12. Berduaan

1606 Kata
"Gio lihat ombaknya!" seru Resya kegirangan, Gio hanya berjalan menyusuri pasir putih sedangkan gadis itu sudah membasahi kakinya. Resya memang suka sekali bermain air, gadis itu bebas dan lepas. "Sya, sebenarnya aku penasaran dengan kisah hidupmu."Gio membuka obrolan, selama pertemanan itu ia memang jarang bertanya dengan Resya mengenai kisah hidup gadis tersebut. Mungkin memang hanya sebatas obrolan biasa, karena lelaki itu takut melebihi apa yang seharusnya ia tahu. Tapi, yang Gio tahu Resya sama sepertinya mencari dimana orang tua mereka berada. Bedanya, Gio masih memiliki Mama yang setia mendampinginya sedangkan Resya sejak kecil tak mengetahui keberadaan kedua orangtuanya. Bahkan kata gadis itu Tante Melody sengaja menutupi semuanya. Gio sendiri takjub dengan hidup Resya yang penuh kekuatan, ia berani menghadapi dunia tanpa siapapun. Gadis itu bahkan tak pernah merindukan Papa dan Mamanya, atau mungkin merindukan tetapi ia pendam. namun yang jelas, Resya memang anak yang kuat. Mengapa orang dewasa selalu sibuk dengan menutupi masalah mereka? Mengapa mereka tak membiarkannya meluap begitu saja? Gio tak tahu tetapi, itu membuatnya semakin penasaran. Apalagi keberadaan Papanya. "Kan' kamu sudah tahu." jawabnya, Gio mengangguk. "Iya aku tahu, maksudku jadi sampai detik ini kamu belum mengetahui dimana kedua orang tuamu?" tanyanya yang diangguki Resya. Sedih sebenarnya jika harus membahas permasalahan itu, Resya harus merindukan kedua orang tuanya dan menerka-nerka jika mereka masih menghirup udara yang sama dengannya. "Aku udah pernah minta Tante Melody untuk mengatakan yang sebenarnya, tapi beliau selalu mengatakan jika Ibuku sudah tiada dan pergi sedangkan ayahku entah kemana." "Ternyata kita sama ya?" celetuk Gio yang sontak membuat Resya menoleh kearah cowok itu dengan tatapan tak mengerti. "Kamu jangan mengira Mama Anggun dan Papa Tio adalah orang tua kandungku. Mereka adalah paman dan Bibiku." Resya terkejut bukan main, dan menutup mulutnya tak menyangka. Gio hanya menampilkan wajah datar. Ya, wajar sih jika gadis itu terkejut karena ia memang tak pernah menceritakan semuanya secara terperinci. "Ternyata kita memiliki kisah yang sama ya, lalu dimana orang tuamu?" "Mama bersama Rio dan Papa entah kemana. Tapi aku masih ingat jika Mama dulu pernah mengatakan kalau Papa ada diluar negeri. Namun, aku tidak percaya dengan perkataan itu yang sekarang terdengar janggal." "Janggal gimana maksud kamu Gio?" "Kalaupun Papa aku ada diluar negeri pasti beliau berusaha menghubungiku atau setidaknya mengirimkan hasil jerih payahnya untukku? Jujur saja Resya, aku takut lahir dari hubungan gelap." tutur Gio menceritakan keluh kesahnya. Ya, semenjak dikantin sekolah tadi jujur saja, Rio membuatnya berpikir hal yang serupa. Meski sebenarnya itu tidak penting, tapi ia harus benar-benar tahu dimana Papanya, agar ia bisa membalaskan dendam karena selama ini tak pernah berniat mengasuhnya dengan Rio. Resya meringis, cukup menyakitkan sih pemikiran itu tetapi terkadang memang harus dikeluarkan. "Gio, sebenarnya kamu gak perlu repot-repot memikirkan hal itu karena Mama kamu sudah berusaha sekuat mungkin untuk membesarkan kamu dengan Rio." nasehat Resya. Gio hanya menghela napasnya panjang. "Asal kamu tahu, kenapa aku bisa menerima ini semua? Ya karena memang mungkin jalannya seperti ini, Aku bersyukur sih masih bisa memiliki orang yang sayang dan ingin merawatmu terlepas dari apapun." Resya mencoba memberi pencerahan kepada temannya itu. Karena menurutnya membuang waktu saja untuk memikirkan hal-hal yang tidak sepantasnya. Belum tentu yang mereka pikirkan benar adanya, pasti ada alasan terbesar orang tua menyembunyikan hal itu. Gio berjalan mendekat kearah Resya, tak peduli ombak menerpa kakinya. Anak itu menggandeng tangan Resya, dan menatap wajah gadis tersebut dengan senyuman manis. "Alasan terbesar ku kuat ya kamu sya. Kamu selalu menjadi warna dalam hidup aku." Gio akui, Resya memang membawa pengaruh besar bagi hidupnya. Warna-warna yang di suguhkan oleh gadis itu tak bisa Gio tolak, dan sayangnya ia juga tak bisa menghentikan rasa sayangnya kepada Resya. Jujur, ia menyukai Resya hanya saja sangat tidak mungkin untuk mengatakan yang sebenarnya. Pemikiran gadis itu masih terlalu dini, bahkan menganggap sinyal-sinyal Gio hanyalah sebuah guyonan belaka. Pun, usia mereka yang sangat masih muda, membuat mereka tidak mungkin menjalankan sebuah hubungan lebih dari teman. Tapi, Gio berjanji akan selalu menemani Resya dimanapun gadis itu berada, agar ia tak kehilangan cintanya. Gio sebenarnya pernah menjalani sebuah hubungan dengan beberapa anak perempuan. Cinta-cinta monyet itu tentunya beda dengan cinta yang ia harapkan kepada Resya. Bagaimana ya mengatakannya? Resya berbeda dengan perempuan teman kelasnya atau adik kelas yang lain. Diantara mereka banyak yang sudah berani meminta barang-barang mahal kepadanya, bukan meminta ketulusan darinya. "Aku harap kita selalu bersama Gio. Aku, kamu, Micel, Alex, Rio, dan teman-teman yang lain." tuturnya. Lihatlah, bahkan pengharapan Resya berbeda darinya. Gadis ini sangat menyukai kesetiaan dalam pertemanan, bahkan menganggap mereka semua adalah keluarga. Gio paham, mungkin memang rasa sepi itu mendorong gadis ini untuk selalu setia dengan teman-teman. Gio mengangguk dan tersenyum, "Sebentar lagi aku melanjutkan pendidikanku di Universitas yang kemungkinan aku akan pindah ke luar kota." sontak saja Resya menoleh kearah Gio, ia tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Kabar ini jelas-jelas membuatnya terkejut. "Kenapa tidak melanjutkannya disini saja?" tanya Resya. Gadis itu takut jika jarak dan waktu membuat jarak diantara keduanya. Bukankah tidak ada yang pernah yakin dengan hubungan jarak jauh? Gio merasa tak enak mengatakan ini secara tiba-tiba dengan Resya, tetapi sebenarnya pembahasan ini sudah jauh lebih dulu ia bahas dengan keluarga dan pilihan Gio memang seperti itu. "Melanjutkan pendidikan di luar kota juga gak kalah bagusnya Resya, lagi pula aku ingin menambah pengalaman." "Maksudmu dengan memiliki teman-teman baru? Lalu kamu melupakanku?" gerutunya, Resya benar-benar tak suka dengan momentum ini. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Sebesar itu cintanya terhadap teman-teman mereka. "Bukan Resya, bukan begitu. Aku harap kamu mengerti, pergi ku pun hanya untuk menggapai masa depan yang cerah! aku harus mengejar cita-cita ku." terangnya, Resya tertunduk sedih. Kaki mereka sudah melangkah sangat jauh dari mobil yang terparkir. Mereka berhenti untuk saling memandang. "Aku janji akan selalu memberi kabar untukmu nanti. Aku juga janji tidak akan ada teman wanita selain kamu." "Tapi gang kita?" tanya Resya, jiwa-jiwa semangat memang masih menggebu di pikiran gadis ini. Gio hanya tersenyum. "Gang kita sudah berjalan selama tiga tahun kan?" gadis itu mengangguk. "Kamu tidak perlu khawatir dan pedulilah dengan pendidikanmu. Sekeras apapun kita membuat gang kita tetap ada, tidak akan bisa. Semakin berjalannya waktu semuanya punya kesibukan dan tak mungkin melakukan sesuatu yang sia-sia Resya." nampak jelas raut kesedihan dan kekecewaan diwajah Resya. "Lalu Iqbal dan teman-temannya bagaimana?" Gio tersenyum lagi, lalu mengusap rambut Resya penuh sayang. "Kamu kan' sudah berhasil membuat mereka kapok. Percayalah, pasti mereka sudah tak ingin membuat kesalahan yang sama di dalam sekolah?" "Lalu bagaimana dengan diluar sekolah." Gio seketika nampak terdiam. Sebenarnya ini adalah gang yang ia buat, berdasarkan idenya dan kemauanya. Tapi, Gio juga tidak bisa melakukan hal itu lagi. Demi cita-citanya ia harus merelakan gang yang ia buat selama tiga tahun yang membesarkan namanya disekolah. Namun, lagi-lagi itu semua tidak penting bagi seseorang yang tumbuh dewasa, bagi orang dewasa bukankah waktu adalah uang dan waktu adalah sesuatu yang berguna untuk digunakan dimasa depan. "Kamu tenang saja, aku dan teman-teman jika masih memiliki kesempatan kami akan membantumu." terang Gio mencoba berusaha menenangkan Resya. Gadis itu terlalu takut untuk ditinggalkan dan ia mengerti akan hal itu. Resya menghela napasnya. "aku tidak yakin itu." lirihnya, Gio hanya bisa terdiam tak bisa berbuat apa-apa selain sedih melihat air mata Resya yang hampir menetes. "Kalau begitu, mau ikut makan malam denganku?" tawar Gio, Resya menggeleng. Ia tidak nafsu untuk makan malam kali ini. Melihat penolakan itu, Gio merasa bersalah. "Aku ingin pulang saja." katanya pelan, Gio mengangguk dan mereka berjalan untuk kembali menghampiri mobil Gio. Resya tentu saja sedih, harus kehilangan teman-teman disekolah yang sudah akrab dengannya. Sayang sekali, teman-teman itu kebanyakan adalah kakak kelasnya dan Resya siap tak siap harus mulai kehilangan mereka karena sebentar lagi mereka harus melanjutkan pendidikan. "Kenapa sih? Sejak tadi kamu murung?" tanya Melody yang terusik melihat keponakannya itu terdiam lesu di teras depan rumah. Resya menoleh sejenak tanpa minat. "Gak ada apa-apa Tante. Aku hanya kecapean." "Capek? Capek kenapa? Apa guru-guru mu memerintahkan mu untuk menguras kolam sekolahan karena kamu nakal?" sindir wanita itu, Resya mendelik dengan kesal sedangkan Melody justru tertawa kecil. "Oh.. Tante tahu! Atau jangan-jangan kamu putus dengan si Gio itu ya?" goda Melody lagi, Resya langsung menegak dan menggeleng. "Aku gak pacaran Tante! Kami hanya berteman dan gak lebih!" terangnya, Melody hanya tersenyum penuh arti. "Tante pernah muda ya?" "Tapi masa muda Tante denganku beda, aku tidak suka pacar-pacaran." tutur anak itu, Melody hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba mengerti. "Oke baiklah. Lalu, kalau bukan karena diputuskan apa dong?" Resya menghela napasnya, haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Tapi hanya Tante Melody yang bisa memberinya semangat dan rasa pengertian. "Kakak kelasku, termasuk Gio akan lulus dan melanjutkan pendidikan diluar kota Tante." terangnya, Melody tersenyum penuh arti. "Sudah Tante duga kan' pasti karena laki-laki." "Ih! Tante tapi bukan berarti kami pacaran. Ini masalah pertemanan, dan aku akan kehilangan teman-teman ku." Melody tersenyum. "Begitulah kehidupan, kamu tidak bisa selalu mempertahankan apa yang kamu punya. Apalagi mereka juga memiliki masa depan mereka sendiri." "Tapi Resya sudah tidak punya teman lagi dan akan kesepian." tuturnya sedih, Melody menjadi ikut sedih melihatnya. Ia mengerti sekali di posisi Resya, pastilah ia takut akan kesendirian seperti mendiang ibundanya dulu yang hidup tak punya siapa-siapa karena itulah Resya berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan teman-temannya belum lagi pikiran gadis ini yang masih kekanak-kanakan. Melody mencoba merangkul ponakannya itu, memberi kekuatan. "Jangan sedih dong! Ini kan zaman modern bukan megalitikum yang segala sesuatunya sulit. Kalau jauh kita bisa naik pesawat untuk bertemu kalau gak punya duit bisa beli kuota untuk bertegur sapa melalui ponsel. Kamu jangan sedih ya?" kata wanita itu, meskipun belum sepenuhnya tenang Resya mengangguk mengiyakan. Melihat keponakannya yang murung seperti ini, Melody sebagai orang tua merasa sedih melihatnya. Ia ingin sekali melihat Resya selalu ceria dan aktif tidak sepeti saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN