Mata itu terbuka, iris biru menenangkan menatap langit-langit kamar yang berukir malaikat-malaikat kecil.
“Selamat pagi, Nona.”
“Robert? Ku kira kau belum kembali.”
“Tentu saya harus cepat kembali, hari ini adalah hari yang menyenangkan.”
Gadis itu mencoba untuk duduk, ia menatap pelayan setianya yang membawa nampan dengan s**u dan air mineral di dalam gelas. Mata birunya menatap Robert yang kini tersenyum, bahkan memamerkan deretan gigi putih dan rapi.
“Menyenangkan?” tanyanya bingung, ia tidak bisa mengingat apapun saat ini. Otak dan hatinya masih berada di alam mimpi, dan jiwanya masih menyesuaikan dengan raga lemahnya.
“Anda lupa?” tanya Robert.
“Ya. Jangan membuatku bingung, Robert.”
“Nona Alliana, hari ini salju pertama akan turun.” jawab Robert, pria itu memberikan amplop pada gadis di depannya.
Alliana yang masih bingung meraih amplop yang Robert berikan padanya, ia membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya.
“Silahkan membaca, saya akan menunggu di luar.” Robert pergi, pria itu meninggalkan Alliana yang masih menatap selembar kertas dan beberapa foto dari dalam amplop.
Gadis itu segera membaca dan meletakan amplop beserta foto di atas meja, ia duduk di kursi dekat jendela dan bersandar dengan tenang.
Dear: Alliana
Hai, adik kecilku. Kau bingung? Hari ini Ayah tidak mengirim surat kepadamu, dia sedang sibuk.
Alliana menyentuh dadanya, ia merasa berdebar saat ini, ada rasa aneh dan menyakitkan saat kata adik ia baca. Gadis itu menarik napas, ia melanjutkan bacaannya.
Usiamu hari ini genap lima belas tahun, bukan? Selamat ulang tahun, dan semoga panjang umur. Adikku, Alliana. Aku merindukanmu, ayah juga demikian. Kami selalu bicara tentangmu saat waktu luang, bahkan Ryu penasaran ingin bertemu denganmu.
Alliana mengembuskan napasnya lagi, ia mengubah posisi duduknya dan kembali membaca, gadis itu tersenyum getir. Kenapa harus mengucapkannya lewat surat? Kenapa tidak datang dan memeluknya? Ribuan pertanyaan terus mengantri dan menunggu jawaban dari orang-orang yang dirindukan.
Alliana, jangan pernah lupa menjaga kesehatanmu dan juga jangan lupa untuk terus belajar menunggang kuda, berenang, dan melakukan hal lain yang kau sukai.
Pipi Alliana bersemu merah, ia ingat kejadian saat di air terjun, ia ingat saat Ichiru meremas lembut p******a kecilnya, menciumnya dan menyentuh area sensitif yang membuatnya merasa sangat geli. Gadis itu juga ingat, sejak saat itu, Ichiru tidak menemuinya lagi. Rasa sakit perlahan meracuni hati Alliana, ia berpikir tentang banyak hal. Lagi, Alliana menatap kertas yang ia pegang.
Aku rindu dengan bibirmu, aku juga rindu dengan p******a kecilmu, apa kedua gunung kembar itu sudah berkembang?
Reflek, Alliana menyentuh payudaranya. Gadis itu meremas sedikit, lalu tersenyum sambil menahan geli. Ia rindu sentuhan Ichiru, dan ia ingin mengulang saat itu lagi. Alliana mengulum senyumnya, ia berdiri lalu berjalan ke arah ranjang, Alliana juga segera duduk dan berbaring di ranjang empuknya.
Apa kau sedang tersenyum? Jika iya, bagus. Alliana, apa kau menyukai ku? Apa kau mencintaiku? Apa kau takut kehilanganku?
Alliana merasa bingung, cinta? Dia pernah bertanya tentang perasaan itu pada ibu asuhnya, ia ingat saat ibu asuhnya mengatakan:
‘Cinta adalah saat kau tidak ingin kehilangan, cinta adalah saat kau ingin memilikinya seorang diri, singkatnya, cinta adalah keegoisan.’
“Cinta?” Alliana bertanya pada dirinya sendiri, gadis itu merasakan jantungnya semakin berdetak dengan cepat, ia merasakan hal aneh yang membuatnya melayang. Perasaan yang baru saja diucapkannya membuatnya melayang begitu tinggi, dan ia takut terhempas serta hancur.
Alliana, Aku merindukanmu. Saat kita bertemu, katakan perasaanmu padaku, jangan menutupi apapun.
Ichiru.
Alliana menarik napasnya dalam, ia masih mempertanyakan tentang cinta yang Ichiru tanyakan padanya. Gadis itu kembali bangun, ia berdiri dan pergi keluar, ia ingin menikmati salju pertama dan memikirkan tentang pertanyaan Ichiru. Sejak saat itu, baik Ichiru maupun Ayahnya, Sousaki, tidak pernah datang, ataupun mengirim surat.
Alliana keluar dari mansion, menuju kandang kuda dan bergegas pergi. Ia ingin pergi ke suatu tempat, merenung dan menahan hatinya yang begitu merindukan Ichiru dan sang ayah.
…
Beberapa jam setelah kepergian Alliana, suasana mansion itu terlihat ramai. Seorang pria sedang berlari cepat ke segala arah, ia mencari kepergian Alliana.
“Ayah, apa Ayah benar-benar tidak melihat Nona Alliana pergi?” Robert terlihat panik, ia menatap ayahnya yang hanya menggeng.
“Ayah tidak melihatnya. Kau juga tahu, Ayah menjemput Tuan Sousaki dan Tuan Ichiru.” jawab Tuan Hansen.
“Apa Ibu juga sama?” tanya Robert lagi.
“Ibu memasak, kau juga tahu jika Tuan Sousaki ingin memberi kejutan besar untuk Nona Alliana.” jawab Nyonya Hansen. Wanita tua itu terlihat baru saja selesai menangis, matanya masih berkaca dan ada sedikit sungai kecil di pipinya. Ia cemas, ini sudah terlalu lama Alliana pergi, dan mereka tidak tahu dimana keberadaannya.
Robert kembali mengembuskan napasnya kasar, ia ketakutan.
“Apa Alliana pergi membawa kuda?” tanya Ichiru yang sedari tadi diam. Pria itu mengangkat kepalanya lalu berdiri tegak.
“Ya, Tuan Muda.” jawab Tuan Hansen.
“Biar aku yang mencarinya.” jawab Ichiru.
Tuan Sousaki bungkam, ia bukannya tidak perhatian dan panik. Pria itu lebih memilih diam dan tidak berkoar, ia memilih tenang dan berpikir positif.
“Ayah, aku pergi.” Ichiru menatap ayahnya yang balas menatapnya.
“Temukan Adikmu, Ichiru.”
Tidak menjawab, Ichiru memilih segera melangkah. Ia terlihat berjalan cepat menuju pintu keluar.
Beberapa saat berlalu, Ichiru kini berada di tengah hutan. Kuda yang ia tunggangi berlari cepat, sedangkan salju mulai turun semakin deras. Yang ia tahu, badai pasti akan ada hari ini, udara terasa semakin dingin, menusuk sampai ke tulang.
Ichiru mengembuskan napasnya, uap dingin terembus dan berbentuk seperti asap. Ia menatap jalanan yang mulai memutih, sedangkan ranting pohon juga diselimuti salju.
“Alliana!” teriak Ichiru, ia berharap Alliana ada di dekat sana dan bisa bertemu dengannya di tengah jalan.
“Kau di mana!” lagi suara itu terdengar.
Langkah kaki kuda semakin cepat, hutan yang sunyi itu semakin jauh ditelusuri oleh Ichiru. Beberapa menit berlalu, kini Ichiru bisa bernapas lega. Ia melihat seekor kuda yang terikat pada pohon di dekat air terjun, kuda putih yang sangat ia kenali.
Segera saja, Ichiru turun dari punggung kudanya. Ia berlari dan melihat Alliana berada di tengah sungai, duduk di atas batu dan menatap air terjun.
“Alliana ….”
Gadis yang Ichiru panggil terlihat sedikit kaget, ia menatap Ichiru yang kini berada di daratan dan perlahan berjalan ke tengah air.
“Ka-kakak.” jawab Alliana pelan.
Ichiru diam, pria itu tetap melangkah ke arah Alliana dan berhenti tepat di depan Alliana.
“Ka-kakak, ba-bagaimana bisa?” tanya Alliana.
“Kenapa pergi? Kenapa tidak menunggu Kakak datang? Kau tidak membaca tulisan di balik foto?” tanya Ichiru. Pria itu memborong habis pertanyaan, dia tidak mengizinkan Alliana menjawab satu per satu.
“Aku, aku tidak melihat tulisan di balik foto.” jawab Alliana cepat.
Ichiru menarik tangan Alliana, gadis itu kini berada di pelukan Ichiru dan terdiam di sana. Suara air terjun semakin terdengar bising, dia manusia itu terdiam.
Pelukan Ichiru semakin erat, sedangkan salju turun semakin banyak. Angin berembus, menerbangkan hawa dingin yang menusuk.
“Kau kedinginan?” tanya Ichiru, ia merasakan tubuh Alliana yang bergetar. Gaun gadis itu basah kuyup, begitu pula dengan pakaian yang Ichiru kenakan.
“Ya. Aku dingin, Kak.” jawab Alliana.
“Apa kau mencintaiku?” tanya Ichiru.
Alliana bungkam, namun detakan jantungnya begitu cepat. Ichiru tersenyum, pria itu mengecup lembut kening Alliana, lalu menatap wajah gadis itu.
“Apa kau mencintaiku, Alliana?” tanya Ichiru.
Alliana menunduk, namun Ichiru mengangkat dagunya dengan satu telunjuk. Mata keduanya beradu, dan saling mengunci.
“Biar ku ulangi, apa kau mencintaiku?” tanya Ichiru.
“Aku ….” Alliana kembali bungkam, “Aku bingung.” lanjut Alliana.
“Bagaimana perasaanmu saat berdekatan denganku?” tanya Ichiru. Posisi mereka masih sama, masih berpelukan dengan Ichiru yang mengunci tatapannya di mata Alliana.
“Kakak, aku merasakan debaran aneh di jantungku. Penyakitku kambuh setiap kali ada di dekat Kakak, tapi … ada rasa yang sulit ku jelaskan. Rasanya ….” Alliana berhenti.
“Rasanya?” tanya Ichiru.
“Menyenangkan, ada rasa yang terlalu banyak. Aku tak bisa menjelaskannya, Kak.” jawab Alliana.
“Baiklah, bagaimana perasaanmu jika aku bersama gadis lain?”
Alliana terdiam, ia membuang muka ke arah lain.
“Jawab,” ujar Ichiru sambil meremas p******a Alliana. Pria itu menyeringai saat merasakan p******a itu lebih berisi dan semakin kenyal.
“Rasanya sakit, Kak.” jawab Alliana dengan polos.
“Berarti kau mencintaiku.” jawab Ichiru.
Alliana terdiam, gadis itu menelan kasar ludahnya. Ia gugup, lidahnya terasa kelu.
“Maukah, kau menikah denganku?” tanya Ichiru.
“Ta-”
“Sekali kau menolak, maka tidak akan ada pertanyaan ini lagi, Alliana.”
Alliana merasa takut, ia takut jika Ichiru pergi jika ia menolak. Tapi, haruskah ia menikah di usia semuda ini?
“Jawab, Alliana.” Ichiru berbisik di telinga Alliana, pria itu juga meremas b****g Alliana dan mengecup lembut leher jenjang gadis polos itu.
Alliana menutup matanya, ia menikmati Ichiru yang masih menjilat lehernya. Gadis itu meremas baju Ichiru dan menikmati sensasi geli yang Ichiru berikan.
“Jawab, Alliana,” ujar Ichiru lagi.
“Ya … ya … aku ingin!” jawab Alliana, ia masih menutup matanya, ia merasakan kenikmatan yang aneh, apalagi saat Ichiru meremas payudaranya dan menyusupkan tangannya ke dalam bra yang ia gunakan. Alliana merasakan tangan Ichiru memilin p****g payudaranya, terasa geli dan kewanitaannya terasa berdenyut.
Setelah Alliana menjawab, Ichiru menyudahi permainannya. Pria itu mengecup bibir Alliana, memainkan lidahnya dan mengabsen deretan gigi rapi Alliana. Tak lama kemudian, Ichiru melepaskan kecupannya. Ia menatap Alliana dan menyeringai, Ichiru segera menggendong Alliana dan menuju tepian sungai. Ia akan membawa Alliana ke depan ayahnya, dan mengatakan jika mereka akan menikah.
“Ayo pulang, Ayah akan senang mendengar keputusanmu.” Ichiru menyeringai, ia menatap Alliana yang hanya menunduk malu. Gaun Alliana terasa begitu berat, namun Ichiru masih mampu mengangkat tubuh mungil adik sekaligus calon istrinya.
“Kau siap?” tanya Ichiru.
Alliana mengangguk, lalu mereka pergi menunggangi kuda. Mereka saling berpelukan dan kuda yang Ichiru gunakan berlari mengikuti dari belakang.
Sepanjang perjalan, Ichiru dan Alliana hanya diam. Alliana diam karena begitu gugup, sedangkan Ichiru diam menikmati kesenangan hatinya yang akan mendapatkan seorang istri.
Diakui, jika ia juga mencintai dan.menyayangi Alliana. Dia menyukai Alliana lebih dari apapun, dia mencintai gadis itu karena Alliana juga mencintainya.
“Aku mencintaimu, Alliana.”