13. Kangen Adik Kecil Kamu

1050 Kata
Senyum sinis seketika terbit di bibir Venus. Pria di depannya ini sungguh sudah membuat kesabarannya habis. “Tidak! Kita harus bercerai. Awas!” Venus berusaha menggeser tubuh Jansen menjauh darinya. “Aku bilang tidak! Ya tidak!” Nada suara Jansen naik beberapa oktaf. “Awas!” Sekuat tenaga Venus ingin terlepas dari Jansen. Setelah berhasil terlepas, Venus tampak tersenyum. Perempuan cantik itu sudah berada di luar. Membiarkan pintu terbuka begitu saja. “Tunggu saja surat gugatan cerai dariku.” Venus berkata tanpa menoleh sedikitpun. Jansen mengepalkan tangannya erat. Rahangnya mengeras sempurna. Ia tidak suka dengan sosok Venus yang begitu. “Jika sampai kamu berani menggugat cerai, aku akan menyuruh orang tuaku untuk mencabut semua dana di perusahaan ayahmu. Biar bangkrut sekalian!” ancam Jansen tak main-main. Deg! Langkah Venus seketika terhenti. Astaga! Ia melupakan satu fakta penting itu. Selama ini, orang tua Jansen lah yang memberikan pendanaan kepada perusahaan milik sang ayah. Jika sampai pendanaan itu dicabut, perusahaan ayahnya akan terancam bangkrut seperti yang Jansen bilang barusan. Bagaimana ini? Apa yang harus dirinya lakukan? Melihat Venus yang menghentikan langkahnya. Jansen pun tersenyum puas. Ia yakin kalau sang istri tidak akan tega kepada kedua orang tuanya yang malang itu. “Bagaimana? Apa kamu masih mau bercerai dariku?” Jansen tersenyum penuh kemenangan. Venus masih terlihat berpikir. Meski terkadang begitu kesal kepada orang tuanya, tapi Venus sangat menyayangi mereka. Ia akan menjadi anak durhaka kalau penyebab perusahaan sang papa bangkrut karena dirinya. Baiklah. Venus menarik nafas dalam-dalam mengisi pasokan oksigen yang terasa sesak di d**a. Dengan berat hati, Venus pun berbalik arah kembali memasuki rumah yang begitu ingin ia tinggalkan itu. “Nah, itu baru pilihan yang tepat. Tetaplah menjadi istriku.” Ingin menyentuh pipi Venus, tapi dengan cepat Venus menepisnya. “Jangan sentuh aku.” Venus berkata datar. Ia berniat menuju kamar lagi. Meski di kamar itu dirinya merasa jijik ketika teringat akan pergumulan panas orang terdekat yang ternyata seperti binatang tingkahnya itu. Venus pasrah. Ancaman Jansen sungguh membuat dirinya tidak berdaya. Kekuatan uang dan kekuasaan ternyata begitu luar biasa. Keberanian yang tadinya menggebu-gebu kini lenyap begitu saja bak tertelan angin. Memang beginilah kerasnya kehidupan. Yang kaya dan mempunyai kekuasaan pasti akan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Jansen, si pria sombong yang selalu mengandalkan harta dan kekuasaan orang tuanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Jansen yang semula diam, kini mengikuti langkah Venus. “Sialan. Kenapa dia mengancamku,” umpat Venus. Sebenarnya ia sedikit merasa bersalah karena sudah berbuat semena-mena kepada perempuan yang dicintainya lagi. Hanya saja, ia sama sekali tidak punya pilihan. Hanya cara itu saja yang bisa membuat Venus tinggal di sisinya. Kini, Venus pun memasuki kamar dengan membiarkan pintu terbuka, alih-alih menguncinya. Tanpa sadar, air matanya menetes begitu saja. Dengan cepat, Venus menghapusnya dengan kasar. Dirinya tidak boleh terlihat lemah. Apalagi lemah di hadapan orang seperti Jansen. Venus yang meminta cerai, tapi tidak bisa karena Jansen yang mengancamnya. Jansen yang mengancam akan menarik dana dari perusahaan Ayah Venus yang bersumber dari orang tua Jansen. Venus yang tidak bisa berbuat apapun lebih memilih mengalah. Ia pasrah dengan harus terus bersama dengan Jansen. Namun, Venus bukanlah Venus yang dulu. Yang begitu perhatian kepada Jansen. Keduanya tampak seperti orang asing. Meski tidur seranjang, mereka tidur saling membelakangi. Venus mendadak seperti orang bisu yang selalu ditanya oleh Jansen, tapi tidak pernah menjawab. Jansen yang begitu ingin protes akan sikap dingin Venus mengurungkan niatnya itu. Karena bagaimanapun juga, semua ini salahnya. Ya, memang salahnya. Seperti pagi ini. Suami istri itu tengah sarapan. Jansen sudah siap dengan setelan kantornya. Hanya saja, tidak terlalu rapi karena dasi yang dipasang asal. Venus berusaha untuk menahan tangannya yang sedari gatal ingin membenahi dasi milik Jansen tersebut. Tidak ada percakapan ringan seperti dahulu. Hanya terdengar suara dentingan sendok yang saling beradu. Sesekali Jansen melirik ke arah Venus yang tampak begitu cantik. Venus yang terlihat anggun. “Sayang, hari ini kita dinner di luar, yuk,” ajak Jansen. “Tidak bisa, aku sibuk!” sahut Venus datar. Venus terus melanjutkan acara makannya tanpa menoleh kepada Jansen sama sekali. Huh! Jansen hanya menghembuskan nafas kasar. Jansen menahan diri agar tidak tersulut emosinya. Ia harus lebih bersabar. Dia yakin kalau lama kelamaan Venus pasti akan memaafkannya. Bagaimana dengan Ellina? Entahlah! Jansen juga bingung sendiri. Rasanya begitu sulit untuk terlepas dari sosok Ellina. Permainan panas seorang Ellina bisa ia akui jempol. Katakanlah dirinya ini b******k. “Ven.” Jansen berusaha memanggil istrinya tetapi tidak pernah dibalas. Semakin hari biduk rumah tangga yang Jansen dan Venus jalani semakin dingin saja. Kini, Venus bahkan tidak pernah lagi mau sekedar sarapan dengan Jansen. Perempuan itu hanya membuatkan sarapan dan bekal yang disiapkan di meja makan. Venus memilih untuk pergi ke kantor terlebih dahulu sebelum Jansen bangun. Bahkan Venus sengaja tidur terlebih dahulu alih-alih menunggu Jansen pulang kantor yang biasanya selalu lembur. Venus memang sengaja melakukan semuanya. Terlihat di dalam kamar yang hanya berisikan Jansen seorang. Perlahan, Jansen mulai menggeliat pelan merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Pria itu langsung menoleh ke samping. Kosong. Ya, sudah biasa pemandangan seperti itu dirinya dapatkan. Sang istri pasti lebih dulu pergi ke kantor. Meninggalkan ia seorang diri. Kalau dulu, biasanya Venus akan memperhatikan dirinya. Mengurusi semua keperluannya dan yang paling Jansen ingat adalah kata-kata semangat dan manis dari perempuan cantik itu. Setiap pagi, Jansen akan bersemangat karena Venus. Sekarang tidak lagi, Jansen merasa ingin tidur saja daripada bekerja. Sayang, semuanya sama sudah tidak lagi sama. Ia dan Venus seperti orang asing yang saling tidak mengenal. Venus berubah total. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Jansen langsung mengangkatnya. “Halo.” “Sayang, udah bangun.” Terdengar suara sapaan ceria dari seberang sana. Ternyata yang meneleponnya adalah Ellina. Biang masalah dari rumah tangganya sekarang. “Kenapa menelepon pagi-pagi begini?” “Haha. Kamu itu ya. Aku Cuma kangen aja, kok. Apalagi sama adik kecil kamu.” “Sudahlah. Aku sibuk. Aku tutup.” “Sebentar, Sayang. Jangan ditutup dong.” Huh! Jansen terlihat jengah dan bosan. “Ada apa?! Katakan!” kata Jansen begitu tak sabaran. Ingin sekali cepat-cepat menutup panggilan telepon tersebut. Semakin membuat moodnya bertambah buruk saja. “Tolong transfer uang untukku ya, Sayang. Aku butuh banget nih.” Meski malas. Jansen pun berujar, “Iya.” “Terima kasih. Nanti malam kamu ke rumah aja. Aku pasti kasih servis terbaik dech.” Dengan nada menggoda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN