13. ketahuan

1505 Kata
Anak lelaki itu sudah ada di basecamp bersama teman-teman yang lain. Rencananya mereka akan membahas masalah Iqbal dan menuntaskan segala sesuatunya atau paling tidak hanya nongkrong biasa. Entahlah, mengapa harus Iqbal yang menjadi rival mereka padahal malas sekali rasanya memberikan pengertian kepada anak-anak itu. "Kamu gak jemput Resya?" tanya Micel kepada Gio, Anak lelaki itu lebih banyak diam dibanding sebelumnya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan tanda tanya dibenak teman-temannya. "Gak." begitu singkat. "Kenapa?" tanya Alex penasaran, tumben sekali Gio tak menjemput Resya, padahal jika dipikir, Gio dan Resya itu bagaikan prangko selalu nempel. dimana ada Gio disanalah ada Resya. Gio begitu perhatian dengan gadis itu. "Nomor hapenya gak aktif, Resya sedang marah." sontak saja ketiga orang itu terkejut. Menatap Gio dengan tatapan tak percaya. Teman-temannya pikir mereka tidak bisa saling mendiamkan layaknya sepasang kekasih tetapi ternyata.. "Marah?" pekik Micel, Gio mengangguk lemah. Resya yang seperti ini membuatnya nelangsa. "Ya, karena aku mengatakan akan melanjutkan pendidikan diluar kota nanti." lirih Gio merasa menyesal. "Ya ampun, kenapa kamu harus bilang lebih awal sih? Dan gak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Resya?" protes sahabatnya. Gio hanya bisa mengedikkan bahu acuh. Mungkin karena terlalu dekat, ia bahkan tak bisa menyembunyikan hal sekecil apapun dari gadis itu. Bahkan untuk sekedar melukai hatinya saja Gio tidak bisa. "Aku harus gimana? Apa harus batal memilih universitas di Yogyakarta?" ia meminta pendapat kepada teman-temannya. "Apa kamu gila? Mama Anggun dan Papa Tio sudah memilih kan' pilihan yang tepat." gerutu Rio, ia hanya tak ingin kembarannya itu melakukan hal sia-sia untuk orang yang bukan siapa-siapanya. Gio memutar bola matanya jengah. "Kamu hanya tidak berada diposisi ku Rio." kata Gio mencoba membuat Rio paham akan apa yang tengah ia rasakan. "Justru aku bersyukur tidak berada diposisi mu, aku tidak perlu mengorbankan waktuku untuk gadis yang hanya mencemari masa depanku." sarkasnya, Gio sontak marah dan langsung berdiri untuk melayangkan bogeman mentah kepada kembarannya itu, tetapi Micel dan Alex menghentikannya. Rio masih duduk dengan tenang. pertengkaran itu sering saja terjadi, tapi tak berjalan lama karena berikutnya mereka akan kembali baik-baik saja. "Sudah-sudah! Kalian ini saudara kandung kenapa harus bertengkar hanya karena Resya sih?" meski begitu teman-temannya tak ingin ada kegaduhan. Rio tersenyum meremehkan. "Entahlah, seberharga itu Resya untuk Gio." cibirnya lagi, Gio hanya bisa mengepalkan tangannya kesal. "Apa aku pernah mengusik mu? Ini tentang ku, kamu tidak perlu ikut campur." "Jelas aku harus ikut campur, mereka mengkhawatirkan masa depanmu dan kamu? Justru menghawatirkan masa depan anak gadis yang tidak kamu tahu asal-usulnya." wajah Gio sudah merah padam, ia benar-benar tak suka dengan Rio yang memiliki mulut tajam. Seolah-olah tak punya perasaan. Gio bingung, apa alasan kembarannya itu sangat membenci Resya padahal, gadis itu tak pernah membenci Rio sedikitpun. Jika Rio tahu, bahwa Resya adalah gadis yang baik. "Sudah Rio! kita bahas masalah lain kamu tidak perlu ikut campur masalah Rio. Dan kamu Gio, tenanglah pasti Resya akan bisa melewati ini dengan terbiasa." Micel mencoba menengahi, Alex mengangguk setuju. "Besok mending kamu minta maaf dan buat hari-harimu lebih berwarna bersama Resya." kata Alex, Gio mengangguk setuju. Teman-teman mereka sudah tahu, bagaimana hubungan Gio dan Resya, mereka memang tidak memiliki hubungan lebih dan hanya sebatas teman tapi kedekatan mereka tidak bisa dikatakan hanya teman. Bagaimana mengatakannya? Mereka seperti saling memiliki tapi tidak untuk hubungan lebih. "Kita bahas masalah Iqbal saja." Mereka setuju. "Jadi, apa kita jadi mengambil ide Resya?" tanya Alex. "Untuk apa? Iqbal bahkan sudah dapat apa yang sepantasnya ia dapat." kata Rio. "Benar juga sih, lalu bagaimana?" "Tapi Elma jadi pergi?" tanya Alex kepada Micel, anak itu menggeleng tak tahu. "Kita harus waspada! Jika Elma jadi pergi takutnya Iqbal akan melakukan sesuatu yang jahat." "Kamu benar Alex!" seru Gio "Lebih baik kamu hubungi Elma lebih dulu untuk memastikan ia tetap ada dirumah." Rio mencoba menenangkan, dan Micel mengangguk. "Ya, hallo ada apa sayang?" suara itu terdengar dari benda pipih tersebut. "Apa kamu jadi pergi menemui Iqbal?" tanya Micel. "Tidak sayang, kan' belum ada aba-aba dari kalian." Ke empat pria itu bernapas lega. "Syukurlah, kalau begitu kamu dirumah saja ya? Jangan kemana-mana." "Iya kamu tenang aja." "Oke, nanti lagi ya? Aku masih mau nongkrong dengan teman-teman." "Iya." putus Elma, Micel menyimpan ponselnya di saku jaket. "Nah! Amankan? Jadi kita gak perlu balas dendam ke mereka lagi." terang Rio, mereka mengangguk. "Mungkin memang sepertinya sudah saatnya kita membubarkan gang ini, karena bagaimanapun juga kita akan berpisah kan?" "Bubar?" pekik Micel, Gio mengangguk. "Iya, untuk apa? Kita punya masa depan kita nantinya dan akan sibuk dengan masa depan kita. Gak mungkin kan kita berusaha seolah-olah menjadi pahlawan untuk orang dan bahkan tidak digaji?" terang Gio, mereka terdiam. Ada benarnya yang laki-laki itu katakan. Tapi, sangat sulit meninggalkan gang ini. "Kenapa tidak membiarkan Resya melanjutkan gang ini?" Gio dengan cepat menggeleng. "Aku gak mau Resya melupakan kewajibannya sebagai seorang siswi, belum lagi dia juga harus membantu tantenya di kedai. Dan apa kalian percaya gang ini akan berlanjut dengan baik? Cepat atau lambat pasti akan bubar." terang Gio, ia sudah memikirkan semuanya dengan matang termasuk hal untuk meninggalkan Resya. Cukup sulit baginya, tapi kepergian Gio adalah untuk menggapai masa depan yang baik. Suatu saat pasti ia kembali untuk Resya. "Kamu benar, semakin bertambahnya usia kita bahkan tak peduli lagi dengan orang-orang yang berbuat jahat kepada orang lain. Kecuali terhadap orang-orang yang kita sayangi." Gio mengangguk. "Kalau begitu, semoga saja nanti kita tidak akan pernah saling melupakan." "Semoga saja." katanya. Ditempat lain, Resya tengah mengamati gemerlap bintang yang terang mengisi gelapnya langit. Seperti itulah hadirnya Gio dan teman-temannya dalam hidup gadis itu. Dan ternyata memang mungkin, mereka akan meredup dan menghilang layaknya bintang. Perasaan anak gadis yang sesedih itu. Lebih diinginkan orang dewasa ketimbang menghadapi masalah orang dewasa yang tiada akhirnya. Malam ini, Resya jalan-jalan di pantai Sanur bersama Wendy. Ia sengaja mengajak sahabatnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. "Kalau nanti kita berpisah, kamu bakalan punya temen baru gak?" Wendy mengedikkan bahu tak tahu. "Tapi kan, itu proses Resya?" Resya menoleh kearah Wendy. "Begitu ya? Kenapa kamu mudah sekali melepaskan?" "Ya, karena aku tidak terlalu mencintai dan mengharapkan. Asal kamu tahu, yang membuat manusia-manusia mudah kecewa adalah harapan yang melebihi ekspektasi. Kalau kamu berharap demikian sudah pasti kamu kecewa dan sedih. Manusia-manusia lemah dan kuat pasti berusaha menghindari perasaan itu, kalau boleh memilih mungkin netral dan tak punya masalah adalah hal yang lebih baik." terang Wendy panjang lebar, sepertinya memang benar yang dikatakan gadis ini. Ia terlalu banyak berharap pada sesuatu yang belum nampak, pikirnya pertemanan ini tak akan pernah usai, tapi nyatanya perpisahan menjadi momok menakutkan bagi resya. Ia sedih, sedih sekali juga merasa bodoh atas pikirannya. "Aku pengen seperti kamu Wen, yang mudah melupakan." "Bukan melupakan Resya, tapi beradaptasi." "Iya aku tahu, tapi kamu mudah sekali untuk melupakan kenangan-kenangan itu." "Sudah-sudah, kamu terlalu berlebihan. Percayalah semua akan baik-baik saja kok." Kata Wendy ingin menyudahi sesi bermuram durja itu. "Bagaimana kalau kita menikmati coklat panas disana?" tunjuk Wendy disalah satu kedai yang tak jauh dari pantai itu. Resya mengangguk dan setuju, mereka berjalan bersama menghampiri kedai tersebut. Saat hampir sampai di kedai itu, mata Resya membelalak lebar, dari samping seperti ini ia bisa melihat Elma dan Iqbal tengah bermesraan di kedai itu. Berduaan menghabiskan waktu bersama. Sebentar.. bukankah Iqbal berusaha mendekati Elma dan menjadikannya mangsa? Bukankah malam ini adalah rencananya dengan anak-anak? Apakah Elma sedang berakting? Tapi mengapa Elma justru terlihat lebih nyaman. "Itu kak Elma dan Kak Iqbal kan sya? Bukanya kak Elma pacar Micel?" tanya Wendy yang juga melihat hal itu, Resya mengangguk ia tak ingin kehilangan bukti-bukti dan segera merekam kejadian tersebut. Wendy juga tak ingin kalah dan segera merekamnya. Merasa puas, mereka kemudian melipir agar tidak ketahuan. Resya segera mengirimkan video itu kepada anak-anak yang mungkin saat ini tengah nongkrong di basecamp. Ia tak ingin sesuatu terjadi dengan Elma atau mungkin hubungan Micel. "Kita pulang aja ya Wen?" "Kok pulang? Gak jadi minum coklat panas?" "Ini penting." terangnya, Wendy mengangguk mencoba mengerti. Kemudian mereka berjalan menuju sepeda yang menjadi transportasi untuk menuju kerumah. "Jadi Elma bohong?" cicit Alex ketika melihat ada pesan masuk dari Resya di ponsel Gio. Ke empat pria itu tak menyangka dengan apa yang dilihatnya, Micel tengah menahan amarah mencoba tenang meski hatinya berkecamuk. "Kita harus kesana!" Kata Rio yang tak terima dibohongi seperti ini. "Tenang dulu, kita gak boleh gegabah dan coba tanyakan ke Resya yang tiba-tiba mengirimkan rekaman itu." kata Alex, Gio setuju daripada menambah masalah dengan bertindak tanpa berpikir. "Telfon Gio." pinta Rio, ia mengangguk dan langsung menghubungi Resya. "Ya?" "Kamu dapat video itu darimana?" tanyanya "Aku melihatnya di pantai Sanur bersama Wendy. Kamu boleh percaya atau tidak." ketusnya, Gio merasa terluka mendengarkan nada bicara Resya yang tak seperti biasanya. "Baiklah, kita akan segera kesana." "Tunggu, apa ini bukan bagian dari rencana kita?" tanya Resya sedikit bingung. "Bukan, Elma itu selingkuh!" "Astaga!" pekik Resya. "Aku ikut kalau kalian ingin kesana." "Oke, aku akan menjemputmu." Gio langsung memutuskan panggilan itu, dan menatap ketiga lelaki yang juga tengah menatapnya. "Sepertinya kamu akan patah hati Micel." Micel mengepalkan tangannya, lalu mereka keluar dari dalam basecamp untuk menghampiri Elma dan Iqbal yang ternyata berkhianat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN