“Naikan bunga dan beri peringatan pada Jansen jika dia tidak membayar bunga bulan ini.”
Vildan yang mendengar itu mengerutkan kening. “K-kenapa?”
“Lakukan saja!” bentak Pakio.
Walaupun Vildan tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh atasannya itu tapi dia menurutinya.
Saat Jansen hendak mengetuk pintu kamar, sebuah panggilan masuk membuatnya bergegas pergi. Dia mendapatkan panggilan darurat. Walaupun awalnya mengerutu tapi awalnya Jansen tetap pergi.
“Kenapa mereka menghubungi disaat seperti ini,” gerutunya sambil menyalakan mesin mobil.
Jansen tiba di sebuah bar, tempat di mana dia bertemu dengan pria yang meminjamkannya modal saat mendirikan perusahaan. Dia sudah mendengar mengenai pria yang terkenal di underground, pria itu jarang memperlihatkan wajahnya. Ada yang mengatakan jika wajah pria itu dipenuhi luka.
Saat tiba, Jansen sedikit gugup. Apalagi suasana terasa sedikit menegangkan. Cahaya lampu membuat Jansen bertambah gugup.
“Sudah berapa lama?” Sebuah suara terdengar dari seberang meja, sayangnya pria yang bertanya tengah membelakangi Jansen membuatnya tidak bisa melihat wajah pria itu.
Hanya asistennya, Vildan yang dikenalnya.
“T-tiga tahun. Bukankah sudah seharusnya membawa lunas tapi jangan itu, bunga pun tidak bisa kau bayar.”
Tiap kalimat yang keluar dari pria misterius didepannya, Jansen merasa merinding, dia merasa terintimidasi.
“Saya akan mengembalikan pinjaman pokok dalam waktu dekat.”
Suara deheman terdengar. “Kapan yang kau maksud dengan waktu dekat?”
“Enam bulan! Saya akan mengembalikannya dalam enam bulan!”
“Terlalu lama! Tiga bulan, waktumu tiga bulan, jika kau tidak mengembalikan dalam waktu yang ditentukan, jangan salahkan kami menaikan bunga.”
Jansen mengepalkan tangan. “B-baik, saya tidak akan lupa!”
“Kalian harusnya sadar diri, jika meminjam harus mengembalikannya secepat mungkin!”
Mendapatkan perkataan seperti itu, Jansen tersinggung, dia merasa direndahkan. Harga diri Jansen benar-benar terluka, dia yang terlalu membanggakan dirinya dihadapan pria itu menjadi sangat kecil, seakan dia bukan apa-apa. Rasa isi, cemburu, amarah bercampur menjadi satu.
“Aku memanggilmu karena itu, pergilah. Jangan lupa dengan janjimu!”
Vildan menuntun Jansen keluar dari ruangan itu. Sedangkan, Pakio sejak tadi tersenyum.
“Saya sudah mengantarkannya!”
Decakan lidah terdengar. “Huh, bisa-bisanya pria yang tidak tahu mengurus perusahaan menyombongkan dirinya. Seharusnya dia tahu diri,” ucap Pakio sambil membalikan tubuhnya.
“Apa Anda ingin menarik diri dari perusahaan mereka?”
“Tidak untuk saat ini, dalam beberapa tahun terakhir perusahaan keluarganya pun mengalami kemunduran.” Vildan menjelaskan. “Mungkin, akan sangat baik jika kita menarik diri dari mereka saat ini, disaat keadaan perusahaan tidak terlalu buruk.”
Namun, Pakio mendadak tersenyum. “Bukankah itu bagus? Kita bisa mengakuisisi perusahaan tersebut.”
Mendengar itu, Vildan hanya bisa tercenggang. Dia tidak tahu jika sang boss menjadi gila hanya karena mengingankan satu wanita. Sampai dia sendiri tidak bisa berkata-kata.
Jansen yang kembali ke rumah membeli cukup banyak bir. Pikirannya sedang kacau, dia tahu akibat jika tidak membayar tepat waktu. Dia tahu nasib perusahaannya. Haruskah dia meminta bantuan orang tuannya?
Berbeda dengan Jansen yang memikirkan masalah perusahaan Venus malah memikirkan cara agar tidak bertemu dengan sang suami. Venus masih betah di kamarnya. Enggan untuk ke luar. Apalagi sampai berpapasan dengan Jansen. Ia sungguh tidak sudi. Jansen adalah pria b******n yang pernah ia kenal.
“Dia memang pecundang! Dia yang memulai, tapi tidak ingin menanggung akibat perbuatannya itu,” monolog Venus. Venus teringat dengan Jansen yang enggan bercerai dengannya. Dasar! Pria tidak tahu malu.
Venus sampai berpikir, kenapa dia bisa mudahnya menjatuhkan hati kepada pria seperti Jansen dahulu.
“Aku harus pergi. Tidak mungkin terus berada di tempat ini.” Akhirnya Venus mulai beranjak dari tempat tidurnya. Sudah cukup baginya untuk berdiam diri begini.
Berada di rumah yang sudah tidak bisa lagi menampung dirinya ini, hanyalah akan sia-sia saja. Ia sudah bertekad untuk bercerai dari Jansen. Terserah jika pria itu tidak mau ataupun sang Mama marah besar kepadanya.
Venus tahu kalau mamanya tidak ingin kehilangan menantu kaya seperti Jansen. Tampaknya sang mama lebih menyayangi harta ketimbang anaknya sendiri. Tidak ada sama sekali pundi-pundi kebahagiaan yang dapat Venus rasakan lagi. Suaminya selingkuh, orang tuanya gila harta. Lengkap sudah.
Cklek.
Akhirnya Venus keluar dari kamar.
Sepi. Tidak ada sosok Jansen sama sekali. Mungkin pria itu sudah tertidur atau sedang berada di luar. Terserahlah. Venus sama sekali tidak peduli.
Kakinya mulai mengarah ke pintu utama. Dirinya akan pergi.
“Di mana koperku?” ucapnya yang baru teringat koper pink malang yang ia tinggalkan begitu saja.
Hingga akhirnya tepat di dekat sofa. Venus pun menemukan kopernya.
“Syukurlah. Koperku masih ada.” Menghembuskan nafas lega. Venus pikir kopernya dibuang begitu saja oleh Jansen karena kesal. Ternyata tidak. Kenyataan yang sebenarnya adalah Jansen terus menendang koper pink milik Venus karena kesal. Hanya saja, jejaknya tidak terlihat.
“Tapi dia pergi ke mana?” tanyanya sambil melihat sekeliling.
“Mau ke mana kamu?” Langkah Venus seketika terhenti tatkala mendengar suara yang terlihat kesal.
Venus menoleh ke belakang. Dapat ia lihat penampilan Jansen yang begitu berantakan. Rambut acak-acakan dengan kemeja yang tidak terkancing pada tempatnya.
Jika dulu, Venus pasti akan langsung merapikan penampilan sang suami. Jansen terlihat begitu tidak terurus. Baru beberapa hari tanpa dirinya.
Setelah puas hanya memandang tanpa berkata sepatah kata pun, pandangan jijik dan sakit hati. Venus pun kembali memutar tubuhnya.
Kakinya kembali melangkah.
“Berhenti di sana!” teriak Jansen mulai mendekat.
Hal itu sama sekali tidak digubris oleh Venus. Venus terus melangkahkan kakinya.
Hingga–
Grep!
Tangan Venus berhasil dicekal oleh Jansen.
“Lepas! Lepasin!” kata Venus meronta-ronta. Celana Jansen sangatlah kuat. Bisa Venus rasakan tulang pergelangan tangannya seakan hampir patah.
Tenaga Jansen sangatlah kuat, tidak sebanding dengan dirinya ini.
“Lepasin! Kamu memang b******n Jansen! Aku menyesal sudah menjadi istrimu! Kita memang lebih baik bercerai!”
Cekalan di lengan Venus semakin kuat. Hal itu membuat ia merintih kesakitan. Jansen yang melihatnya tidak peduli.
Pria itu dikuasai amarahnya. Mendengar kata cerai, Jansen langsung murka. Sampai kapanpun dirinya tidak akan mau bercerai dengan Venus. Jansen begitu mencintai wanita itu. Ellina hanyalah selingannya semata. Ia khilaf. Khilaf akan godaan kenikmatan sesaat.
“Kita tidak boleh bercerai. Aku mencintaimu, Venus!”
“Bullshit kau Leon! Jika mencintaiku kenapa bermain api di belakangku? Kau tidak pernah memikirkan perasaanku. Apa kau pikir hatiku ini batu, Huh?!” sarkas Sakna.
Benar. Apa yang dikatakan Sakna sama sekali tidak salah.
Perlahan-lahan, cekalannya terlepas juga.
“Kau b******n!” tunjuk Sakna tepat ke wajah Leon.
Leon tersenyum getir. Sakna berubah total. Tidak ada lagi sosok Sakna yang lembut dan manis. Yang ada sekarang hanyalah Sakna yang terus mengumpatinya dengan kata-kata kasar.
Memang, semua ini adalah kesalahannya. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.
“Terserah kamu mau bilang apa kepadaku. Intinya kita tidak boleh bercerai!” Leon menekankan perkataannya itu.