AMIRA
HAIDKU JALAN KEMATIANKU
Part 6
Lembabnya suhu udara dingin pegunungan, mungkin salah satu yang membuat butiran embun datang lebih cepat dibandingkan ditempat lain. Sweater tebal yang dipakai Amira, sedikit banyak mampu meredam cengkraman dingin yang menusuk tubuh, tetapi tidak pada telapak tangannya yang terbuka.
Rasa dingin seperti akar yang merambat. Semakin lama akan semakin kuat, begitu pula yang dirasakan gadis muda itu.
Dingin yang berasal dari jemari tangan yang terbuka, mulai terasa menusuk, sehingga membuatnya terbangun perlahan. Mengerjap sebentar, lalu tersentak saat tersadar, jika sedang berada di dalam pelukan Darmawan.
Menarik tubuh dan tangannya perlahan dari tubuh pria dewasa tersebut, lalu memberanikan diri menengadahkan kepalanya,
Memandang wajah Darmawan yang sedang tertidur bersandar dari jarak sedekat ini.
Terasa ada desiran halus melintas di hati Amira, paras wajahnya mulai terasa hangat.
Darmawan, pria pertama yang bisa sedekat ini dengannya, satu-satunya lelaki yang pernah memeluk dan dipeluk olehnya, membuat gadis muda belia ini merasakan rikuh dan serba salah bagaimana harus bersikap di jarak yang serapat ini.
Selama ini dia merasakan takut jika didekati oleh lawan jenisnya, tetapi itu tidak dirasakannya saat ini. malah ia merasakan kedamaian dan ketenangan meresap ke dalam tubuhnya.
Sesaat mata Darmawan mulai perlahan terbuka. Karena rasa rikuh yang menghinggapi, Amira kembali berpura-pura tertidur dengan secepatnya menyenderkan kepalanya di bahu pria tersebut, dia benar-benar merasakan malu dan serba salah saat ini.
Sebenarnya Darmawan mengetahuinya, tetapi dia pun berpura-pura tidak tahu, karena tidak ingin membuat gadis kecil ini lebih malu lagi terhadap dirinya.
"Bangun, Amira." Darmawan membangunkan pelan. "Udara sudah semakin dingin, sepertinya sudah hampir menjelang pagi," ucapnya.
Amira lantas berpura-pura seperti orang yang baru terbangun, telapak tangannya mengusap-usap pelan wajahnya.
"I--iya, Om."
Seperti membimbing, Darmawan lantas berdiri berbarengan dengan Amira, dan melangkah perlahan kembali ke dalam villa, menapaki jalan setapak berbatu yang mulai sedikit licin karena basah oleh butiran embun, jemari Amira mencengkeram pelan tangan Darmawan saat ingin menuruni bukit mini tersebut.
"Tidurlah lagi sebentar," ucap Darmawan, saat mereka sudah berada di dalam villa tersebut, sembari tangannya membuka kamar tidur yang terletak di dalam ruang tamu utama. Lantas mempersilahkan Amira untuk masuk ke dalam, sementara dirinya bergegas menuju ke kamar tidur yang lainnya.
"Om." Panggilan dari Amira menghentikan langkahnya, lantas menoleh sebentar, seperti ingin tahu apa yang ingin di sampaikan.
"Bantu aku ya, Om." Permintaan Amira kepada Darmawan. Ia hanya tersenyum tipis.
"Tidurlah." Darmawan Kembali berbalik badan
dan mulai masuk keruangan dalam.
"Jangan lupa, kunci pintunya!" teriak Darmawan dari ruangan dalam.
"Iya,Om. Iyaaa...." Amira segera menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.
'Menghangatkan tubuh, tertidur di dalam selimut tebal, tidak ada lagi yang lebih baik dari ini' bathin Amira.
di dalam cuaca yang sedingin ini, Amira pun kembali tertidur.
Amira terbangun setelah mendengar ketukan pintu terus terdengar dan suara seseorang memanggil-manggil, badannya masih terasa pegal dan lemas, dirasakan tidur pun belum terlalu lama. Amira teringat, seharusnya jika dilihat dari pengalaman Asmah dan yang lainnya saat menerima tamu pertama kali, dia seharusnya sudah ada di tempat penampungan Mami Merry saat ini.
"Tok--tok--tok, Neng, bangun, Neng. Tuan Darmawan memanggil."
"Saya, Pak. Sebentar." Bergegas bangun Amira, merapikan rambut lalu segera membuka pintu kamar.
"Di tunggu Tuan di teras depan, Neng," ucap si bapak, yang Amira sendiri tidak tahu namanya. Sepertinya beliau memang orang yang ditugaskan untuk mengurus dan menjaga villa ini.
"Baik, Pak. Sebentar lagi saya ke teras depan," jawab Amira, sambil menutup pintu kamar dan ke kamar mandi sebentar untuk sekadar membasuh wajah.
"Ke luar dari pintu utama, Amira melihat, pria yang semalam mengantarkannya ke villa ini, sedang duduk bersama Darmawan. Perlahan Amira mulai mendekati. Amira melihat pemuda itu hanya tertunduk saja.
Sementara di luar rumah, cahaya mentari sudah mulai terlihat, walaupun masih dalam bentuk sketsa warna remang diantara kegelapan, dan cuaca terasa sangat dingin sekali.
"Amira ... si, akang ini ingin menjemputmu," terang Darmawan, kepada Amira, sembari tangannya menunjuk ke arah Edi.
"Omm, tolong saya, Om," ucap Amira, lirih. "Saya tidak ingin kembali ke tempat Mami Merry." Air mata Amira mulai menggenang.
"Duduk sini, Amira," ucap Darmawan, sembari memegang bangku kosong yang ada di sebelahnya, dan Amira pun duduk di situ. Amira hanya menunduk saja, tidak berani menatap ke wajah Edi.
"Siapa tadi namamu?" tanya Darmawan kepada pemuda itu.
"Edi, Pak. Edi Suhendi," jawab pria itu, memperkenalkan namanya.
"Nah, Edi. Kamu sudah dengar kan? Jika Amira ini, menolak untuk ikut bersamamu," terang Darmawan.
"Maaf, Pak. Tidak bisa, ini perintah dari bos saya," terang Edi, menjelaskan.
"Bos mu yang semalam menyuruhmu membawa Amira dan surat proposal itu kan?" tanya Om Darmawan kepada Edi.
"I--iya, Pak," jawabnya, sedikit tergagap.
"Panggil bosmu ke sini, bilang sama dia, saya mau bicara!" perintah Darmawan kepada Edi.
"Panggil bos saya, pak?" tanya Edi, meminta kejelasan.
"Ya, panggil bos kamu, bilang. Saya mengajak bertemu. Itu kan? Yang diinginkan bosmu, agar bisa menemui saya," terang Darmawan lagi kepada Edi.
Baik, Pak. Jika begitu saya pamit dulu sebentar." Edi berdiri, dan sedikit menunduk memberi hormat.
"Silahkan, saya tunggu bosmu di sini."
Edi segera menaiki motornya dan pergi untuk memanggil atasannya, sementara Om Darmawan memanggil bapak tua itu, untuk minta di buatkan dua teh hangat dan roti bakar untuk sarapan kami berdua.
Si bapak pun segera masuk ke dalam, untuk membuatkan pesanan Darmawan.
"Kamu siap-siap pergi, Amira. Bukankah masa tugasmu sudah berakhir dengan saya?" tanya Darmawan, Tanpa menoleh ke arah Amira, lalu mengambil bungkus rokoknya di meja, menyalakan dan mengisapnya perlahan.
Amira terlihat sedih dan kebingungan, tidak inginkah, Darmawan menolong dirinya keluar dari jalan nista ini. Walaupun Amira sadari tidak akan semudah itu, dan akan membuat terjadinya konflik antara Om Darmawan dengan Bos Gendut juga dengan Mami merry.
Tidak lama sebuah sedan mewah masuk ke dalam halaman, Darmawan menengok sesaat ke arah Amira, terlihat rasa ketakutan, khawatir dan kesedihan tergurat dari raut wajah gadis kecil tersebut.
Bos Gendut, pria asing yang Amira sendiri tidak tahu namanya, dan Edi, tiba di depan teras rumah, Darmawan bergegas berdiri dan menyalami mereka lalu mempersilahkan mereka duduk, hanya Bos Gendut dan pria itu yang duduk, sementara Edi berdiri agak menjauh.
"Bapak berdua kenal dengan gadis ini?" tanya Darmawan memulai pembicaraan kepada mereka berdua.
sesaat mereka terdiam dan saling berpandangan, lalu Bos Gendut memulai bicara.
bersambung :