Setelah panggilan telpon terputus, Jansen dia terdiam. Jika dipikir-pikir, tidak buruk juga untuk menginap di rumah Ellina. Daripada di rumah. Ia hanya dianggurin dan dicuekin terus tapi jika dia berhubungan dengan Ellina, pernikahannya tidak akan bertahan.
“Ya sudahlah. Lebih baik nanti malam aku ke rumah Ellina. Venus juga pasti tidak akan peduli.”
Di tempat lain.
Karena hari yang masih pagi, Venus memutuskan untuk mampir ke sebuah taman yang tak jauh dari kantor tempatnya bekerja.
Ia belum sarapan sama sekali. Meski perutnya terus berbunyi, Venus abai. Dirinya sama sekali tidak selera makan. Tampaknya, bobot tubuhnya belakangan ini mulai berkurang. Semua itu pasti karena dirinya yang jarang makan dan banyak pikiran.
Venus akui dirinya begitu tertekan harus terus tinggal seatap dengan pria yang menorehkan luka terbesar di hatinya. Ia rasanya tidak sanggup. Perselingkuhan yang ia lihat terus terngiang di kepalanya.
“Huh! Aku lelah. Rasanya mau mati saja,” lirihnya.
Venus memandangi kendaraan yang lalu lalang. Di jam segini adalah jam yang termasuk padat-padatnya mengingat semua orang yang bepergian. Ada yang bekerja, mengantar anak sekolah, dan lain-lain.
Hingga tak sengaja Venus melihat sebuah keluarga yang tengah berboncengan sambil tersenyum lebar. Ada anak kecil yang sepertinya tidak mau mengoceh.
Keluarga yang sederhana, tapi terlihat bahagia.
“Aku iri dengan mereka,” kata Venus yang terus memandangi keluarga itu yang hampir sudah tidak terlihat.
Venus menghembuskan nafas lelah. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tapi juga batinnya. Ia sudah lelah dan muak bersikap baik-baik saja.
Di kantor, Venus dituntut untuk terus tersenyum. Tidak boleh membawa masalah pribadi ke kantor. Ingin rasanya Venus berteriak sekeras-kerasnya dan bilang kalau ia butuh pertolongan. Namun, hal itu tidak bisa. Tidak ada satupun orang yang mau menolongnya. Bahkan orang tuanya saja abai.
Kemarin Venus menemui mamanya. Venus meminta agar dirinya diizinkan untuk menginap untuk sehari saja, atau meminta sang mama datang ke rumah untuk menemaninya.
“Tidak! Kau kembali ke apartemen, kalau kau menginap siapa yang akan mengurus Jansen?” Sekar menolak putrinya.
Sayang seribu sayang, sang mama menolaknya mentah-mentah. Bukan hanya itu saja, mamanya malah memarahinya habis-habisan dan menyuruh untuk bersyukur karena punya suami sebaik Jansen.
Padahal mamanya belum tahu seperti apa pribadi Jansen yang sebenarnya. Si tukang selingkuh. Namun, percuma juga menjelaskan kepada mamanya seburuk apa Jansen itu. Karena mamanya akan menutup mata dan telinganya.
“Sepertinya hari ini aku cuti saja deh.”
Venus pun mulai menyandarkan tubuhnya di bangku panjang tersebut. Ia memutuskan untuk tidak bekerja dahulu hari ini. Dirinya butuh istirahat untuk menenangkan hatinya. Matanya mulai terpejam. Untungnya cuaca pagi ini sedikit mendung. Jadi, Venus tidak akan kepanasan meski berada di alam terbuka begini.
Dari kejauhan tanpa Venus sadari jika Pakio terus memperhatikannya sedari tadi. Pria itu mulai mendekat dan terus menatap sosok Venus yang sudah terlelap dengan lelap. Ada raut khawatir yang tercetak jelas di wajah tampannya.
Hingga, pria itu pun memutuskan untuk duduk. Mungkin Venus memang sudah terlelap, terbukti perempuan itu yang tidak sadar dengan kehadiran pria yang kini duduk di sampingnya.
“Sebenarnya apa yang sudah terjadi kepadamu?” lirih Pakio sambil menyentuh pipi Venus. “Wajahnya terlihat sangat lelah!”
Cukup lama, Pakio ada di sana, sampai dia menerima panggilan dari asistennya. “Ck. Gaggu saja,” kesal Pakio kemudian berlalu dari sana.
Masih setengah sadar, samar-samar Venus melihat punggung pria yang mulai menjauh.
Pakio yang kembali, masih memikirkan wajah Venus. Dia duduk setengah melamun memikirkan paras cantik Venus. Entah mengapa, semakin hari wanita itu makin susah saja pergi dari ingatannya.
Pakio membayangkan wajah seputih pualam Venus yang terkadang merona saat dia tersipu malu, ataupun berubah menjadi merah padam ketika kesal.
"Argh! Ini membuatku gila," gumam laki-laki itu sambil salah tingkah.
Memikirkan wanita cantik itu ternyata memakan cukup banyak waktu. Pakio sampai tidak menyadari jika hari sudah petang. Dia segera beranjak menutup jendela, lalu bersiap membersihkan diri.
Meskipun Venus berhasil memporak porandakan hatinya yang dahulu tenang, tapi Pakio yakin jika suatu saat dia bisa menyampaikan isi hatinya. Bahkan walaupun keyakinan itu akan memberikan luka karena pada dasarnya, Venus sudah tidak bisa diharapkan.
"Dia sangat cantik tapi dia terlihat murung. Apa pria itu berbuat sesuatu padanya?” batin Pakio.
Sejenak berdiri di depan jendela sambil tersenyum getir, Pakio lantas pergi ke kamarnya. Pekerjaan tadi siang sudah menguras tenaga dan dia ingin segera beristirahat.
Lain halnya dengan Pakio, Venus justru sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Ingin sekali menyudahi pernikahan itu. Namun—semua tidaklah semudah mengucapkan kata ‘putus’ kepada pasangan.
Dia duduk seorang diri di ruang makan. Suasananya terasa sangat berbeda dari beberapa bulan lalu. Ketidakhadiran Jansen di ruangan itu membuat Venus tersenyum tipis, manik mata yang berkaca-kaca tidak bisa berbohong tentang bagaimana perasaannya saat ini.
Sedari tadi dia tidak menelan satu sendok pun makanan, hanya mengaduknya dan menatap kosong kursi yang biasa menjadi tempat duduk sang suami.
"Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?" Venus berkata lirih.
Ketika kesunyian malam semakin menyayat hati yang kesepian, Venus tidur meringkuk di sofa. Acara televisi sama sekali tidak membuatnya tertarik. Dia lebih senang melamun saat ini dan menghela napas panjang hanya demi melepas sesak dalam d**a.
Kelopak matanya hampir tertutup sempurna, tapi telinga masih saja bisa mendengar langkah seseorang yang mendekat. Venus tahu Jansen sudah pulang. Namun, rasanya enggan menyapa. Dia memilih berpura-pura tidur saja agar tidak perlu repot bertegur sapa dengan suaminya.
Sementara itu, Jansen yang baru saja pulang langsung duduk di bahu sofa. Memperhatikan raut wajah Venus dengan ekspresi datar. Terselip di dalam hatinya rasa kasihan. Dia sudah tega mengkhianati wanita secantik Venus. Jansen menutup mata, menelan penyesalan itu sendirian.
Jansen beralih duduk bertekuk lutut di samping wanitanya, menyentuh tangan Venus dengan lembut. Tidak ada yang bisa dia katakan kecuali mengumpat diri sendiri atas kesalahan yang telah dilakukan.
Venus sungguh membenci keadaan ini. Keadaan di mana ia marah, tapi tidak bisa meluapkannya. Dia merasa, Jansen hendak menggendongnya, tapi secepat mungkin Venus bangun dan duduk.
"Maaf," lirih Jansen, "tadi aku mau bawa kamu ke kamar," lanjutnya.
Tanpa menjawab apapun, Venus langsung berjalan mendahului suaminya. Jansen hanya bisa membuang napas kasar karena sikap dingin sang istri.
Jansen mengikutinya, berharap ada satu atau dua patah kata yang Venus ucapkan. Namun ternyata wanita itu langsung merebahkan diri ke tempat tidur dan posisinya saat ini tentu saja membelakangi Jansen. Malam sudah larut, dia tidak mau terus memikirkan hal yang membuatnya kelelahan, karena akan berdampak pada kinerjanya di kantor esok hari.