliki dua buah ruangan tempat aktifitas memasak tersebut, yaitu dapur bersih dan dapur kotor. "Ini kamar kamu, Malika." Bi Asri membuka pintu kamar yang terlihat lebih pendek dari pintu-pintu di ruangan kamar lainnya yang tadi gadis itu lewati. Di dalam ruangan kecil itu hanya terlihat sebuah kasur busa berukuran untuk satu orang dan sebuah lemari pakaian plastik kecil. "Ayo, kamu taruh barang-barang kamu dulu di dalam. Nanti Bibi ajak kamu keliling rumah sambil menjelaskan siapa saja anggota keluarga di dalam rumah ini, dan terakhir tentu saja, memberitahu apa saja tugas kamu selama bekerja di sini." Bi Asri berkata sembari menarik lengan Malika agar masuk dan meletakkan tasnya di dalam. "Anggota rumah ini semua berjumlah empat orang. Nyonya Abel, Tuan Sakti yaitu suami Nyonya, Tuan muda Abraham dan satu lagi Nona Pamela." Bi Asri mulai menjelaskan, berjalan menyusuri lorong di area belakang rumah. "Anak Tuan dan Nyonya semuanya empat, tapi yang dua sudah menikah. Mereka sudah tidak tinggal di sini, hanya sewaktu-waktu saja, itu pun jarang sekali sejak mereka berkeluarga." Kini keduanya menaiki sebuah tangga, menuju lantai dua. "Nyonya sebetulnya orang yang baik, cuma semenjak sakit-sakitan dan kondisinya melemah, Nyonya sering banyak diam." Bi Asri berhenti bicara ketika sudah sampai di lantai atas. "Di sini adalah lantai dimana kamar penghuni rumah berada. Itu kamar Nyonya dan Tuan, ini kamar Tuan Muda, dan di sebelahnya adalah kamar Non' Pamela." Bi Asri menunjuk satu demi satu pintu-pintu yang tertutup. Malika masih menyimak dan belum mengeluarkan suara satu patah kata pun. Hanya anggukan saja yang ia berikan sebagai respon dari kalimat yang Bi Asri berikan. "Tugas kamu sehari-hari adalah mencuci pakaian seluruh penghuni rumah, termasuk para pembantu yang lain. Pakaian yang sudah kering, tentu saja langsung kamu setrika dan taruh di dalam lemari masing-masing pemiliknya. Selain itu, menyapu dan juga mengepel rumah adalah tugas kamu. Urusan memasak sudah ada pembantu yang lain yang mengerjakannya." Bi Asri Mulai membicarakan tugas. "Setiap pagi, kamu ambil pakaian kotor yang ada di dalam keranjang di masing-masing kamar, tapi tunggu penghuninya pergi, baru kamu masuk." "Baik!" jawaban Malika setelah sejak tadi terdiam. "Apa ada yang kamu ingin tanyakan dan yang belum kamu pahami?" tanya Bi Asri. "Ehm, apakah seluruh penghuni rumah ini setiap hari pergi ke luar?" tanya Malika sedikit ragu. "Tuan Sakti masih aktif bekerja, meski ia sudah sepantasnya istirahat di usianya yang sudah tidak lagi muda. Itu juga yang sepertinya membuat Nyonya sering diam melamun karena di usia senjanya, sang suami bukan menemani beliau di rumah, malah masih sibuk bekerja." Ada raut kesedihan di wajah Bi Asri ketika membicarakan majikan perempuannya itu. "E-eh, maaf, Bibi terlalu terbawa suasana." Wanita itu mengerjapkan matanya dan kembali menatap Malika. "Tidak apa-apa, Bi." Malika membalasnya dengan tersenyum. "Oh ya, Tuan muda juga setiap hari berangkat, bekerja. Di kantor yang sama dengan Tuan Sakti. Sedangkan Non' Pamela sering keluar rumah juga meski tidak setiap hari. Ia memiliki sebuah galeri seni dan sibuk mengurusnya." Bi Asri kembali melangkahkan kakinya menuju ruangan lain yang ada di lantai dua itu. "Pantas saja, banyak lukisan dan juga perabot seni di dalam rumah ini, ternyata ada anggota keluarga yang memiliki hobi seperti itu." Gadis itu bersuara di dalam hati. Malika bukanlah gadis desa yang bodoh. Meski ia hanya seorang gadis tamatan SMP, tapi wawasan yang ia miliki lumayan cukup tinggi, itu semua karena hobinya yang senang membaca buku. Benar pepatah mengatakan, jika 'Buku adalah jendela dunia'. Semua hal yang Malika tahu tentang lingkungan sekitar, berasal dari buku-buku yang ia baca. Pun dengan keadaan di dalam rumah yang mulai saat ini akan Malika tempati, semua ornamen dan hiasan yang ada di dalamnya penuh dengan karya seni yang tinggi. "Oh iya, Malika. Ada hal yang harus Bibi sampaikan, ini untuk jaga-jaga diri kamu selama bekerja di sini." Wajah Bi Asri tiba-tiba berubah serius. "Ada hal apa, Bi?" jawab Malika penasaran. "Sebetulnya Bibi tidak mau berburuk sangka terhadap apa yang sudah terjadi sebelumnya. Tapi menurut Bibi, kamu harus lebih berhati-hati bila berhadapan dengan Tuan Sakti nanti." "Memang kenapa, Bi?" Malika mengerutkan dahinya berusaha memahami apa yang Bi Asri maksudkan." "Bibi merasa jika Tuan Sakti adalah orang yang genit. Dengan wajah kamu yang cantik, Bibi takut kamu akan mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari Tuan Sakti." Bi Asri berkata dengan setengah berbisik. "M-maksud Bi Asri?" Malika merasakan sedikit kekhawatiran di pikirannya kini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN