Venus membeku seketika mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Pakio padanya. Tidak hanya Venus, Vildan pun demikian. Vildan merasa jika otak atasannya baru saja terbentur hingga membuat cedera. Bagaimana bisa meminta seseorang bercerai kemudian menjadi wanitanya padahal mereka baru saja bertemu? Tidak bisa dimasukkan ke dalam akal sehat Vildan.
“Dasar pria gila!” umpat Venus. “Lepaskan!”
Mata Pakio terlihat begitu serius saat mengatakan kalimat tersebut. Venus juga sempat terperangah dan ia segera menyadarkan diri.
“Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti itu. Sebaiknya lepaskan tanganmu, aku harus pergi menemui mereka," ujar wanita itu.
“Apa aku terlihat sedang bercanda? Aku serius,” tegas Pakio membuat Venus tertawa. “Bercerailah dengan pria b******k itu.”
“Please. Lepaskan.” Suara Venus terdengar lirih memohon pada pria yang berada di hadapannya agar segera melepaskan cengkraman pergelangan tangan miliknya.
“Jika kau akan pergi untuk menemui dua orang itu, aku tidak akan melepaskanmu!”
Rasa sakit dipenuhi oleh amarah ingin segera melabrak suaminya yang terang-terangan mengajak pelakor ke hotel, bahkan saat pernikahan saja Jansen jarang mengajaknya ke hotel untuk menginap.
“Kau ingin memergoki mereka berdua sambil memarahi mereka? Kau pikir setelah itu mereka akan berhenti? Tidak. Mereka akan tetap melakukan hal yang sama berulang-ulang. Jadi, ikuti saja permainan mereka. Kau wanita yang patut dipuja jangan jadikan dirimu rendah hanya karena marah-marah pada mereka.” Perkataan Pakio mampu membuat Venus yang sejak tadi memberontak, langsung terdiam.
Apa yang dikatakan oleh Pakio benar, dia seharusnya tidak tersulut emosi melihat Jansen dan Ellina yang tengah memesan kamar hotel, bukankah dia telah memergoki dua orang itu bercinta semalam?
“Lepaskan dulu!” Venus sudah kehilangan mood untuk melabrak suami dan sahabatnya itu. Dia malah bertemu dengan pria aneh. “Seharusnya kau tidak ikut campur, apalagi mengatakan hal konyol seperti tadi!” Venus menghempaskan tangannya agar cengkeraman Pakio terlepas.
“Kau mau ke mana?” tanya Pakio sambil mencegat Venus pergi. “Bukankah di antara kita ada yang perlu dibicarakan?”
Cengkraman tangan Pakio di pergelangan tangan Venus cukup kuat membuat wanita itu sedikit meringis. “Tidak ada yang perlu dibicarakan di antara kita!”
Senyum Pakio terbit, sedikit nakal untuk menggoda Venus. “Benarkah?” tanyanya sambil memajukan wajahnya, sontak membuat Venus mundur.
“Berhentilah mengangguku. Kita tidak punya urusan lagi!” ucap Venus kemudian berlalu, ingin meninggalkan Pakio. Sayangnya, Venus tidak bisa pergi.
“Sebenarnya, apa maumu? Bukankah aku sudah membayarmu, apa itu kurang?” tanya Venus dengan kesal.
“Ya. Itu kurang!” jawab Pakio. “Baiklah, aku harus membayarmu berapa agar kau tidak mengangguku?” tanya Venus.
Bukan jawaban yang dia dapatkan, Pakio melepaskan cengkraman tangan Venus. “Aku tidak butuh uang!”
“Terus, apa yang kau inginkan jika bukan uang?”
“Entahlah. Bagaimana jika kita pergi ke tempat lain!”
“Jangan mengulur waktu, apa yang kau inginkan?”
Pakio mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Mungkin beberapa kali jalan dan makan bersama,” ucap Pakio dengan entengnya. “Daripada uang, aku lebih suka jika kita beberapa kali bertemu sampai aku bilang hutangmu lunas.”
Venus mengacak rambutnya karena frustasi. “Sialan. Seharusnya aku tidak memesan pria jika aku tahu begini,” gerutunya sambil menatap tajam ke arah Pakio.
“Sepertinya ada salah paham di sini. Saya bukan pria panggilan atau pemuas nafsu!”
Mendengar itu, Venus terkejut. “B-bukan pria panggilan?” tanya Venus meyakinkan sekali lagi jika telinganya tidak salah dengar.
Pakio menganggukan kepala. “Saya tidak tahu, bagaimana kau berpikir jika aku pria panggilan, padahal Anda sendiri yang datang ke kamarku dan mengajak bercin—“
Tangan Venus seketika menutup mulut Pakio, membuatnya tidak melanjutkan perkataannya. “Aku tidak mungkin begitu!” bantah Venus.
“Apa kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan? Aku bisa memperlihatkan bagaimana kau menggodaku semalam, tidak hanya itu, kau mengatakan akan membayarku dengan sangat mahal!” jelas Pakio membuat Venus terperangah. “Apa aku harus menjelaskan bagai—“
“Kau ingin kita pergi ke mana?” tanya Venus dengan kesal.
Dia merasa jika hidupnya benar-benar sial, memergoki perselingkuhan suami, bercinta dengan pria menyebalkan.
Pakio merongoh ponsel dan menghubungi Vildan, “Pesan satu kamar untukku sekarang!”
Mata Venus membulat, “A-apa yang ingin kau lakukan? Kenapa kita harus pergi ke kamar?”
Alis Pakio terangkat. “Apa yang kau pikirkan? Kita sedang ada di hotel, bukankah lebih baik jika kita bicara di kamar hotel daripada tempat lain?”
“Restoran, mari kita bicara di ruang VIP saja!”
“Seluruh ruangan VIP sudah habis! Di jam seperti ini, kau pasti lebih mengerti mengenai ini ‘kan?” ucap Pakio seakan penuh kemenangan. Helaan napas kasar Venus terdengar. Dirinya tidak punya pilihan lain.
Langkah Venus terhenti saat dia telah berada di depan pintu kamar. Dua orang di bersamanya telah lebih dulu masuk.
“Kenapa kau tidak masuk?” tanya Pakio. Vildan hanya menatap Venus, dia mencoba mencari tahu apa yang membuat wanita itu special di mata Pakio. Atasannya biasanya tidak tertarik dengan wanita bersuami, tapi kali ini berbeda. Mungkinkah karena wanita itu telah bercinta dengan atasannya itu? Dia tidak bisa berbohong jika wajah Venus memang cantik.
Pakio memberi isyarat menggunakan tangannya, mengusir sang asistennya itu.
"Ah! Ini terlalu memalukan!" gerutu Venus dalam hati. Venus berbalik, ia benar-benar ingin pergi dari hadapan Pakio. Bagaimana tidak, dia telah salah menganggap pria itu sebagai pria panggilan.
Saat melihat Pakio tengah melepas jas dan berbalik, Venus diam-diam melangkah untuk pergi.
Sayangnya, apa yang tengah dilakukan ketahuan. “Jangan berpikir untuk kabur!”
“S-siapa yang mau kabur.” Venus membantah perkataan Pakio.
“Benarkah? Tapi yang kulihat kau akan kabur.” Perkataan Pakio membuat Venus tidak dapat membantah.
“Bukankah kita berdua punya sesuatu yang perlu dibicarakan, Nona Venus?”
Tersentak. Venus menatap Pakio. “B-bagaimana Anda tahu—“
“Aku harus tahu wanita yang telah menggodaku, bukankah itu harus yang wajib dicari tahu. Itu sebuah kebiasaan, takutnya orang yang bercinta denganku memiliki penyakit!”
“Aku bukan wanita seperti itu! Aku tidak punya penyakit menular!”
“Benar juga, kita berdua harus membicarakan—“
“Bagaimana kita di atas ranjang?” Pakio memotong perkataan Venus membuat pipi wanita itu merona dan kesal di saat bersamaan.
“Kau!” Suara Venus meninggi, membuat Pakio terkejut. “Apa yang terjadi semalam itu—Tapi bagaimana Anda ada di kamar saya?” Venus yang menyadari ada hal yang ganjil mengenai dia dan Pakio berada di kamar yang sama pun penasaran.
“Bukan saya yang salah masuk kamar tapi kau yang salah masuk kamar, Nona Venus.”
“Tidak mungkin. Anda pasti bohong,” bantah Venus.
Pakio melangkah menuju meja mengambil iPad, ia duduk di pinggiran meja. “Kenapa kau tidak melihatnya saja,” seru Pakio sambil menyodorkan iPad pada Venus.
Saat rekaman di putar, Venus membulatkan matanya. Dia bisa melihat dengan jelas jika dia sendiri yang mengedor-gedor pintu saat pintu tidak bisa terbuka, bahkan memaksa masuk. Bukan Pakio tetapi dirinya sendiri.
“Lihat, bukan aku yang masuk kamar orang tapi kau sendiri!” tegas Pakio membuat Venus sedikit gugup. Melihat raut wajah Venus membuatnya ingin menggodanya. “Kamarmu di sana,” seru Pakio menunjuk ke arah vedio letak kamar yang dipesan Venus.
"S-saya minta maaf atas... apa yang terjadi semalam. Saya mabuk."
Pakio menarik sebuah kursi untuknya duduk. Dia duduk di seberangnya dan berkata dengan ringan, "Tidak apa-apa."
Dia mencibir lagi dengan ejekan.
Venus tidak tahu harus berkata apa untuk sesaat. Setelah sekian lama, dia berkata, "Kau juga bersedia tidur denganku. Bagaimana bisa kau membiarkan aku menanggung semua kesalahan?"
"Aku seorang wanita. Jika dia tidak setuju, bagaimana aku bisa memaksanya untuk berhubungan s*ks denganku?"
“Kau memaksaku tidur denganmu!” Pakio menegaskan.