Mata Alliana menatap mansion yang kini terlihat sangat ramai, para mafioso berjejer rapi di setiap sudut, bahkan ada yang mengawal langkah kaki Ichiru yang kini baru saja turun dari atas kuda dan menggendong dirinya. Salju turun, halaman mansion terlihat di penuhi warna putih, bahkan ranting pohon kini terlihat beku. Alliana menatap Ichiru, ia mengeratkan pelukannya pada pria yang masih setia menggendongnya.
“Kakak, aku takut.” bisik Alliana pelan. Ia tidak terbiasa berada di tengah orang banyak, tubuhnya yang bergetar semakin bergetar menahan sesak napas.
“Mereka semua, keluarga kita, Alliana.” jawab Ichiru. Ia cukup mengerti dengan ketakutan Alliana. Gadis kecilnya itu tidak terbiasa berada di antara banyak orang, gadis kecilnya masih kaku dan terlalu lugu.
Robert yang sedari tadi cemas kini berada di depan pintu masuk, ia membungkuk hormat, lalu membuka pintu dan mempersilahkan Ichiru masuk. Robert sedikit menyunggingkan senyum, rasanya begitu lega saat Nona Muda kesayangannya pulang dalam keadaan baik-baik saja. Seketika, ruangan di dalam mansion ramai. Suara Sousaki terdengar ribut, menyambut kepulangan Alliana dan Ichiru.
“Alliana, kau begitu basah sayang! Robert! Cepat siapkan pakaian Alliana!” ujar Sousaki begitu keras.
Robert segera melaksanakan perintah majikannya, ia menaiki anak tangga dengan cepat, lalu menghilang dari pandangan mata orang-orang di dalam sana.
Tak berapa lama, setelah Robert pergi. Ichiru menurunkan Alliana, ia menggenggam erat tangan gadis kecilnya.
“Ayah ….” suara Ichiru menggema, membuat semua pelayan yang berada di sekitar tertunduk.
“Ya?” tanya Sousaki, tidak lupa dengan senyum hangatnya. Pria itu melirik tangan Ichiru yang menggenggam jemari Alliana begitu erat, ia bersedekap lalu menatap mata Ichiru.
“Aku ingin menikahi Alliana.” Ichiru tersenyum, wajah tidak menunjukan rasa berdosa saat sang ayah menatap dengan pandangan tajam.
“Bisa kau ulangi?” tanya Sousaki.
“Ka-kakak …” ucap Alliana terbata.
“Ayah, aku ingin menikahi Alliana!” ujar Ichiru keras. Suara pria itu menggema, membuat langkah seorang pria terhenti. Pria yang kini menatap tak percaya, pria yang kini terpaku dan membeku di atas anak tangga.
Hening, tidak ada satu orangpun yang mengeluarkan pendapat. Semua mata tertuju pada Alliana yang kini terlihat pucat dan bergetar hebat.
“Lagi?” tanya Sousaki menatap tidak percaya ke arah putra sulungnya.
“Bukankah itu bagus?” jawab Ichiru sambil tersenyum lebar.
Alliana menatap tidak mengerti dengan perkataan Ayahnya yang bertanya aneh. ‘Lagi?’ tanya Alliana dalam hati.
“Ichiru, bahkan Ryu belum menikah.”
“Ayah tahu mengapa aku mengambil milik Ryu.” jawab Ichiru menatap datar Sousaki.
“Baiklah, semua menjadi urusanmu.” jawab Sousaki yang akhirnya mengalah. Pria itu menatap Alliana, ia menyayangkan perasaan gadis kecil itu saat ini.
“Kau siap menikahi Kakakmu sendiri, Alliana?” tanya Sousaki.
Alliana bungkam, ia melirik Ichiru yang tetap menatap pada ayah mereka. Gadis itu merasakan remasan tangan Ichiru pada tangannya, ia menelan ludahnya kasar dan mencoba untuk memberanikan diri. Diangkatnya kepala, lalu matanya menatap sang ayah.
“Alliana?” tanya Sousaki lagi.
“Ya! Aku siap, Ayah.” jawab Alliana. Tidak ada keraguan dalam ucapan itu, hanya ada ketegasan dan juga keberanian.
“Keluarga macam ini, anak tiba-tiba menjadi menantu. Tapi, Ayah senang. Ada pengikat lebih kuat di antara kita sekarang,” ujar Sousaki. Ia menatap Robert yang kini sudah berdiri di belakang Alliana dan Ichiru. Ia bisa melihat raut kalut pria muda itu, “Robert, apa keperluan Alliana sudah kau siapkan?” tanya Sousaki.
“Sudah, Tuan.” jawab Robert. Pria itu membungkuk, matanya menatap tangan Ichiru yang masih bertaut dengan tangan Alliana. Cemburu? Haruskan ia akui perasaan itu?
“Baiklah, Nyonya Hansen. Sebaiknya, bantu Alliana mengganti gaunnya. Gunakan gaun yang Ichiru hadiahkan padanya,” ujar Sousaki. Pria itu menatap seorang pelayan yang membawa kotak besar, ia tidak.menyangka jika gaun itu ingin Ichiru gunakan untuk menikahi Alliana. Seharusnya dia sadar dari awal, jika Ichiru menaruh hati pada adiknya sendiri, seharusnya dia juga sadar, jika Alliana akan menyukai bahkan mencintai kakaknya sendiri.
Ichiru menarik tangan Alliana, gadis itu kini berada di pelukan Ichiru dan menutup matanya kala bibir Ichiru mengecup lembut keningnya, “Aku menunggumu, di halaman belakang. Bukankah mengikat janji saat salju pertama itu begitu romantis, Alliana?”
Alliana hanya menunduk, ia menahan rasa malu dan menyembunyikan rona merah di pipinya. Gadis itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk lalu berlalu pergi saat Nyonya Hansen memegang tangannya.
“Ahhh … aku akan menikahi gadis yang begitu manis.” Ichiru melangkah pergi, ia menuju kamarnya di lantai bawah.
“Aku akan gila,” ujar Sousaki dan duduk di sofa empuk di ruangan itu. Pria itu memijat kepalanya dengan satu tangan, lalu menatap para mafioso yang masih berdiri tegak.
“Siapkan tempat pernikahan, suasana seromantis mungkin. Buat putra sulungku merasa senang dengan pernikahannya yang sekarang.”
“Baik, Tuan.” jawab Tuan Hansen.
…
Malam itu, menjadi malam yang begitu menyenangkan bagi Alliana. Hadiah di umur lima belas tahun, adalah menikah dengan sang pria pujaan. Ia tidak pernah memikirkan hal seindah ini, hatinya kini sedang berbunga dengan angin sepoi yang membawa nyanyian cinta.
Gaun putih bersih, dengan renda rumit yang begitu cantik dan elegan. Alliana berjalan dengan anggun, sedangkan tangannya merangkul tangan Sousaki. Ia dapat merasakan, ujung-ujung gaun terseret di atas lantai dingin, kakinya mengenakan stiletto yang menyerupai kaca.
“Kau gugup?” tanya Sousaki. Pria itu mengalihkan tatapannya pada Alliana, ia dapat melihat di balik cadar putih tipis, jika Alliana tersenyum.
Salju masih turun dengan pelan, angin sepoi berembus dan membawa butir-butir putih itu ke atas sebuah piano di tengah taman. Taman itu terlihat ramai, para pelayan, mafioso dan keluarga Hansen juga ada di sana.
“Lihat, calon suamimu sedang tersenyum.” bisik Sousaki. Ia ingin memaki putra sulungnya, ia ingin mengatakan semua kenyataan yang sangat pahit pada gadis hutan tersebut.
Di tengah taman, beberapa meter dari piano. Ichiru berdiri, gerbang dari bunga-bunga anggrek terlihat begitu cantik, bahkan lampu berkelap-kelip di setiap sudut. Pria itu tersenyum, mengulurkan tangannya dan menunggu Alliana menyambut tangan itu dengan penuh cinta.
Sousaki dan Alliana berhenti, tepat di depan Ichiru, “Jaga anak gadisku dengan baik, Ichiru,” ujar Sousaki.
“Aku akan mencintainya, menjaganya, ayah tidak perlu khawatir.” jawab Ichiru. Ia menyeringai, menertawakan ayahnya yang kini menahan rasa jengkel.
“Kita lihat saja hasilnya!” sindir Sousaki.
Musik terdengar, Ichiru dan Alliana kini berdiri di hadapan semua orang. Mereka saling menatap, lalu berbagi senyuman.
“Alliana,” ujar Ichiru lembut.
“Ka-kakak.” jawab Alliana terbata.
“Hari ini, aku … Ichiru D’Acretia Roulette, mengambilmu sebagai istri.” Ichiru menggenggam erat tangan Alliana, “Maukah kau, menjadi istriku? Bersama denganku selamanya? Membangun rumah tangga indah dan saling mencintai sampai mati?” tanya Ichiru.
Alliana menunduk, detakan jantungnya semakin cepat. Ia kembali mengangkat kepalanya, “Kakak … ak-”
“Sebut namaku, Alliana.”
Alliana kembali diam, matanya menatap Ichiru dan ia bisa melihat jika pria itu membalas tatapan matanya walau dibatasi cadar tipis.
“Kau bersedia?” tanya Ichiru.
Suara musik menggema, Robert memainkan melodi romantis, mengiringi Alliana yang akan menjawab pertanyaan Ichiru.
“Ichiru D’Acretia Roulete ….” Alliana menggantung kalimatnya, gadis itu tersenyum hangat dengan rona merah yang tersembunyi di balik cadar tipis, “Aku bersedia menjadi istrimu.” jawab Alliana.
“Kau tidak bertanya padaku, Sayang?” tanya Ichiru.
Semua tamu hampir tertawa, mereka jelas tahu jika Alliana kini kebingungan dengan pertanyaan Ichiru.
“Ehem ….” Nyonya Hansen menjadi pusat perhatian, wanita itu tersenyum apalagi saat Alliana menatapnya.
“Nona, tidak ingin bertanya kepada Tuan Muda?” tanya Nyonya Hansen.
“Bertanya apa?” sahut Alliana. Ia menatap Ichiru yang kini sedang menatapnya, pria itu terlihat menahan sesuatu.
“Kau tidak ingin bertanya, apa Ichiru bersedia menikah denganmu?” Sousaki hampir tertawa, pria itu menatap Ichiru yang terlihat begitu gemas dengan tingkah Alliana.
“Bukankah, Kakak yang mengajakku menikah? Aku juga sudah bersedia menerima Kakak sebagai seorang suami.” Alliana menatap Ichiru, matanya terlihat begitu berbinar, tampang tidak berdosa jelas saja tercetak dengan alami.
“Tanyakan lagi, Sayang ....,” ujar Ichiru.
“Ka-”
“Sebut namaku, Alliana.” potong Ichiru cepat.
Alliana menggigit bibirnya, ia merasa gugup.
“Ayo, tanyakan.” Sousaki mengompori Alliana.
“I-ichiru ….” Alliana menelan ludahnya kasar, ia gugup, “Ichiru D’Acretia Roulette.” Alliana menatap Ichiru.
Semua orang menatap Alliana, mereka menunggu gadis itu mengucapkan kata selanjutnya.
“Bersediakan, Kak- maksudku, bersediakah kau menjadi suamiku?” tanya Alliana.
Ichiru mendekatkan wajahnya, ia membuka cadar yang menutupi wajah Alliana, “Aku ….” Ichiru mengecup bibir Alliana, pria itu lalu kembali menatap Alliana, “Bersedia menerimamu sebagai istriku, Alliana Aliander. Hari ini, detik ini, saat ini juga, kau adalah Alliana D’Acretia, istriku.” jawab Ichiru.
Semua orang bertepuk tangan, sedangkan Ichiru mengecup lembut bibir Alliana, pria itu menggigit pelan bibir gadis pujaannya. Ia menyusupkan lidahnya, bermain dengan lidah Alliana.
“Kau ingin memperkosa istrimu di hadapan banyak orang, Ichiru?” tanya Sousaki.
Ichiru melepas pangutan bibirnya, ia menatap Alliana yang kini menunduk, “Ingin berdansa?” tanya Ichiru.
“Ajari, aku Kakak ….” Alliana menunduk, ia masih gugup. Ia tidak tahu harus memanggil Ichiru seperti apa.
“Istriku, aku akan mengajarimu.” Ichiru menggenggam tangan Alliana. Pria itu membawa Alliana ke tengah kerumunan orang-orang, suara piano berdenting, dan Ichiru memeluk Alliana.
Malam semakin larut, semua orang terus menatap kebahagiaan anak Adam dan Hawa yang kini sedang berdansa. Tatapan penuh cinta dari keduanya membuat mereka larut, kebahagiaan kedua pengantin begitu terasa.
Robert tersenyum getir, ia tidak tahu akan seperti apa setelah ini. Apa ia akan tetap berada di samping Alliana, atau ia akan diusir pergi oleh gadis itu pergi. Namun, ia tetap merasa bahagia, ia bisa melihat senyuman nona yang ia sayangi. Robert menatap ayah dan ibunya, ia juga yakin kedua orang tuanya merasakan bahagia saat ini.
‘Aku akan menolong kalian, tapi, mengabdilah kepadaku.’
Robert memejamkan matanya, ia terus memainkan piano, melampiaskan semua emosinya dan membuat alunan melodi yang begitu indah. Ia ingat belasan tahun lalu, ia ingat kejadian mengerikan itu, dan ia berjanji akan mengatakan semuanya jika izin dari Sousaki ia dapatkan.