“Jansen. Sebaiknya Venus di bawah pulang saja!” saran Sekar saat baru saja datang Bersama dengan suaminya, perkataan Sekar membuat raut wajah Venus bertambah kesal.
Padahal dia datang ke rumah orang tuanya berharap ada perlindungan, tapi nyatanya tidak.
“Iya, ngapain juga kakak ada di sini, sih,” sambung sebuah suara yang baru saja datang. Dia adalah Daniel, adik laki-laki Venus. Pria yang menjadi beban.
Venus melirik arah ayahnya yang tengah duduk diam, tidak pernah memberikan komentar apapun. Dia ingin ada seseorang yang membelanya, sayangnya tidak ada.
Setelah beberapa saat, Venus pun mengikuti Jansen pulang, jelas karena paksaan orang tuanya. Suasana masih hening, terasa aneh bagi Jansen yang biasanya mengobrol dengan Venus saat di mobil. Namun kini berbeda, Jansen yang tak ingin memancing amarah saat berada di dalam mobil, kini hanya diam mengikuti alur yang ada. Ia fokus dengan kemudinya tersebut.
Ditengah keheningan, terdengar sebuah deringan ponsel milik Venus, tanda ada panggilan masuk. Baik Venus maupun Jansen menoleh ke arah benda pipih yang sejak tadi di pegang dalam genggaman Venus itu.
Venus melihat nomor yang tidak di simpan tapi dia mengingat nomor tersebut.
"Pria ini lagi," gerutu Venus.
Tak berpikir panjang, ia langsung mereject-nya. Ia sedang tidak ingin terlibat dengan laki-laki itu saat ini. Ia butuh waktu untuk menjernihkan pikiran. Jansen yang melihat itu mencoba untuk tidak memperdulikan, apalagi dengan Venus yang mematikan panggilan tersebut.
Hening kembali menyelimuti kedua orang tersebut, Venus terus saja menatap ke arah luar jendela, ia sama sekali tak ingin melihat wajah Jansen.
Andai saja ia memilih tempat lain selain rumah orang tuanya, mungkin ia tak akan berakhir berada di sini bersama Jansen. Tapi, mau bagaimana lagi, disaat seperti ini hanya dirumah orang tuanya lah tempatnya kembali. Ia tak mungkin memilih kediaman Ellina, sang sahabat yang telah menusuknya dari belakang itu!
Mobil yang dikendarai oleh Jansen berhenti di lampu merah. Padatnya jalanan bisa terlihat ketika macet seperti ini. Ponsel milik Venus kembali berdering lagi, tanpa melihat terlebih dahulu, Venus mematikan panggil tersebut.
Hal ini membuat Jansen menjadi sedikit aneh. Tak peduli seberapa banyak panggilan itu di reject, si penelpon tetap menelpon sampai diangkat. Tidak hanya Venus, Jansen juga sedikit terganggu akan panggilan tersebut.
"Siapa yang menelpon?" tanya Jansen, akhirnya ia tidak kuasa untuk menahan diri dan langsung bertanya. Ia sangat penasaran sekali. Ia takut, itu adalah panggilan penting. Harusnya, Venus mengangkatnya, bukan?
Mendengar pertanyaan itu, untuk pertama kalinya sepanjang perjalanan dari rumah orang tua Venus tadi, Venus menatap wajah Jansen.
"Bukan urusanmu!" jawab Venus dengan sinis.
Tangan Venus langsung menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan itu.
"Ada apa sih? Aku sedang tidak ingin diganggu saat ini!" bentak Venus ketika panggilan tersebut sudah terhubung.
Jansen yang mendengar bentakan dari Venus pada si penelepon sedikit kaget.
Lampu kini sudah berubah menjadi hijau, Jansen kembali melanjutkan perjalanan agar cepat sampai di rumah mereka.
Ada begitu banyak hal yang harus mereka berdua bahas. Dan benar, membahas semuanya di jalan seperti ini, bukanlah hal yang baik. Takutnya ada hal yang tak diinginkan bisa terjadi.
"Kamu di mana?" tanya Pakio. Ia tak menggubris ucapan dari Venus yang begitu sinis padanya.
"Di manapun itu, bukan urusan kamu! Sudahlah! Aku sedang tidak ingin diganggu, jadi tolong pahami aku sekarang."
"Siapa yang mengganggumu? Aku tidak mengganggumu kok. Aku hanya penasaran, kamu di mana dan sedang apa?"
"Aku akan menutup panggilan ini, jika tidak ada hal penting yang ingin dibicarakan!"
"Apa aku harus memiliki hal penting lebih dulu untuk bicara dengan calon ibu dari anakku?"
"Cih! Siapa yang kamu maksud itu? Aku? Mimpi!"
Bukannya tersinggung, Pakio tertawa terbahak-bahak di ujung seberang sana, ketika mendengar ucapan dari Venus barusan.
"Tidak apa-apa jika saat ini aku hanya mimpi, nanti suatu hari, aku pasti akan membuat mimpi itu menjadi kenyataan. Bukankah hidup berawal dari mimpi?" jawab Pakio di sela tawanya yang belum juga usai.
"CK! Maka dari itu, teruslah bermimpi! Karena hanya dengan mimpilah, apa yang kamu Katakan itu bisa kamu raih seperti nyata! Tapi untuk menjadi nyata sungguhan, mungkin kamu harus terlahir kembali! Jika kamu terlahir kembali, aku berharap pada kehidupan berikutnya, kita tidak akan pernah bertemu," jawab Venus dengan begitu geram, dan kemudian ia memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak.
Tak ingin kembali diganggu oleh Pakio, ia langsung mematikan ponselnya agar tidak ada yang bisa menghubungi dirinya. Ia butuh sebuah ketenangan untuk menata hatinya yang sedang hancur itu.
Venus menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan kemudian memejamkan matanya. Ini lebih baik daripada ia harus menatap wajah Jansen disampingnya itu.
“Jangan melihatku seperti itu! Fokus saja pada jalanan! Aku tak ingin mati bersama pengkhianat sepertimu!" ucap Venus dengan mata yang masih tertutup rapat.
Jansen yang tadi menatap ke arah Venus kembali menatap pada jalanan. tak pernah ia pikirkan sebelumnya, tentang wanita disampingnya yang akan menjadi seperti ini ketika marah dan kecewa.
Ia tahu apa yang ia lakukan itu adalah salah, tapi ia juga berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, bukan? Pokoknya, apapun yang terjadi, ia akan tetap mempertahankan Venus di sisinya.
Venus membuka mata ketika menyadari kalau saat ini, mereka sudah sampai di rumah mereka. Tempat yang dulu ia sebut sebagai kenyamanan. Jansen membuka pintu mobil dan langsung membuka bagasi mobil untuk menurunkan koper milik Venus.
Sementara Venus, ia langsung saja masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan lagi Jansen yang memanggil nya itu.
"Ven, tunggu!"
Bukannya menurut, Venus semakin mempercepat langkahnya. Ia butuh menenangkan diri sebelum bicara dengan Jansen.
Jansen menarik koper Venus dengan cepat agar bisa menyusul wanita itu. Tapi sayang, langkah Venus yang besar dan lebih dulu dari dirinya membuat ia kesulitan untuk mensejajarkan langkah mereka.
"s**t!" umpat Jansen ketika sampai di depan pintu kamar mereka dan menyadari kalau pintu kamar tersebut sudah di kunci dari dalam oleh Venus.
Dengan kesal, Jansen menendang koper berwarna pink milik Venus itu.
Harusnya, ia bisa bicara dengan Venus saat ini. Ia tak akan mengizinkan Venus pergi dari hidupnya! Tak akan ada yang namanya perceraian seperti mana yang diinginkan oleh Venus itu!
Sekali miliknya, maka akan selamanya menjadi miliknya! Ah! Ini semua karena Ellina! Jika ada apa-apa pada rumah tangganya, maka Ellina lah yang harus tanggung jawab!